Beberapa saat setelah tangis Vania mulai reda. Ia menarik napas panjang. Berusaha mengontrol gejolak dalam batinnya. Ia sakit mendengar semua ini. Bagaimana kalau mamanya tahu? Suami yang selama ini dianggapnya sangat setia dan baik, ternyata pernah berkhianat dan menghancurkan masa depan wanita lain. Atau sebenarnya sang mama sudah tahu? Untuk jeda yang cukup lama, mereka saling diam. Pikiran mereka ke mana-mana. Khawatir dengan perasaan masing-masing.Lalu Vania memandang Erlangga. "Jadi Mas mendekatiku hanya untuk menghancurkanku. Supaya dendammu bisa terbalas pada papaku. Sekarang kamu puas? Bisa melampiaskan kemarahanmu, Mas? Jadi diriku, kamu jadikan objek untuk membayar kesalahan papa? Sekarang aku punya jawaban kenapa kamu tidak datang di pesta yang di gelar orang tuaku."Erlangga memandang wajah sembab Vania. "Aku memang keterlaluan. Aku kejam. Tapi tolong percayai apa yang aku katakan ini."Pertama kali aku melihatmu di sebuah minimarket. Saat itu kamu tidak melihatku, seb
Erlangga menoleh, menatap wajahnya dari samping. Vania merasakan sorot itu menembus ke jiwanya. Namun sebelum Erlangga sempat membuka suara lagi, ponsel dalam genggaman tangan Vania berdering. Dan deringan itu memecah keheningan. Vania buru-buru melihat layar.Erlangga pun ikut melirik.Dokter Raka. Erlangga membaca jelas nama yang tertera di layar. Tatapan matanya mengunci wajah sang istri.Vania tidak menjawab. Ia menatap layar ponselnya sekilas, lalu menghela napas pelan."Dia siapa?" tanya Erlangga. Tekanan suara dan tatapannya lebih dari sekadar rasa ingin tahu."Teman kerja di rumah sakit.""Teman atau seseorang yang lebih dari itu?" tanya Erlangga penuh selidik.Vania tak menjawab, tapi juga membiarkan pendar ponselnya kembali padam.Erlangga memalingkan wajah sejenak, berusaha mengontrol hati yang mendadak nyeri. "Teman istimewa seperti kata Tara?""Aku nggak tahu harus marah atau justru tertawa. Setelah semua yang terjadi, kamu masih merasa punya hak untuk tahu banyak tentang
DENDAM - Terungkap "Nggak usah, Mas. Terima kasih banyak. Saya bisa pesan taksi saja," tolak Vania sopan."Jangan, Dok. Biar di antar Erlangga saja. Nggak perlu khawatir, dia nggak akan macem-macem." Alina meyakinkan sambil tersenyum. Dia lebih khawatir kalau Vania naik taksi. Bagaimanapun dia yang mengundang, dia juga yang harus bertanggungjawab mengantarkan pulang.Tapi sayangnya sopir sedang keluar disuruh Bu Ambar baru saja.Erlangga yang sudah mengambil kunci mobil, masih menunggu di dekat meja."Baiklah, Mbak. Maaf, saya merepotkan." Vania akhirnya mengiyakan."Nggak, Dok. Saya yang memang harus bertanggungjawab mengantarkan dokter sampai ke kosan lagi. Sayangnya saya sudah nggak bisa nyetir lagi.""Suatu hari nanti pasti bisa lagi, Mbak. Tetap semangat. Penunjang obat yang paling mujarab adalah rasa optimis dan yakin kalau semuanya pasti akan kembali pulih dan membaik. Jangan patah semangat."Alina tersenyum, tapi matanya berembun. Ia mendekat lalu memeluk Vania. "Terima kasi
[Ya, Mbak.] Balas Alina. Setelah itu menghela napas panjang sambil duduk di tepi pembaringan."Saya sering menghadiri acara di keluarga Bu Ambar, Dok. Bahkan hanya untuk undangan makan malam." Ini perkataan dokter Fatimah kemarin.Dokter Fatimah yang sangat sibuk saja bisa datang, kenapa dirinya tidak. Vania termangu sejenak, kemudian membuka lemari untuk memilih pakaian. "Nggak apa-apa, sekali-kali hadir di rumah mereka, meski sebagai seorang dokter, bukan menantu. Tapi apa Sagara tahu kalau Alina mengundang dirinya?"Segera Vania berganti pakaian. Celana panjang, blouse putih, dan jilbab. Wajahnya hanya disapu bedak tipis dan lipglos.Selesai mengenakan jilbab, ponselnya berdenting.[Sopir saya sudah menunggu di luar pagar, Dok. Mobil warna putih.] Pesan dari Aliana yang menyertakan foto sopirnya.[Ya, Mbak Alin.] Setelah itu Vania keluar kamar. Tersenyum pada sopir setengah baya yang menunggunya. Kemudian mobil meninggalkan kosan. Jarak kosan dan rumah mereka hanya 10 menit perjal
Ini yang membuat Vania heran. Baru kali ini sang papa lebih mementingkan pekerjaan. Padahal banyak karyawan. Kalau dulu, apapun demi Vania yang masih kuliah di Malang, semua akan dikesampingkan. Kalau tiba-tiba kangen, meluncur ke Malang bersama sang istri hanya untuk mengajak Vania makan malam, setelah itu langsung kembali ke Blitar.Papanya juga terlihat tak serius mencari Sagara. Padahal dulu, dia selalu berani berterus terang pada cowok yang berniat mendekati Vania. Di ultimatum sampai cowok itu tidak berani mendekat lagi. Tapi kenapa papanya tidak ada tindakan untuk Sagara yang sudah membuat putrinya menderita, yang sudah mempermalukan mereka.Vania baru sadar, selama ini papanya nyaris tidak pernah ke Surabaya. Kalau ada keperluan di kota ini, orang kepercayaannya yang disuruh pergi. "Ma, seingatku. Papa nggak pernah ke Surabaya. Dulu waktu aku ingin kuliah di Surabaya juga dilarangnya. Malah disuruh milih Malang apa Jogja. Kenapa ya, Ma?" Vania mengutamakan rasa penasarannya p
DENDAM- Biar Aku SajaSabtu pagi, sinar matahari masih tertutup mendung ketika langkah kaki Vania menyusuri trotoar menuju kosannya. Mata sayunya menyiratkan lelah setelah jaga malam. Lelah karena pikiran juga. Keputusannya tadi malam benar. Menyetujui untuk bertemu dan bicara dengan Sagara.Lamunannya seketika buyar saat melihat sosok yang begitu dikenalnya duduk di kursi depan pintu kamar. "Mama," gumamnya spontan. Tak mengira, sepagi ini sang mama sudah sampai di kosan. Padahal bilangnya sampai Surabaya sore nanti.Bu Endah berdiri sambil tersenyum lebar. Matanya berkaca-kaca melihat putrinya muncul dari pintu pagar. Dia kangen sekali dengan anak gadisnya."Assalamu'alaikum," ucap Vania."Wa'alaikumsalam." Bu Endah langsung memeluk anaknya. "Mama kangen, Van."Vania rasanya ingin menumpahkan tangis, tapi ditahannya. "Kenapa Mama nggak nelepon dulu?" tanyanya sambil membuka pintu kamar."Mama sengaja ingin membuat surprise untukmu. Makanya nggak ngabarin dulu," jawabnya sambil meng