Tak ada musuh. Tak ada pelindung. Hanya dua jiwa yang terjebak di neraka yang sama.
Mereka seharusnya saling habisi. Tapi malam membuat mereka saling menjadi napas. Malam belum selesai menumpahkan gelapnya. Dan di kamar itu, dunia seolah berhenti — hanya tersisa dua jiwa yang terperangkap antara ingin lari dan ingin saling hancur. Malam itu, Helena terbangun mendadak. Berkeringat. Napas memburu. Mimpi buruk baru saja menyergap: suara tembakan, tangisan samar, David berlumur darah, dan dirinya — kecil, sendiri di lorong gelap itu. Tangannya gemetar. Dadanya sesak. Dunia kamar menyempit, seolah hendak menghimpitnya hingga remuk. Bayangan itu bergerak dari sofa. Kevin sudah di sisinya bahkan sebelum ia sempat memanggil. Tanpa bicara, tanpa tanya — Kevin menariknya dalam pelukan. Satu tangan menahan belakang kBeberapa luka tak berdarah. Tapi saat seseorang terlalu dalam hidup di kepala seorang pembunuh, itu lebih mematikan daripada peluru mana pun. Langit Velmora belum benar-benar terang, tapi malam sudah kehilangan bisiknya. Di ruang bawah tanah kediaman Xavier, suara pukulan menggema—berulang, liar, seolah seseorang sedang menghukum bayangan yang tak bisa dikalahkan. Kevin Xavier mencoba membungkam pikirannya. Namun setiap pukulan hanya membuatnya semakin mendengar suara Helena Morgan—bukan jeritannya, tapi diamnya. Dan diam itu lebih berbahaya dari peluru mana pun. Dentuman tinju menelan keheningan ruangan. Keringat menetes dari rahangnya, dadanya naik turun, matanya memburu karung tinju seakan itu satu-satunya yang tersisa di dunia. Pukulan demi pukulan ia hantamkan—lebih keras, lebih brutal. Tapi tak satu pun cukup untuk membungkam wajah yang terus muncul
Tak ada musuh. Tak ada pelindung. Hanya dua jiwa yang terjebak di neraka yang sama. Mereka seharusnya saling habisi. Tapi malam membuat mereka saling menjadi napas. Malam belum selesai menumpahkan gelapnya. Dan di kamar itu, dunia seolah berhenti — hanya tersisa dua jiwa yang terperangkap antara ingin lari dan ingin saling hancur. Malam itu, Helena terbangun mendadak. Berkeringat. Napas memburu. Mimpi buruk baru saja menyergap: suara tembakan, tangisan samar, David berlumur darah, dan dirinya — kecil, sendiri di lorong gelap itu. Tangannya gemetar. Dadanya sesak. Dunia kamar menyempit, seolah hendak menghimpitnya hingga remuk. Bayangan itu bergerak dari sofa. Kevin sudah di sisinya bahkan sebelum ia sempat memanggil. Tanpa bicara, tanpa tanya — Kevin menariknya dalam pelukan. Satu tangan menahan belakang k
Perlindungan? Bagi Helena, cuma penjara emas. Kevin Xavier bukan mimpi. Dia nyata. Dan malam itu, Helena tahu: peluru tak berbahaya. Perasaanlah yang membunuh. Malam itu, Balkon Mansion Morgan dibalut kabut tipis dan aroma mawar basah dari taman yang sunyi. Helena berdiri di sana, jubah tidurnya tersapu angin malam. Dari atas, ia bisa melihat pagar besi tinggi dan para pengawal bersenjata yang mondar-mandir dalam diam. "Penjara berlapis emas," gumamnya lirih. "Tapi tetap saja... penjara." Tatapannya menembus gelap, kosong tapi gelisah. Pikirannya kembali ke malam itu—malam yang mencabik seluruh masa kecilnya. Suara tembakan, tangan David berlumur darah dan boneka lusuh yang tak pernah ia temukan lagi setelah itu. Dan di tengah kekacauan, sosok David berdiri membelakanginya. Pistol berasap di tangannya. Wajah tanpa ekspresi. Mata dingin.
Tak ada pelukan. Tak ada pengakuan. Hanya penjagaan yang tak pernah ia minta. Malam itu, Helena Morgan memutuskan: jika mati adalah harga kebebasan... ia siap membayarnya. Malam itu, Helena duduk sendirian di dekat jendela kamarnya. Kamera pengintai di lorong menyala hijau. Tirai dibiarkan setengah tertutup. Ia tahu... Dendy dan David sedang memantau. Tapi mengapa Dendy lebih memilih melindungi dari kejauhan—daripada muncul di hadapannya? Dan kenapa… rasanya lebih mengerikan ketika dia tidak terlihat? Helena Morgan memutuskan untuk mencoba kabur kembali. Ia berdiri di belakang rak buku kamarnya, menarik tuas kecil yang terbuat dari kuningan tua. Klik. Panel tersembunyi terbuka, menganga seperti rahasia masa lalu yang nyaris terlupakan. Lorong sempit di baliknya gelap dan dingin. Udara lembap menyengat hidung, dindingnya masih dipenuhi debu dan sarang
Tidak semua perlindungan lahir dari cinta. Kadang, perlindungan lahir dari rasa memiliki... ...yang tak pernah diucap. Saat makan siang, Helena menatap David tajam. Suasana ruang makan Morgan yang megah itu terasa sesak, meski langit-langitnya tinggi dan jendela kaca memantulkan cahaya matahari. Udara dipenuhi aroma teh dan kayu manis, tapi bagi Helena... hanya bau penjara yang tercium. “Ini semua—pengawasan, patroli, akses dibatasi. Ini bukan standar biasa, Kak.” Nada Helena datar, tapi sorot matanya tajam. David menatap adiknya datar, kedua tangannya bertumpu di meja, seolah menahan sesuatu yang tak ingin diucapkan. “Itu justru perlindungan terbaik. Standar Morgan Empire.” Helena menyipitkan mata. Jemarinya menelusuri tepian gelas teh, seakan mencoba meredam amarahnya. “Sejak kapan kau percaya pada sistem kun
Tidak semua pelindung memakai peluru.Beberapa... memilih hening sebagai senjatanya,Dan malam itu, hening lebih mematikan daripada seribu tembakan.Dendy Alexander melindungi dengan kehancuran.Malam turun seperti kabut racun di atas Blackstone.Di ruang observasi bawah tanah, lampu-lampu monitor berkedip dalam nuansa biru dingin.Suasana sunyi. Terlalu sunyi. Kecuali suara rekaman dari sistem pengawas keluarga Morgan—sistem yang telah dibobol oleh tim Dendy beberapa jam lalu, tanpa jejak.Salah satu layar menampilkan titik merah yang berkedip cepat: lokasi Helena Morgan, detik-detik sebelum konvoi meledak di jalan antar kota. Visualnya kabur, tapi cukup untuk menangkap serpihan mimpi yang pecah dalam kobaran api.Dendy Alexander duduk tegak di kursi logam hitam. Tak bersandar. Wajahnya tak bergerak sedikit pun saat layar menampilkan Kevin Xavier yang tiba di lokasi—menembak dengan presisi brutal, menarik Helen