PLAK!Hm.Sudah berapa tahun sejak aku terakhir kali kena gampar?Tiga. Lima. Sepuluh?Ah, kalau enggak salah ketika aku tertangkap basah main belakang dengan salah seorang kepala bagian.Ya …. untungnya istrinya ini enggak mengadu dan si bajingan itu masih punya rasa malu. Karena sehabis itu dia resign dan sampai sekarang kabarnya enggak pernah terdengar.Entah, deh, gimana kelanjutan pernikahannya.Hancur, tebakku. Pastinya.Lagian, apa lagi yang diharapin dari bahtera yang udah bolong?Apaan?Dengar.Waktu itu aku terpaksa, ya—dikiranya aku wanita gampangan yang bakal tergiur dengan komisi tambahan berkali-kali lipat apa?Dan jangan samakan kasusnya dengan atasanku sekarang yang terlampau menjijikkan.Walaupun umurnya lima tahun lebih tua, tampang si kepala bagian lumayan enak dipandang—kalau kau kasih aku untuk menilai dalam skala angka, mungkin tujuh dari sepuluh (atasan jelek itu? Mines seratus dari seribu.)Anyway, kendati bikin jengkel setengah mati, tamparan juga mengajarkank
“Aku tidak akan berterimakasih, asal tahu saja.”“Hah?” Pangeran Zack nampak terkesiap. Tunggu, apa sebenarnya dia mengharapkan itu? “Oh … enggak. Tenang aja. Sudah jadi tugasku untuk membantu meluruskan.”“Meluruskan?” Apanya? “Sesuatu diluruskan kalau belum ada yang jelas. Di sini udah jelas dia memancing masalah. Kalau kamu beneran mau bantu, laporkan dia ke Tuan Dylan.”“Aku rasa itu agak—”“Gak mau, ‘kan?” Kan. Pada akhirnya, dia sama saja dengan yang lain. Sekumpulan orang angkuh yang menyepelekan manusia lainnya. “Ya udah.”“Hei, hei. Um …”“Mau apa lagi? Dan tolong jangan dekat-dekat. Kamu gak dengar apa yang para Nona itu tadi bilang? Aku menggodamu, kata mereka. Padahal, kita bahkan gak pernah ngorbol.”“Mereka bilang itu?”Apa dia enggak menyimak? “Lupain. Pokoknya, mulai sekarang jangan sok akrab. Jaga jarak. Dan jangan menegurku kalau tak penting. Ada yang pengen ditanyain lagi?”Ketika aku berpaling sesaat, Pangeran Zack mematung dan menggaruk belakang kepalanya yang tak
Terakhir kali aku ikut ujian, sekolah sempat mau dibom.Sumpah!Ceritanya panjang dan mengingatnya juga bikin dasar tenggorokanku gak enak.Intinya sih begini: meski aku dikenal hampir sesabar malaikat, tapi sebagai manusia biasa tentu aku masih punya batas.Dan, seperti yang kalian tau juga, kalau orang di sekitarku itu cuma terdiri dari dua tipe: kecoak tak bernilai atau para rubah berengsek.Jadi ya …Pembuatannya agak mudah, sih.Campurkan ini itu. Lihat panduan di internet. Dan tiba-tiba saja kau sudah semahir teroris—m-maksudnya jadi orang yang disegani teman sekelas.Nah, aku sih punya rencana brilian untuk mengulang hal yang sama kali ini.Tapi, aku terjebak di dunia antah-berantah. Dengan hukum alam yang jelas berbeda—lagian, emangnya ngubah pasir jadi senjata atau besarin tangan sesuka hati itu masih bisa dijelaskan pakai hukum fisika?“Tiga puluh menit lagi.”Gawat.Kacau.Meskipun Rose sudah mencekokiku dengan berbagai buku yang tebalnya hampir seribu halaman.Meski punya
Aku emang ngelakuin banyak kekeliruan.Awal dan puncaknya adalah terlahir sebagai putri dari dua beban masyarakat.Dan banyak lainnya.Karena, lagian, meski punya wajah sesempurna bidadari dan tabiat semulia malaikat, aku masih manusia yang akan selalu punya cela.Tapi, yang tadi itu bukan salah satunya—kurasa.Bentar.Kuingat dulu.Jadi, di mata uji ketiga celaka itu, kami kedapatan disuruh mengarang puisi bebas—padahal, seingatku nih akademi meski isinya cuma sekumpulan remaja tolol dan sepuh bau tanah kolot yang moralitasnya perlu dipertanyakan, seenggaknya mereka punya satu visi masuk akal: melahirkan generasi pemimpin bermartabat, bukannya pengangguran sok tau yang kerjanya cuma mendulang mimpi dan ngehalu.Belibet?Dasar pemalas merepotkan.Gini, biar kusingkat.Bukannya menyinggung, tapi penyair nyataanya gabungan antara parasit dan sampah.Tapi, well, sebagai orang yang udah profesional sejak dini, aku tetap kerjain.Walau itu perintah yang gak manusiawi. Walau itu instruksi y
