“So … em … aku masih enggak ngerti apa yang terjadi. Kamu ngelabrak para pengajar, kamu hampir ditahan, dan tiba-tiba aja nilaimu enggak valid?”Jean berheni dan berbalik. Menggeleng-gelengkan kepala. “Intinya aku dicurangi. Dan jangan dibahas lagi. Mending kita fokus.”“Fokus?” Hari baru aja menjelang dan lorong masih sepi. “Fokus untuk apa?”Jean menghela napas dan menatapku seolah tengah menghadapi bayi tolol korban ibu pecandu alkohol. “Kontes Kecakapan itu butuh lebih dari dua orang. Minimalnya bahkan mesti empat.”“Oke.” Yang itu mah aku juga tau.Eh. Bentar. Jangan bilang … “Kamu belum punya ide untuk ngajak siapa lagi?”“Kirain kamu punya.”Huft …Anak ini.Kalau dia enggak punya potensi yang bisa kujadikan jaminan dan kumaanfatkan kedepannya, udah kusingkirin sejak awal.“Minggir!”Uahh!Dasar orang gak sopan!Apa-apaan, sih, teriak-teriak ngagetin pagi-pagi gini.Itu … ternyata mereka.Siapa lagi kalau bukan rombongan Irene. Dan seperti biasa, gadis itu diapit Sara, si cewek
“Lucian enggak bisa diharapkan.” Maksudku, liat aja sikapnya tadi. Dan lawan kami Putra Mahkota? Kayakynya gagasan kalau aku enggak nyata mulai terdengar lebih masuk akal. “Bagus. Kita enggak butuh dia.” “Jean bener. Cukup kita bertiga dan udah terwujud keluarga bahagia. Menakjubkan. Mereka masih sama seperti sebelumnya. Jean masih keras kepala. Dan Arsenault adalah Arsenault. Kombinasi yang sempurna. Ck! Lucian kayaknya ada benernya. Aku mesti lebih pilih-pilih cari sekutu lain kali. “Lagian, apa, sih, Kontes Kecakapan itu?” Kenapa semuanya dibikin rumit? Dari format yang dijabarkan, rasanya tes ini bisa dilakoni perorangan. “Kamu mesti mulai mandiri, Dawver. Instruksi dan petunjuk itu ada untuk dibaca.” Tapi, Jean akhirnya jelasin juga. Jadi … itu terdengar rumit dan berbelit-belit—apa semua kutu buku kerjaannya selalu mempersulit sesuatu agar mereka keliatan lebih pintar, ya? Sekarang rasanya aku ngerti kenapa kebanyakan dari mereka dirundung. Anyway, singkatnya: ini
Huft … Enggak sia-sia rasanya aku ikut seminar mingguan kantor. Meski topiknya bikin bosen setengah mampus dan pengisi acaranya cuma motivator ecek-ecek, aku dapat beberapa pelajaran berharga. Salah satunya adalah gimana cara bikin orang mau melakukan apa yang kita mau. Cerita menarik: ternyata mudah. Giring pemikiran mereka hingga mereka berpikir kalau itu keinginan mereka. Anakmu enggak mau belajar? Sita fasilitasnya dan mulai biasain dia jogging lima kilo sehari. Karyawanmu males-malesan dan enggak produktif? Kasih dia seminar gak guna yang durasinya lama dan sensasi boseninnya bahkan lebih buruk dibanding dikurung di neraka. ‘Temenmu’ enggak mau ngelakuin tugas mereka? Well, kasih tau kalau pilihan yang menanti cuma dropout, menggelandang, dan jadi pecundang. Ada gunanya juga konsep dualisme moral gini, ya. “.… Kebangaan, keagungan, dan kemuliaan abadi. Tentu aku anggap semboyan negeri kita tercinta ini sangat tangguh. Perkasa. Mencerminkan negeri sakti yang takkan pernah
Dan begitulah awal mula aku digiring menuju medan pertempuran asing yang bahkan lebih menyiksa dibanding perang asli ini.Tentu aku suka bergaul—hei, jangan samakan aku dengan sifat kutu buku dan pecudangmu itu, ya.Tapi, sekali lagi, untuk tujuan jelas.Tujuanku di dunia ini satu-satunya adalah untuk menjamin supaya masa depan yang menanti—kalau amit-amit aku mesti membusuk di sini selamanya—dan lebih giat lagi nyari tahu apa eksistensi Nadia Yolanda benar adanya.Hm … setelah kuliat-liat lagi, pesta ini enggak sekuno yang kubayangkan.Nah, beberapa dari kalian tentu pernah liat tayangan serial televisi amoral dari platform streaming negeri barat seputar kehidupan remaja.Pasti enggak jauh-jauh dari pesta pora. Narkoba. Dan seks—emang dasar bocah-bocah ingusan, punya hak apa coba mereka sok-sokan ngelakuin ini.Dan gambaran pesta ini enggak jauh dari yang divisualisasikan media mainstream.Hanya aja lebih halus. Lebih tenang. Dan lebih munafik.Aku tahu, pasti di beberapa sudut yang
