Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 4. BAYANGAN DAN ANCAMAN

Share

CHAPTER 4. BAYANGAN DAN ANCAMAN

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-06-12 11:16:39

Ada dua jenis keheningan dalam dunia mafia:

Yang satu mendamaikan.

Yang lainnya... adalah peringatan sebelum darah tumpah.

Dan malam ini, keheningan itu... menyimpan dua eksekusi dalam dua wilayah berbeda—

Satu dari trauma, satu dari strategi.

Tapi keduanya... lahir dari dendam yang tidak pernah tidur.

— Velmora Selatan

Ruang bawah tanah itu berbau besi dan pembusukan.

Dindingnya lembap, dilapisi jamur tua. Cat mengelupas di berbagai sisi. Hanya satu lampu gantung yang berayun pelan di tengah ruangan, menciptakan siluet samar dari tubuh yang nyaris tak berbentuk.

Seorang pria tua terikat di kursi besi. Tubuhnya bersimbah luka. Nafasnya satu-satu. Beberapa giginya hilang. Bajunya robek. Matanya setengah tertutup oleh darah kering.

Tubuh yang dulu tegap itu sekarang hanya sisa dari kebanggaan masa lalu.

Langkah pelan terdengar mendekat.

Sepatu kulit hitam yang terlalu rapi untuk tempat sebrutal ini. Suaranya menggema seolah membunuh harapan dari dinding ke dinding.

Ronald Xavier.

Setelan abu-abu gelap. Dasi merah marun. Sarung tangan kulit hitam yang bersih seperti baru dibeli.

Di tangannya—pemotong cerutu. Tapi bukan untuk cerutu.

Ronald berhenti di depan pria itu. Ia jongkok perlahan. Mata dan matanya hanya berjarak sejengkal.

Senyum kecil muncul di wajah Ronald. Bukan senyum kemenangan. Tapi senyum seseorang yang sedang menikmati proses kematian.

 “Kau tahu…” katanya pelan, “aku bisa memaafkan kesalahan.”

Ia mengangkat tangan, jari-jari bersarung menyentuh wajah korban dengan kelembutan yang menjijikkan.

“Tapi aku tidak pernah memaafkan pengkhianatan.”

“Kau pikir karena kau tua aku akan menghormatimu?” Ronald berbisik di dekat telinga korban. Nafasnya hangat, tapi kalimatnya lebih dingin dari besi. “Kau tahu siapa aku. Aku bukan bayangan Arthur. Aku adalah hasil dari pengkhianatan kalian.”

Klik.

Suara logam kecil dari alat di tangannya.

“ARGHHH!”

Satu jeritan pecah, seakan mengiris malam yang sudah dingin.

Bunyi tulang retak, daging terkoyak. Terdengar seperti musik bagi Ronald.

Ia bangkit perlahan. Menyeka sarung tangannya dengan tisu putih, lalu melipatnya rapi dan meletakkan di meja.

 “Sudah kubilang... siapa pun yang bocorkan informasi ke Morgan, akan kupotong lidahnya dulu. Sayangnya, kau tak sempat bicara cukup banyak.”

Ia menoleh ke arah kamera CCTV kecil di sudut langit-langit. Menatap lurus.

 “Pastikan rekamannya dikirim ke semua agen bayangan di Castrovigno. Mereka harus tahu… pengkhianatan bukan sekadar kata.”

Setelah jeritan itu berhenti, Ronald melangkah pelan, lalu menepuk pipi korban.

“Sayangnya, kau mati sebagai pengkhianat. Bukan pejuang.”

Ia berbalik dan menutup pintu. Tanpa ekspresi. Tanpa dendam.

Hanya sistematis. Seperti eksekusi yang sudah dijadwalkan.Ronald melangkah keluar.Sebab untuknya, rasa kasihan adalah kelemahan. Dan kelemahan... adalah dosa.

. . .

— Velmora Utara, pagi yang sama

Ruang kerja David Morgan sunyi seperti makam.

Hanya detak jam antik di dinding dan hembusan halus dari sistem ventilasi bawah tanah. Cahaya dari jendela kaca besar menyapu permukaan meja kayu hitam, memantulkan siluet wajah pemiliknya.

Di meja itu, tumpukan laporan bersandar pada satu sisi: daftar loyalis, data transaksi, dan surat intel yang sebagian besar bertanda merah.

Tanda bahaya.

David duduk diam. Punggungnya lurus.

Di jari telunjuknya, cincin perak tua dengan ukiran singa mencuri cahaya pagi—warisan Charles Morgan.

Simbol darah. Simbol beban.

Ia membalik satu berkas. Tangannya tak gemetar. Tapi mata... tak berkedip.

Sorot itu seakan mampu menembus daging dan menanyai tulang.

