Ada dua jenis keheningan dalam dunia mafia:
Yang satu mendamaikan. Yang lainnya... adalah peringatan sebelum darah tumpah. Dan malam ini, keheningan itu... menyimpan dua eksekusi dalam dua wilayah berbeda— Satu dari trauma, satu dari strategi. Tapi keduanya... lahir dari dendam yang tidak pernah tidur. — Velmora Selatan Ruang bawah tanah itu berbau besi dan pembusukan. Dindingnya lembap, dilapisi jamur tua. Cat mengelupas di berbagai sisi. Hanya satu lampu gantung yang berayun pelan di tengah ruangan, menciptakan siluet samar dari tubuh yang nyaris tak berbentuk. Seorang pria tua terikat di kursi besi. Tubuhnya bersimbah luka. Nafasnya satu-satu. Beberapa giginya hilang. Bajunya robek. Matanya setengah tertutup oleh darah kering. Tubuh yang dulu tegap itu sekarang hanya sisa dari kebanggaan masa lalu. Langkah pelan terdengar mendekat. Sepatu kulit hitam yang terlalu rapi untuk tempat sebrutal ini. Suaranya menggema seolah membunuh harapan dari dinding ke dinding. Ronald Xavier. Setelan abu-abu gelap. Dasi merah marun. Sarung tangan kulit hitam yang bersih seperti baru dibeli. Di tangannya—pemotong cerutu. Tapi bukan untuk cerutu. Ronald berhenti di depan pria itu. Ia jongkok perlahan. Mata dan matanya hanya berjarak sejengkal. Senyum kecil muncul di wajah Ronald. Bukan senyum kemenangan. Tapi senyum seseorang yang sedang menikmati proses kematian. “Kau tahu…” katanya pelan, “aku bisa memaafkan kesalahan.” Ia mengangkat tangan, jari-jari bersarung menyentuh wajah korban dengan kelembutan yang menjijikkan. “Tapi aku tidak pernah memaafkan pengkhianatan.” “Kau pikir karena kau tua aku akan menghormatimu?” Ronald berbisik di dekat telinga korban. Nafasnya hangat, tapi kalimatnya lebih dingin dari besi. “Kau tahu siapa aku. Aku bukan bayangan Arthur. Aku adalah hasil dari pengkhianatan kalian.” Klik. Suara logam kecil dari alat di tangannya. “ARGHHH!” Satu jeritan pecah, seakan mengiris malam yang sudah dingin. Bunyi tulang retak, daging terkoyak. Terdengar seperti musik bagi Ronald. Ia bangkit perlahan. Menyeka sarung tangannya dengan tisu putih, lalu melipatnya rapi dan meletakkan di meja. “Sudah kubilang... siapa pun yang bocorkan informasi ke Morgan, akan kupotong lidahnya dulu. Sayangnya, kau tak sempat bicara cukup banyak.” Ia menoleh ke arah kamera CCTV kecil di sudut langit-langit. Menatap lurus. “Pastikan rekamannya dikirim ke semua agen bayangan di Castrovigno. Mereka harus tahu… pengkhianatan bukan sekadar kata.” Setelah jeritan itu berhenti, Ronald melangkah pelan, lalu menepuk pipi korban. “Sayangnya, kau mati sebagai pengkhianat. Bukan pejuang.” Ia berbalik dan menutup pintu. Tanpa ekspresi. Tanpa dendam. Hanya sistematis. Seperti eksekusi yang sudah dijadwalkan.Ronald melangkah keluar.Sebab untuknya, rasa kasihan adalah kelemahan. Dan kelemahan... adalah dosa. . . . — Velmora Utara, pagi yang sama Ruang kerja David Morgan sunyi seperti makam. Hanya detak jam antik di dinding dan hembusan halus dari sistem ventilasi bawah tanah. Cahaya dari jendela kaca besar menyapu permukaan meja kayu hitam, memantulkan siluet wajah pemiliknya. Di meja itu, tumpukan laporan bersandar pada satu sisi: daftar loyalis, data transaksi, dan surat intel yang sebagian besar bertanda merah. Tanda bahaya. David duduk diam. Punggungnya lurus. Di jari telunjuknya, cincin perak tua dengan ukiran singa mencuri cahaya pagi—warisan Charles Morgan. Simbol darah. Simbol beban. Ia membalik satu berkas. Tangannya tak gemetar. Tapi mata... tak berkedip. Sorot itu seakan mampu menembus daging dan menanyai tulang. “Montavaro mulai retak,” suara tenang dari earpiece di telinganya. “Tiga pelabuhan pindah tangan ke Ronald.” David tidak menjawab. Hanya menyentuh tombol di keyboard. Layar kecil menyala. Wajah seorang pria tua muncul—bengkak, berdarah. Suara seret napas terdengar lemah. Itu adalah salah satu veteran Morgan. David mengenal pria tua itu bukan dari medan perang, tapi dari suara dongeng yang dulu dibisikkan ke telinga Helena kecil setiap malam saat ia absen. “Kau jangan takut... abangmu kuat.” Itu suara pria itu. Dulu. Sekarang… rekamannya penuh darah Orang yang ikut membangun Velmora Utara dari lumpur dan darah. David menonton videonya sampai habis. Sampai terdengar suara Ronald: “Kalau kau bocorkan informasi ke Morgan… potong lidahnya.” David menutup layar. Tidak ada kemarahan meledak. Tidak ada benda pecah. Tapi jari-jarinya menggenggam lengan kursi terlalu kuat—uratnya tampak. Buku jarinya memutih. Ia bangkit. Langkahnya perlahan ke meja kaca tempat peta digital terpampang. Ia menyentuh satu titik: Castrovigno. Menggeser pena. Lalu menulis satu kata dalam huruf kapital: BALAS. Tak ada pidato. Tak ada teriakan. David hanya menatap nama itu. Ia tidak akan marah. Karena marah membuat keputusan jadi lambat. Ia hanya mencatat nama. Lalu menghapus seluruh jaringan di sekitarnya seperti menghapus debu dari ujung jas. Dan dalam diam, ia membuat janji—jika satu pria disiksa... sepuluh kota akan dibayar dengan api. “Siapa tim paling sunyi yang kita miliki?” “Tim S-9, Tuan.” David mengangguk. “Kirim mereka malam ini. Tak perlu membawa nama Morgan. Biar mereka pikir ini hanya kutukan.” Mata David menatap bayangan dirinya di kaca jendela. “Dan saat aku datang... tak ada yang pulang utuh.” Tidak ada ledakan. Tidak ada deklarasi perang. Tapi malam itu, dua keputusan telah dibuat. Ronald membakar demi masa lalu. David membalas demi masa depan. Dan di antara mereka— hanya mayat-mayat yang akan mengisi ruang negosiasi.Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”
Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan
Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki