Share

EMPAT

 “Su Li kesal denganku. Ia tidak mau mengangkat panggilanku sekali pun.”

Ziang Chen tersenyum tipis sambil memperhatikan Su Liang yang sibuk memangkas bonsai dengan wajah  yang mengkerut akibat ulah sang Putri.

“Usianya sudah pas untuk menikah. Apakah aku salah membantu mencarikan pasangan yang layak untuknya?”

“Anda tahu bagaimana temperamen Nona Muda, Tuan. Saya yakin Nona Muda saat ini sedang sangat kesal dengan anda.”

Su Liang menghentikan aktivitasnya dan duduk di bangku taman diikuti oleh Ziang Chen. “Setelah anak Presdir Wang, ia sama sekali tidak mau bertemu dengan yang lain. Padahal mereka semua adalah pemuda yang hebat.”

Ziang Chen menuangkan teh dan memberikannya kepada Su Liang. Cahaya redup matahari yang berhasil menembus atap kaca transparan itu membuat udara di dalam rumah kaca menghangat.

Mendiang istri pertamanya sangat menyukai bunga, sehingga ia membangun sebuah rumah kaca agar sang Istri bisa berkebun walau di luar tertutup salju. Seperti sekarang, walau berada di akhir musim dingin tetapi suhu belum bisa dibilang menghangat.

“Mungkin Nona Muda memiliki pilihan sendiri. Atau bahkan sudah memiliki pasangan.”

Su Liang mendesah berat. Ia sendiri tidak yakin jika sang Putri sudah memiliki pasangan. “Bisakah kau memanggilkan pengacara Shen menemuiku. Aku ingin menambahkan prasyarat pernikahan bagi pewaris Liang Tech.”

Ziang Chen mengangguk patuh. “Aku harus memancing jiwa kompetitifnya,” lanjut Su Liang kemudian menyesap dalam teh dalam cangkirnya.

Tidak mereka sadari bahwa Wu Xia yang bermaksud mengantarkan camilan mendengar percakapan kedua pria paruh baya tersebut. Wanita itu berbalik dan mengambil ponselnya.

“Wei Fang, dengarkan ibu. Ibu punya ide agar menjadikanmu pemilik dari Liang Tech. Cepatlah pulang sekarang.”

Sebelum Wei Fang menjawab perkataannya, Wu Xia menutup panggilannya.

 “Dewa akhirnya memberikan jalan untukku,” gumamnya.  

***

“Menikah?”

Wu Xia mengangguk mantap. “Kau bisa mendapatkan apa yang anak itu dapatkan jika kau menikah. Ayahmu mengatakan untuk menjadi pewaris Liang Tech harus sudah menikah.”

Wei Fang yang sedang bersolek membalikkan tubuhnya sambil menatap sang Ibu tidak percaya.

“Apakah tidak ada cara lain selain menikah?”

Wu Xia menggeleng mantap membuat Wei Fang menghembuskan napas pasrah. Gadis itu kemudian memutar otaknya cepat. Jika sudah menginginkan sesuatu, sang Ibu tidak akan berhenti untuk terus membujuknya.

“Apakah kau masih betah berada di bayang-bayang anak itu? Sehebat apapun pencapaian yang kau capai tidak akan pernah menang dari pencapaian kecil yang dibuat olehnya. Kau juga tidak bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang utuh dari ayahmu.”

Wei Fang terdiam. Sang Ibu benar, selama ini Su Liang hanya memperlakukannya seperti orang asing. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali sang Ayah menatapnya penuh kasih sayang atau setidaknya menyebut namanya lebih dulu. Ia hanya dijadikan pemeran pengganti ketika Su Li tidak berada di tempatnya.

“Aku akan memikirkan bagaimana caranya, Ibu tidak perlu khawatir. Sekarang aku ada acara reuni.” Wei Fang mengecup pipi Wu Xia kemudian melengos pergi. Senyum kemenangan terukir tipis di wajah wanita paruh baya itu. 

***

Ketukan spidol di papan kaca itu terdengar semakin cepat. Beberapa kaleng kopi kosong terlihat di antara lembaran kertas yang berserak di atas meja hingga lantai. Su Li menatap papan kaca yang dipenuhi coretan itu dalam diam.

Informasi yang ia dapat dari detektif swasta itu sama sekali tidak membantunya. Karena memikirkan reputasi sang Ayah, Su Li tidak mau gegabah. Kehidupan konglomerat di Tiongkok sama menariknya dengan kehidupan selebritis.

Ponselnya kembali bergetar. Ia tahu yang menghubunginya adalah sang Ayah karena ia sama sekali tidak memiliki teman. Benda elektronik itu berhenti bergetar pada detik ke sepuluh. Su Li membuka jendela besarnya. Salju sudah tidak turun lagi, suhu sudah mulai menghangat. Penghujung musim dingin adalah kesukaannya. Dimana hangat sinar mentari dapat ia rasa menyapa seluruh permukaan kulitnya.