“Anda bener-bner bikin saya khawatir, Nona. Bisa tolong jelaskan ke mana anda semalaman ini?”Entah multitasking adalah bagian dari kualifikasi pelayan abad ini, atau emang Rose ini manusia setengah robot.Ya … apa pun itu, dandanin sambil ngeinterogasi orang secara bersamaan seperti sekarang bukan pekerjaan mudah. “Enggak.”“Nona …”Huft …Bener juga.Gara-gara bergaul dengan Sean, aku jadi ketularan kebiasaan buruknya yang seakan bicara tanpa berpikir. “Seorang teman ngajak aku menginap semalam.”“Menginap? Tanpa izin terlebih dulu?”Duh … dia ini berisik banget, sih.Emangnya, dia siapa?Ibuku, kah?Well, dalam beberapa aspek, ya, sedangkan menurut aspek lain enggak.Lagian, ya, yang harusnya nanya-nanya begini adalah ‘keluarga’-ku.Tapi, Alfie sama Lucian anteng-anteng aja—dan agaknya kurang biasa.Entah mereka makin enggak peduli, atau ada kejadian lebih penting yang mesti dipikirkan.Oh. Kalau dipikir-pikir ada.Krisis ekonomi kami yang sampe sekarang masih mengarah ke jalan bun
Nah, bukannya aku enggak bisa bersyukur atau malah tamak. Tapi kadang sesuatu yang enggak biasa bisa bikin dirimu enggak nyaman.Tau tentang teori pembentukan kebiasaan selama 21 hari?Iya, iya.Tuh teori dah basi, dan enggak akurat juga—toh pencetusnya juga malah seorang ahli bedah alih-alih psikolog (ibaratnya seorang dokter gigi tanpa latar belakang olahraga apa pun tiba-tiba ditunjuk sebagai pelatih klub sepakbola).Namun, itu kayaknya yang paling pas diaplikasikan ke sini.Nasib buruk beruntun yang datang nyiptain semacam persepsi kalau aku bakal terus gagal.Meski di beberapa kesempatan langka, aku berhasil, tapi itu merupakan peluang yang udah kuprediksi.Ya … ini juga salah satunya, sih.“Jadi kamu bener-bener berhasil, Dik.”Meskipun tengah berada dalam kondisi yang bikin diri biasaku langsung muak—kembali sekereta bersama Lucian.Tapi, well … karena ini hari yang enggak biasa, jadi kurasa … oke …? “Sayang banget kelompokku enggak menang. Tapi, itu nyaris, mesti kuakuin.”Apr
“—dia … Nadia … Nadia …”“Hm? Hah? Kenapa?”Ibu dalam balutan gaun corduroy mocca kekikinannya tersenyum. “Kok kamu berhenti, tadi kamu mau bilang apa?”Bilang apa?Ah. Benar.Aku sedang di tengah jamuan makan malam super glamor di restoran bintang lima.Ayah berinisiatif mengajak kami ke sini sebagai semacam self-reward bersama setelah berhasil ngejatuhin rival bisnisnya dalam pergolakan pasar saham yang ketat.Itu pertarungan yang alot, menegangkan, dan sangat beresiko.Perusahaan Ayah emang merupakan korporasi multinasional yang memonopoli hampir semua bidang.Jaringan berita, platform streaming, parawisata.Untuk meyakinkan para pemegang saham mayoritas, Ayah bahkan mesti merogoh kocek dalam-dalam untuk mengakuisi beberapa startup potensial, menciptakan citra baik di publik, dan membuat ‘aliansi’ dengan beberapa bekas rival bisnisnya.Meskipun kami mesti kehilangan banyak, tapi kami berhasil melalui itu.Sebagai keluarga.Sebagai suatu kesatuan yang kuat.Menuju akhir bahagia.“Ak
Aku baru aja jadi pembunuh dan rasanya melegakan.Jangan salah.Aku bukan psikopat atau sejenis orang sinting yang bakal menjustifikasi kalau tindakanku beralasan.Well, meski emang beralasan, sih.Tapi, apakah aku bener-bener membunuh?Pada akhirnya, semua kejadian aneh barusan cuma mimpi.Bagian dari imajinasi yang terlalu liar.‘Tapi, apa benar begitu?’ Aku seakan masih mendengar suara-Nya berbisik dari kejauhan.Entah wujud siapa yang Dia pakai.Kalau gitu, semua yang terjadi barusan itu nyata?Aku bakal di sini selamanya?“Nona? Nona? Nona?” Terdengar tiga ketukan di pintu.Aku menyuruhnya masuk tanpa berpikir.Untung yang datang ternyata cuma Rose—ada apaan, sih, denganku sejak bangun ini?Mana kewaspadaan yang kubangga-banggakan itu?“Nona, Tuan Lucian meminta anda untuk—” Rose memekik. “Oh, demi Yang Maha Tinggi. Nona, anda enggak apa?”Hah?Em …Ya ... setelah ngalamin hal luar biasa seperti tadi, pasti setiap orang bakal kacau, ‘kan.Otakku panas. Dan akal sehatku dipertanya