All Chapters of DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate: Chapter 1 - Chapter 10
99 Chapters
Prolog
“Saya tau kamu bukan dari dunia ini.” Eh? Apa katanya? Ah. Enggak! Enggak! Pasti aku salah dengar.  “Em .…, Tuan Devon. Saya tidak mengerti apa yang anda maksu—” “Enggak perlu mengelak lagi. Saya sudah tahu semuanya.” Pria bangsawan itu mengeluarkan buku bersampul coklat dari saku tunik berkilauannya. Sebentar. Buku itu kelihatan familier. Ukurannya yang pas di tangan, desain yang sebelas-dua belas dengan catatan harianku pada kehidupan sebelumnya, sampul belakang yang ditutupi coretan acak-adul iseng dari sampul emas. Sialan. Itu buku harianku! Gimana bisa ada di tangannya? “Saya harap kamu bisa ngasih penjelasan yang rasional ketika aku nyerahin ini ke Baginda Raja." Mampus!
Read more
Mengapa Pulang Kerja Itu Seharusnya Jangan Kelayapan
“Iya, iya. Besok kutransfer pas libur.” Aku berdecak dan mengecek arloji entah untuk yang keberapa kali. Seberapa lama sih nih orang pengen teleponan?   “Tapi ..., beneran, ‘kan, kamu gapapa?”   Enggak apa-apa? Yang benar saja.   Di sini aku juga kesulitan, tahu.   Tiap bulan cuma dapat gaji pas-pasan, tidur tak teratur, lembur jalan terus, sewa apartemen selangit, dan bos jelek mata keranjang tak tahu diri itu selalu melihatku dengan tatapan yang bikin aku tak nyaman.   Akan tetapi, aku cuma menghela napas gelisah. “Iya, gak apa-apa, kok.”   Sejenak berikutnya, panggilan itu dijeda oleh keheningan panjang. Apa sudah ditutup kali ya? Namun, ketika akan kucek, Ibu bersuara lagi.   “Nad, Ibu minta maaf ya. Harusnya Ibu sama Ayah ikut bahagiain kamu, ikut bantu-bantu kamu, tapi malah kita yang ngerepotin. Ibu s
Read more
Buset! Beneran Nih Mati?
Aku terbangun ketika sinar matahari menyorot usil dari balik jendela. Kepalaku pusing dan pandanganku masih buram. Ketika sudah sadar sepenuhnya, ternyata aku berada di tengah ruang yang benar-benar asing. Ruang ini diisi meja rias penuh peralatan make-up aneh yang enggak pernah kulihat, selimut dari wol berenda, serta pintu seputih tulang yang sepertinya dari marmer berkilau. Bentar! Ini di mana? Aku tak punya interior-interior mahal begini. Kenapa pula aku di sni? Ketika kuingat-kuingat, memorinya kabur-kabur. Seperti biasa, semalam aku mampir ke bar Yuda, pesan minuman, bincang mesra bersama Rendi, lalu semuanya jadi sureal. Tunggu. Apa aku dibawa ke sini oleh Rendi dan menghabiskan malam mesra dalam keadaan tak sadar? Oh, Rendi, kamu si bajing
Read more
Halusinasi Membunuhmu
Oke. Jadi singkatnya begini.   Ini adalah Andromeda. Negara fiktif yang punya teknologi setara dunia nyata abad 18-an.   Ketika kebangsawanan dan kasta sosial masih dipermasalahkan. Ketika senjata api mulai mengalami transformasi signifikan besar-besaran.   Di dunia klasik ini, terdapat seorang rakyat jelata bernama Jeanette Folkstein yang—karena suatu alasan—mendapatkan beasiswa untuk menimba pendidikan yang sama di sekolah khusus bangsawan.   Di sana dia bertemu beberapa pria tampan yang akan menjadi pasangan potensialnya. Seorang putra mahkota—hah, tentu saja yang ini pasti, mesti, harus ada. Seorang calon Duke. Seorang murid pertukaran sekaligus diplomat dari kerajaan sekutu. Dan seorang ahli magis.   Tapi, oh, tapi.   Jeanette yang baik hati, murni hatinya, dan rajin menabung mesti menghadapi ancaman besar berupa seorang wanita jahanam.  
Read more
Namanya Juga Fiksi!
Setelah berkontemplasi dan berpikir masak-masak, akhirnya aku sampai pada kesimpulan paling masuk akal.   Ini semua mimpi.   Aku mati?   Reinkarnasi?   Novelku yang mewujud jadi dunia betulan?   Antara kewarasanku yang sudah hilang atau aku kini cuma hanya terperangkap dalam bunga tidur siang bolong yang panjang, terancam dipecat begitu bangun.   Gawat!   Kalau begitu … aku mesti cepat-cepat bangun.   “Nona.”   Aku berhenti berusaha mencubit pipi dan mencakar pergelangan tangan, menoleh, lantas mendapati si pelayan kurang ajar itu menatapku khawatir. Aku langsung pasang wajah sewot.   Tapi, lagi-lagi aku tak sanggup bertahan.   Dasar lemah kau, Nadia! “Apaan, sih? Mau ngadu lagi? Mau bilang aku sekarang udah gak waras?”   Si pelayan me
Read more
Makanya Pintar-Pintar Pilih Teman
Kutatap Dimitri dengan pandangan menyidik yang saksama.   Begini. Aku ini punya ingatan terlampau bagus.   Bahasa ilmiahnya ingatan fotografi. 'Teman'-ku menyebutnya ciri-ciri pendendam. Sedangkan aku mencatatnya dalam daftar 'hal-hal yang kukira berharga tapi tak bisa diuangkan'.   Jadi, ketika kubilang si Dimitri ini tak pernah ada, maka begitulah kenyataannya.   Belum lagi tentang sikap Irene yang tak pernah kuduga. Atau tubuh sialan ini yang staminanya terlampau lemah.
Read more
Menyerah Sajalah
Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainan Russian Roultte.Kau cuma diberi dua pilihan.Mati. Atau menderita lebih lama.Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?"Mo
Read more
Pikirmu Aku Ini Orang yang Minta Dikasihani?
Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur. Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari. Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu. Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita. Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup. Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup? Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat. Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin. Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku t
Read more
Mempecundangi Laki-Laki Itu Rasanya Nikmat Juga
Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele. Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah. Arena berguncang. Sekali. Dua kali. Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini? Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau. Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki? Jenjang. Kikuk. Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah. Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?” Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.
Read more
Kabar Baik
Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup. Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup. Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata. Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah. Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya? Atau malah beneran sudah mati? “Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?” Rasanya sakit banget, setan. Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—” “Ck! Udah, ah. Sana.” “Tapi—” Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status