Benda persegi itu kembali bergetar, dengan terpaksa Su Li memacu langkahnya untuk menggapai benda tersebut.

“Pulang sekarang juga.”

Su Li mengernyitkan dahi. Ia bahkan belum berucap sepatah kata pun, sang Ayah telah memutuskan panggilannya secara sepihak. Apakah aksi memberontaknya saat ini sudah keterlaluan? Namun salahkan sang Ayah yang lebih tidak masuk akal dengan gigih mendorongnya ke acara kencan buta yang sama sekali tidak menarik minatnya.

Tidak ada pilihan lain, Su Li akhirnya memutuskan untuk pulang. Kali terakhir kunjungan Sekretaris Lu mengantarkan sebuah mobil untuknya, setidaknya ia tidak perlu berjalan menuju halte bus.

“Cuaca hari ini terpantau cerah dengan suhu 8 derajat celcius. Peluang hujan hari ini 20 persen, lebih rendah tiga persen dari kemarin.”

Suara penyiar cuaca yang terputar melalui radio, menemani perjalanannya menuju rumah. Desisan halus penghangat mobil terdengar sesekali. Sungai Ching Mie yang membelah kota Beijing memantulkan cahaya matahari yang berpendar lembut.

Setelah tiga puluh menit, sedan hitam itu sampai di kediaman yang selalu berhasil membuatnya sesak. Kehilangan sang Ibu meninggalkan sebuah lubang besar yang masih menganga hingga saat ini. Alasan ia tidak tinggal di rumah adalah karena ia masih belum merelakan posisi Ibunya telah berganti.

 Su Li tersenyum kecut kala menekan passcode pintu kayu itu ternyata tidak berubah. 090395. Satu hal yang tidak ia sangka. Pintu terbuka. Tidak ada yang berubah dari rumah itu sejak dua tahun silam. Hanya saja tidak ada yang menyambutnya dengan pelukan hangat setiap kali ia pulang ketika liburan semester. Su Li berusaha mengontrol emosinya, sebisa mungkin ia menahan bulir air itu tidak tumpah dari ujung matanya.

“Nona Muda, Tuan Besar telah menunggu anda.”

Su Li mengangguk dan mengikuti pelayan yang tadi menyambutnya. Sesak itu kembali menjalar memenuhi rongga dadanya ketika tidak menemukan satupun potret sang Ibu yang tersisa. Kediaman ini benar-benar tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk mengenang sang Ibunda.

“Ada apa Ayah memanggilku?” ujarnya kemudian menyamankan diri di salah satu sofa yang berada di ruang kerja Su Liang tersebut. Bahkan ruang kerja ini masih sama. Tumpukan berkas masih menggunung di atas meja, rak-rak buku yang sudah ia baca hampir separuhnya itu pun masih berdiri kokoh. Tuan Su menghentikan kegiatan memeriksa dokumennya. Memandang putrinya lurus.

“Bagaimana rasanya pulang?”

“Ayah tidak memanggilku hanya menanyakan pendapatku tentang pulang, bukan? Aku masih memiliki hal yang sedang aku kerjakan.”

Tuan Su melepas kacamata baca yang sejak tadi bertengger menemaninya memeriksa berkas. Memijat pangkal hidungnya sebelum beranjak mendekati sofa dimana Su Li telah menunggunya. Guratan lelah tercetak jelas di wajah berahang tegas itu. Beberapa helai rambut yang memutih juga terlihat diantara legam rambut ikalnya.

“Apa kau merasa tidak menyebabkan masalah?” tanyanya setelah mendaratkan bokongnya di sofa.

Su Li menggeleng tidak mengerti kemana arah pertanyaan sang Ayah.

“Apa kau ada melihat ponselmu?”

“Ponsel? Tidak ada. Apa Ayah ada mengirimkan sesuatu?”

Su Li mengeluarkan ponselnya. Seharian ini ia memang mengabaikan keberadaan benda pipih tersebut. Ternyata sang Ayah ada mengirimkan sesuatu kepadanya. Ia terkejut ketika melihat berita yang Ayahnya kirimkan melalui sebuah tautan.

“Hal tidak masuk akal apa lagi ini?”

Sebuah berita yang bertajuk namanya membuat Su Li menggeleng tidak percaya. Ditambah dengan beberapa foto dirinya dengan Miss Moore.

Miss Moore adalah sekretarisku di Ubex. Tidak ada yang salah jika seorang sekretaris mengikuti atasannya bukan? Tidak ada yang spesial dari hal itu.”

Tuan Su hanya diam memberikan kesempatan kepada Su Li untuk menjelaskan. Gadis itu nampak heran dengan masalah apa yang dihadapinya saat ini. Terlebih lagi sang Ayah sepertinya mempercayai berita tidak berdasar tersebut.

“Apakah Ayah pernah dikatakan gay karena terus bersama Paman Ziang?” tanyanya gemas.

“Setidaknya Ayah sudah menikah dan memiliki seorang putri.”

Su Li speachless mendengar pembelaan sang Ayah.

“Apa wanita itu yang membuatmu patah hati dan kembali ke Tiongkok? Apa karena dia juga yang membuatmu menolak semua pemuda yang Ayah pilihkan untukmu?”

Kesabaran Su Li sudah mencapai ambang batas, ia takut jika terlalu lama berada di ruangan ini bisa membuatnya meledak.

“Aku tidak tahu mengapa aku harus menjelaskan hal konyol ini.”

Su Li menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kepulanganku tidak ada hubungannya sama sekali dengan Miss Moore ataupun hubungan gila yang sedang Ayah bayangkan saat ini. Aku hanya ingin pulang. Mengenai penolakanku itu semata karena aku tidak ingin menikah.”

Selesai mengatakan hal tersebut, Su Li meninggalkan ruangan. Menyisakan Su Liang yang memijat keningnya. Entah mengapa setiap kali mereka berbincang tidak pernah berakhir dengan baik.

***

Su Li rasanya ingin memaki ataupun ingin mencincang orang yang brutal membunyikan bel rumahnya. Semenjak semalam ia merasa ingin memukul seseorang. Dipacunya langkah dengan tergesa menuju pintu, siap untuk meneriaki siapa pun yang berada di balik pintu hitam itu.

Emosinya semakin tersulut sampai ke ubun-ubun kala medapati Wei Fang yang berdiri dengan membawa kardus coklat. Su Li hampir menutup pintu jika Wei Fang tidak kalah gesit menghalangi pintu tersebut dengan kakinya.

“Apakah ini sambutan yang kau berikan pada adikmu setelah lama tidak bertemu?”

“Singkirkan kakimu jika tidak ingin menginap di rumah sakit.”

 Dari sekian juta penduduk bumi, setidaknya setiap orang memiliki sedikitnya tiga orang yang tidak ingin ditemui. Bagi Su Li keberadaan dua wanita asing di rumahnya sangatlah mengganggu. Ia sama sekali tidak mengharapkan hubungan harmonis yang selalu Ayahnya minta padanya. Tetapi sepertinya garis singgung di antara mereka secara cepat atau lambat akan bertemu juga.

Jiê jiê (kakak perempuan), jangan begini. Aku tadi sudah membantumu menerima paket.”

Mendengar kata paket membuat Su Li melonggarkan pegangan tangannya pada pintu. Itu menjadi kesempatan Wei Fang untuk menerobos masuk.

“Wah, ternyata rumah ini sangat nyaman,” ucapnya setelah meletakkan kardus coklat tadi di atas meja. Ia membawa langkahnya ke depan jendela besar. “Pemandangan rumah ini sangat spektakuler. Selera kakak memilih rumah sangat bagus.” Wei Fang memberikan dua jempol sambil tersenyum lebar.

Su Li tidak berekspresi memandangi tingkah konyol gadis muda di hadapannya saat ini. “Silahkan keluar, atau aku akan panggil keamanan.”

“Wah, jangan terlalu galak, Kak. Aku hanya diminta Ayah untuk melihat keadaanmu. Siapa tahu kau depresi setelah berpisah dengan pacarmu.” Wei Fang sengaja berbisik saat menyebutkan kata pacar. Su Li tidak merasa terkejut, karena berita tidak berdasar itu pastilah bersumber dari orang menyebalkan yang menggunakan dress kuning dan sedang memandangnya dengan tatapan angkuh itu.

“Ya, setidaknya aku bisa memiliki orang yang benar-benar tulus dekat denganku dan menjalin hubungan denganku. Tanpa perlu menghamburkan banyak uang untuk memikat mereka mendekat.”

Wei Fang merasa sedikit tersinggung, tetapi ekspresinya berhasil ia tutupi dengan tersenyum miring. Ia tidak mau terlihat goyah.

“Ah, iya. Aku juga tidak pernah menginginkan milik orang lain apalagi sampai merebutnya. Menurutku orang-orang yang seperti itu adalah sampah.”

Seperti terhantam sebuah batu, serangan balik dari Su Li berhasil merobohkan ego dan kepercayaan diri Wei Fang. Tanpa berkata, ia keluar dari kediaman Su Li sambil menghentak kasar. Su Li hanya tersenyum sinis sebelum menuju meja dapur untuk memeriksa isi paket yang tadi dibawa masuk oleh adik tirinya.

Sesuai dugaannya. Paket dengan pengirim anonim itu berisi petunjuk yang ia cari. Berbeda dari dua paket sebelumnya, paket itu berisi dua lembar foto sebuah lobi dari sudut pengambilan gambar yang berbeda.

“Sepertinya aku pernah melihat interior lobi ini,” gumamnya.

Selama beberapa menit Su Li akhirnya mengingat dimana ia pernah mendatangi lobi yang ada di foto. Liang Tech. Ia sangat yakin bahwa foto yang berada di genggamannya saat ini adalah lobi perusahaan Ayahnya. Apakah ada petunjuk selanjutnya di perusahaan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status