“Montavaro mulai retak,” suara tenang dari earpiece di telinganya.

“Tiga pelabuhan pindah tangan ke Ronald.”

David tidak menjawab. Hanya menyentuh tombol di keyboard.

Layar kecil menyala. Wajah seorang pria tua muncul—bengkak, berdarah. Suara seret napas terdengar lemah.

Itu adalah salah satu veteran Morgan.

David mengenal pria tua itu bukan dari medan perang, tapi dari suara dongeng yang dulu dibisikkan ke telinga Helena kecil setiap malam saat ia absen.

“Kau jangan takut... abangmu kuat.”

Itu suara pria itu. Dulu.

Sekarang… rekamannya penuh darah

Orang yang ikut membangun Velmora Utara dari lumpur dan darah.

David menonton videonya sampai habis.

Sampai terdengar suara Ronald:

“Kalau kau bocorkan informasi ke Morgan… potong lidahnya.”

David menutup layar.

Tidak ada kemarahan meledak. Tidak ada benda pecah.

Tapi jari-jarinya menggenggam lengan kursi terlalu kuat—uratnya tampak. Buku jarinya memutih.

Ia bangkit. Langkahnya perlahan ke meja kaca tempat peta digital terpampang.

Ia menyentuh satu titik: Castrovigno.

Menggeser pena.

Lalu menulis satu kata dalam huruf kapital:

BALAS.

Tak ada pidato. Tak ada teriakan.

David hanya menatap nama itu.

Ia tidak akan marah. Karena marah membuat keputusan jadi lambat.

Ia hanya mencatat nama.

Lalu menghapus seluruh jaringan di sekitarnya seperti menghapus debu dari ujung jas.

Dan dalam diam, ia membuat janji—jika satu pria disiksa... sepuluh kota akan dibayar dengan api.

“Siapa tim paling sunyi yang kita miliki?”

“Tim S-9, Tuan.”

David mengangguk. “Kirim mereka malam ini. Tak perlu membawa nama Morgan.

Biar mereka pikir ini hanya kutukan.”

Mata David menatap bayangan dirinya di kaca jendela.

“Dan saat aku datang... tak ada yang pulang utuh.”

Tidak ada ledakan. Tidak ada deklarasi perang.

Tapi malam itu, dua keputusan telah dibuat.

Ronald membakar demi masa lalu.

David membalas demi masa depan.

Dan di antara mereka—

hanya mayat-mayat yang akan mengisi ruang negosiasi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 101. INGATAN YANG TIDAK DIWASIATKAN

    Blackstone, malam ketiga setelah operasi tersebar.Helena duduk paling ujung meja taktis yang kini tak lagi menampilkan peta. Hanya gelap. Seolah dunia pun sedang menahan napas.Dendy meletakkan tiga map lusuh di hadapannya. Satu dari Nocterra. Satu dari Valoria. Dan satu dari Belegrive.Kevin berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh di dinding seperti biasa. Tapi kali ini, sorot matanya berbeda. Terlalu dalam untuk hanya menyimpan strategi. Terlalu sunyi untuk disebut waspada.Wolf membuka map pertama.Di dalamnya, kertas hasil print dari server Nocterra. Nama-nama yang pernah menyamar jadi operator lintas garis. Semuanya sudah mati. Atau dibungkam.Map kedua. Valoria. Dendy meletakkan berkas itu dengan lebih pelan. Di dalamnya, bukan hanya catatan. Tapi surat operasi yang menyebut tiga nama:Lucas Alexander.Salvatore Xavier.Dimitri Morgan.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 100. JEBAKAN DI VALORIA

    Valoria — dua hari setelah infiltrasi Nocterra.Kabut malam Valoria turun seperti selimut busuk yang terlalu lama tak diganti.Bau garam, racun logam, dan karat menempel di tenggorokan.Kota itu seakan menolak dibersihkan—seperti kenangan buruk yang tak pernah benar-benar terkubur.David menyalakan rokok, lalu mematikannya lagi bahkan sebelum sempat menghisap.Jari-jarinya basah karena udara asin, atau karena firasat yang menekan di belakang kepalanya.Di sampingnya, Wolf berjalan dalam diam.Sepatu bot mereka menjejak koridor beton bawah pelabuhan lama—tempat yang pernah jadi jalur senjata biologis saat rezim Charles masih berkuasa.“Tempat ini dibersihkan setelah kebakaran beberapa tahun lalu,” gumam Wolf.“Tapi bangkai dokumen biasanya selamat lebih lama dari manusia.”David tak menjawab.Ia menarik satu lembar catatan dari saku dalam jasnya. Sebuah peta tua, lusuh, penuh anotasi tangan.Diberi penanda tinta merah—tempat Dimitri biasa menyimpan berkas rahasia luar sistem.“Kita car

