Meyra sontak menatap lurus pada sang suami yang masih saja menampakkan gurat ketenangan yang tak tertebak. ”Siapa yang sudah temanmu lihat itu di rumah Mas?” tanya Meyra yang menjadi tak dapat menahan rasa ingin tahunya. ”Kenapa dia mengaku sebagai istri kamu?” cecar Meyra yang sudah tak sabar kala mendapati suaminya hanya diam tak segera menjawab. Nehan merasa sedikit tersudut tapi kemudian dia memberikan senyumannya. ”Itu pasti sepupuku yang sukanya bercanda sama teman-teman aku,” jelas Nehan dengan sangat percaya diri. Kemudian tatapan Nehan terarah lekat pada wajah sang istri yang sorot matanya menguarkan aroma curiga. ”Itu lho sayang dia yang datang sama anaknya yang masih balita juga sama bayinya,” imbuh Nehan yang sedang berusaha mengenyahkan segala praduga sang istri padanya. Kemudian Nehan segera menghampiri sang teman. ”Bro lu, ini jangan bikin istri gue curiga lah. Kalau kayak gini bisa-bisa gue nggak dapat jatah nanti malam,” gurau n berusaha mencairkan suasana yang
Meyra mulai mendekat pada sosok menggemaskan yang sekarang juga menatapnya dengan sangat lekat. ”Hai, sayang, siapa nama kamu?” tanya Meyra pada seorang balita yang sedang bermain dengan mobil-mobilannya di atas lantai yang berkarpet. Meyra kemudian duduk bersimpuh untuk bisa berinteraksi dengan sosok lelaki kecil yang wajah bulatnya begitu manis. ”Arka, Tante,” jawabnya dengan suaranya yang cadel sangat menggemaskan. Meyra tersenyum lebar mendengarnya. ”Kamu main sendiri Arka?” Balita itu mengangguk. ”Apa Tante mau main ama Arka?” Meyra tersenyum lagi menjadi sangat senang karena ajakan anak kecil yang lucu itu. ”Kamu mau tante temani?” Balita bernama Arka itu mengangguk cepat dengan sepasang matanya memberikan tatapan yang sangat jernih. ”Ntar ya Te, Arka ambilin mainannya lagi,” ucap Arka yang kemudian malah berlari dengan sepasang kaki kecilnya tampak begitu lucu ditambah lagi tubuhnya yang bulat dan berkulit bersih. Meyra segera menyukai lelaki kecil itu. Ketika akhir
Ketika Meyra mencecar suaminya. Dirinya melihat kegelisahan pada mata Nehan. Jelas Meyra merasa semua ini menjadi tak wajar. ”Siapa yang sakit Mas?” Meyra kembali mengulangi pertanyaannya. ”Anak sepupuku,” jawab Nehan pada akhirnya. Meyra mengernyitkan dahinya sejenak. ”Jadi Mas menjenguk adiknya Arka yang masih bayi itu?” Meyra memastikan. Nehan memandang pada balita menggemaskan yang sedang tidur di ranjangnya bersama Meyra, lalu mengangguk, menjawab pertanyaan istrinya. ”Sebenarnya sepupumu yang mana sih yang tinggal bersama kita di rumah ini? Apa aku pernah bertemu dengan dia sebelumnya?” Meyra menjadi tak tahan untuk mengungkapkan rasa ingin tahunya. Nehan menatap Meyra gamang, yang segera bisa dirasakan oleh Meyra meski saat ini wanita berambut coklat panjang itu enggan untuk memendam praduga apapun. ”Sudahlah sayang, aku capek sekarang, nggak usah membahas itu. Aku ingin segera tidur.” Nehan kemudian melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Meyra memil
Meyra cukup lama menunggu jawaban dari sang suami. “Bagaimana Mas, katakan di mana adiknya Arka sekarang dirawat biar aku yang akan menjenguknya sendiri sama Arka di sana?” Meyra masih saja mendesak suaminya. Tapi sebelum mendapatkan jawaban dari Nehan mendadak terdengar suara sahutan dari seseorang. “Sebaiknya jangan bawa Arka ke sana Mey,” ucap Cyntia yang sekarang sudah berjalan mendekat. Sejak semalam Cyntia ikut menunggu di rumah sakit dan pagi ini baru saja datang. Meyra segera melirik pada mertuanya yang segera ikut bergabung di meja makan bersama mereka. ”Apa kamu tak tahu kalau sekarang lagi banyak virus bertebaran, aku tak mau kalau Arka mengalami sesuatu?” Cyntia mulai mengatakan alasannya. Meyra segera membenarkan apa yang dikatakan mertuanya. ”Lagipula keadaan Ceria sudah lebih baik sekarang, mungkin besok dia sudah bisa pulang ke rumah. Jadi sebaiknya kamu tak usah menjenguk ke rumah sakit,” imbuh Cyntia. ”Benar apa yang dikatakan Mami, sebaiknya kamu tak usah ke
”Sekar?!” ungkap Meyra kaget sembari segera mendekat membuat sosok kurus itu tak lagi bisa menghindar. Wanita berambut sebahu itu kini hanya bisa menatap Meyra gamang dengan hati yang memendam bermacam rasa yang tak lagi mampu untuk ia lukis. Tatapan wanita bermata lebar itu segera berubah luruh ketika melihat senyum sahabat yang terkembang sempurna untuknya. ”Ya Allah Sekar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana kabar kamu Sekar? Kenapa kamu sama sekali nggak bisa aku hubungi?” cecar Meyra dengan sangat antusias sembari meraih tubuh ringkih sahabatnya itu untuk ia peluk dengan sangat erat meluapkan segala kerinduan yang selama ini ia pendam. Bagi Meyra, Sekar bukan hanya sekedar sahabat. Kedekatan mereka sudah melebihi saudara. Selama mereka masih tinggal di Surabaya sudah terlalu banyak Sekar dan keluarganya memberikan pertolongan padanya. Sekar yang sering memberikan dia makan saat dulu Meyra kelaparan karena selama tinggal dengan ibu kandungnya sendiri Meyra sama seka
Meyra memasuki restoran bernuansa Betawi di depannya itu dengan langkah pasti karena matanya sudah menangkap sosok yang sudah menunggunya di sana sejak dari jauh. ”Sudah lama Mas, datangnya?” tanya Meyra pada sang suami yang siang ini mengajaknya makan bersama di restoran langganan mereka dulu. ”Barusan sampai, kamu mau pesan apa Mey? Apa soto betawi?” tanya Nehan bertanya penuh perhatian pada sosok wanita yang selalu dicintainya itu. Meyra tersenyum simpul. ”Aku kangen banget makan soto di tempat ini Mas, sudah sangat lama ya Mas kita nggak makan di sini,” ucap Meyra dengan tatapan matanya yang tampak berbinar. ”Sejak kita tinggal di New York, kita nggak pernah nyicipi makanan khas Indonesia kayak gini. Makanya sekarang aku ngajak kamu makan di sini,” tukas Nehan dengan tatapannya yang tampak sangat bahagia dengan kebersamaan mereka saat ini. Meyra segera melirik penuh arti pada sang suami masih menyunggingkan senyum gembiranya. “Aku seneng banget Mas, akhirnya kita bisa tingga
Untuk beberapa saat wanita cantik berambut indah itu menarik nafas sangat dalam. Ia ingin menguatkan dirinya untuk melihat lebih jelas sesuatu yang segera menjadi mimpi buruk untuknya. Dengan tangan gemetar ia raih bingkai foto itu yang memampang wajah sang suami bersanding dengan seorang wanita yang tak asing untuknya. Dia adalah sahabatnya sendiri yang bahkan baru saja ia temui di rumah sakit tadi pagi. Kesedihan dan rasa kecewa bercampur jadi satu. Menghujam hati Meyra dengan kepedihan, yang segera mengkristal dalam air mata yang kini mulai mengalir pada kedua pipinya yang sehalus pualam. Sampai kemudian Meyra mulai menyadari Arka yang ada di dalam gendongannya. Segera ia menelisik wajah Arka lebih dalam dan menemukan gambaran lain sang suami di wajah polos itu. Tangisnya semakin deras, meski ia menahan suara pilu agar tak menjadi sebuah isakan. ”Mama Mey, kenapa nangis?” tanya Arka polos. Meyra segera mengusap wajahnya yang basah dengan kasar. Ia menarik nafas dalam sembari
Nehan tetap menelisik wajah sendu istrinya dengan penuh rasa penasaran. ”Katakan sayang apa yang kamu inginkan?” Nehan kembali mengulangi pertanyaannya. Meyra memalingkan wajahnya bahkan mengurai pelukan sang suami yang membuat Nehan kian gusar. Meyra masih harus berusaha untuk menegarkan diri. ”Aku ingin kita bercerai Mas,” desah Meyra lirih namun terdengar tegas. Sontak permintaan itu mengagetkan Nehan hingga lelaki berkumis tipis itu membeliakkan mata. ”Apa maksud ucapanmu ini?” sergah Nehan sembari meraih lagi kedua bahu istri dan memaksa Meyra untuk menentang tatapannya. Meyra dengan kuat menentang tatapan itu, berusaha menunjukkan ketegasannya. ”Ceraikan aku Mas,” tandas Meyra lebih tegar. Nehan segera menggeleng gelisah. ”Kamu ini kenapa Mey?” Nehan semakin terlihat cemas. ”Aku mencintaimu jadi bagaimana mungkin aku akan menceraikan kamu.” ”Tapi aku wanita mandul Mas, dan aku tak akan pernah bisa membuatmu menjadi seorang ayah.” ”Itu tidak penting untukku.” ”Tidak