Ya.Aku tau.Itu tindakan sembrono.Tempat berhenti kami adalah lingkungan antah-berantah.Kalau James punya sedikit kepintaran, mungkin aku yang udah jadi mayat.Tapi, apa yang kamu harapin dari rakyat jelata yang hidup ketika demokrasi belum populer?Seenggaknya, sekarang agak tenang sedikit dunia.Itu jalanan berliku yang jauh banget.Keluar hutan. Masuk hutan. Naik bukit. Turun pegunungan.Apa dunia ini punya semacam roh mistis pendengki yang suka menyesatkan, atau kusir gak gunaku emang buta jalan?“Sudah sampai, Nona,” sahut James begitu aku ingin melabraknya lagi.Hm. Nada barusan terdengar lebih formal, lesu, dan … takut?Aku tau sebagian besar cowok itu bego, tapi lebih bego lagi cowok zaman dulu.Aku turun tanpa disuruh dan tiba-tiba saja berhadapan dengan rumah hantu.Eh bukan, pondok angker.Eh bukan. Bukan.Bentar.Benar ini lokasinya?Kuambil petanya dulu.Benar, kok.Seakan membuktikan sekaligus menyanggah kecurigaanku, pintu bangunan nyaris runtuh itu terbuka dan dari
Ingat ketika kubilang semua ini hanyalah mimpi buruk yang kepanjangan?Kurasa begitu.Kurasa, awalnya, aku baru aja pulang dari jam lembur yang bikin otak hampir meledak.Bersama sejumlah orang-orang menyusahan yang mesti kusebut ‘kolega’ (dalam bahasa halusnya, sih: teman kerja, tapi mana sudi aku sebut mereka teman).Sekumpulan orang tolol yang cuma puas akan satu tujuan.‘Asal kebutuhan rumah cukup. Asal dapur masih ngebul. Asal besok masih bisa makan.’Cuih!Kuperingatkan, ya.Yang namanya ‘cukup’ cuma mitos.Cuma ada ‘kurang’ dan ‘kaya.Bakal selalu ada tuntutan lain. Bakal selalu ada kemalangan yang gak terduga.Mereka yang ngebatasin diri seperti itu cuma bakal jadi seonggok pion dalam papan catur yang lebih besar.Sesuatu yang gak signifikan.Sesuatu yang bakal disingkirin kalau udah gak berguna.Dan figuran kayak mereka berani berpikir untuk ngekritisin aku?Ya … bodo amat juga, sih.Pendapat mereka sama gak pentingnya kayak lalat di tong sampah. Dan itu juga bukan kejadian
Aku direndahkan.Diinjak-injak.Ditelanjangi.Oke.Yang dua awal itu emang gak terjadi secara harfiah, tapi yang ketiga iya.Pakaianku dilucuti.Kupikir itu sejenis sopan santun dan pengabdian klasik bawahan ke majikan—Rose juga bersikeras untuk memandikanku di ‘rumah’ dan mesti kubentak berkali-kali hingga akhirnya dia inisiatif berhenti.Tapi, enggak.Enggak ada air.Enggak ada sabun atau pembersih badan yang digunakan.Aku bahkan gak dituntun menuju kamar mandi.Ada prasangka kalau nyatanya tujuanku terbongkar—setelah mendengar omongan York yang selalu samar beberapa saat lalu, bisa kusimpulkan kalau si nenek sialan itu juga ketangkap.Itu kabar bagus.Aku bahkan sempet minta untuk dibawa ke tempat apa pun itu di mana si nenek ditahan.Biar bisa kulempar batu, kuukir wajahnya dengan kayu tajam, dan mencekiknya hingga hampir mati.Tapi, aku malah dilarang dan mereka berkata, “Itu gak penting, Nona. Kita akan melakukan hal besar hari ini.”Karena kata-katanya jadi terlalu menyenangka
“Saya rasa itu aja, Folkstein.”“Maaf?” Rasanya aku bahkan belum melakukan apa-apa.Yang kami lakukan selama sepuluh menit ini cuma bertukar kabar. Berbincang basa-basi yang tak mengarah pada apa pun, dan … selesai.“Itu aja?”Tuan Dylan mengangguk dan tersenyum. “Saya sungguh senang mendapati generasi muda kami sudah mempertimbangkan baik-baik bagaimana dia bisa berkontribusi pada masyarakat. Itu modal yang signifikan. Terutama untuk anda.”Dia membicarakan ‘berkah’ yang kumiliki.Tentu aja, ini sudah jadi rahasia umum di kalangan pelajar.Lebih-lebih, pria di depanku inilah yang ngasih Ayah surat rekomendasi eksklusif. “Itu berarti … saya lolos?”“Saya enggak bisa menjanjikan apa-apa.” Tuan Dylan berdeham. “Tapi, bisa dibilang, sejauh ini, hampir semua orang mendapat hasil impresif.”“Be-begitu …” Kata ‘tapi’ itu masih bikin aku gelisah. “Kalau saya … kalau saya lulus dari sini, apa Tuan bisa ngasih surat rekomendasi ke Guardian Dorm?Akademi Andromeda memang menjadi institusi pend