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 99. BAYANG YANG TIDAK DIUNDANG

    Belegrive — tiga hari kemudian.Kota itu tak pernah tidur. Tapi tidur di Belegrive... selalu berarti mengubur kesaksian.Helena mengenakan mantel gelap, menyatu dengan arus langkah para pejalan malam.Angin membawa aroma alkohol, logam, dan nyala api dari cerobong-cerobong industri pencucian uang yang menyamar sebagai pabrik daur ulang.Helena berhenti di depan gedung tua berlapis kaca buram. Tak ada nama. Tak ada tanda. Tapi ia tahu: di dalamnya, Caspian Montgomery menyimpan semua rahasia keuangan Sylvania.Langkah kaki berhenti di belakangnya. Bukan musuh. Tapi bukan juga sekutu penuh.Seorang pria tua, dengan tubuh bungkuk dan wajah dipenuhi bekas luka. Loyalis David. Salah satu yang selamat—tapi tak pernah utuh lagi.“Kau datang sendiri,” gumam pria itu. Suaranya serak, nyaris seperti kerikil yang terinjak.Helena tidak menoleh. “Kau masih mengingat?”“Aku tidak bisa lupa, Lena. Karena mereka tak pernah berhenti membuatku mengingat.”Ia menyodorkan amplop kecil dari balik jaket. “

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 98. TULANG YANG MEREKAH

    Blackstone dipenuhi aroma besi basah dan kertas tua malam itu.Meja taktis di ruang rapat utama sengaja dibiarkan gelap, seolah para penghuninya sepakat untuk tidak membicarakan apapun yang belum sanggup mereka telan.Dendy membuka koper besi, menaruh dokumen hasil dari Viremont di atas meja satu per satu.Map lusuh, lembaran dengan cap Morgan lama, hingga surat dari Charles Morgan yang kini menjadi hantu paling nyata di ruangan itu.Helena duduk tegak di kursi utama. Kevin bersandar di dinding belakangnya. Wolf berdiri di sisi pintu, tangan terlipat, matanya tak berkedip.David membuka suara.“Semua dokumen ini... bukan tentang pengkhianatan biasa. Mereka bukan cuma ingin menghapus namamu, Lena. Mereka ingin menghapus... konsepmu.”Helena menunduk sebentar. Lalu menatap lurus ke David. Suaranya rendah, tetapi jelas."Lalu kita mulai dari siapa yang paling takut kalau aku bertahan."David menyalakan lay

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 97. JEJAK DI BALIK SPIRAL

    Langit pagi di atas Isle of Viremont tampak kelabu, tapi tak lagi hujan.Udara di sekitar pulau itu dingin dan basah, seolah membawa sisa-sisa rahasia yang pernah dibuang jauh ke dalam tanah.Empat siluet mendekat dari sisi dermaga tua—Helena, Kevin, Dendy, dan David.Mereka bergerak tanpa suara. Tak ada komunikasi. Hanya langkah yang sudah terlalu lama disesuaikan dengan bahaya.Bangunan spiral yang mereka tuju menjulang rendah seperti bekas tulang punggung monster purba.Struktur beton tua dengan lumut di setiap sisi. Tidak ada penjaga. Tidak ada sistem modern. Justru karena itu… tempat ini jauh lebih berbahaya."Gerbang manual," ucap Dendy pelan, menekuk tubuhnya membuka palang tua yang tersembunyi di balik semak.David menyusul masuk pertama.“Kita hanya cari dokumen. Jangan sentuh apa pun selain yang ada di daftar.”Kevin berjalan pelan di samping Helena

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 96. RONGGA DALAM SEBELUM GELOMBANG

    Blackstone tak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu terasa seperti tubuh besar yang menahan napas.Langit masih kelabu. Hujan hanya tinggal gerimis tipis yang menetes seperti sisa air mata yang tak pernah sempat jatuh.Di ruang observasi atas, Helena berdiri sendiri menghadap kaca tebal.Di baliknya, kota bawah tanah tampak seperti labirin arteri yang tenang—padahal denyut di dalamnya mulai menyiapkan perang.Helena menggenggam secangkir teh yang sudah lama dingin. Tapi ia tak peduli. Di kepalanya, suara Raymond masih terngiang:"Ia lahir dari kelalaian."Ia mengulangnya diam-diam. Tak untuk membenci. Tapi untuk mengingat. Karena ia tahu—kalimat itulah yang akan ia balas dengan seluruh warisan yang kini ada di punggungnya.Langkah pelan terdengar. Kevin mendekat. Tidak memecah hening. Tidak bertanya apa-apa. Ia hanya berdiri di belakang Helena.Tidak menyentuh, tidak menyela. Hanya napasnya… yang membuat ruang itu terasa sedikit lebih hidup."Kau percaya takdir bisa diubah?" tanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status