Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 3. BAYANGAN DI ATAS TAHTA

Share

CHAPTER 3. BAYANGAN DI ATAS TAHTA

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-06-12 10:53:17

Beberapa dinasti tumbuh dari kemenangan. Tapi dinasti Morgan, Xavier, dan Alexander… tumbuh dari luka.

Sepuluh tahun berlalu—dan darah mereka belum benar-benar kering.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam dua raja tumbang di tengah reruntuhan. Tapi Velmora tak pernah jadi damai. Ia hanya berganti penjaga.

Kini, David Morgan adalah namanya.

Tak lagi hanya anak Charles. Ia adalah penguasa penuh Distrik Morgan—dingin, presisi, tak tersentuh.

Setiap langkahnya menutup celah. Setiap keputusannya disambut ketakutan dan kekaguman. Tak ada ruang untuk tanya. Tak ada ruang untuk gagal.

Di bawah kepemimpinannya, Distrik Morgan berkembang seperti arteri bawah tanah:

Hotel mewah sebagai topeng. Pelabuhan gelap sebagai jalur. Klub malam elit sebagai markas komunikasi.

Dresvane, Gravemount, Viremont, Bellavene, Kravenholm, hingga Velmora Utara—semua tunduk pada satu pria yang tak memberi ampun.

Di ruang rapat bawah tanah yang tak punya jendela, David duduk di ujung meja panjang dari kayu obsidian. Tangannya menyentuh permukaan dingin sambil membaca laporan mingguan dari Kravenholm.

Tak ada suara selain detak jam dan ketukan jarinya.

Ia tak memburu dunia. Ia hanya memastikan dunia tak menyentuh satu hal: Helena.

Di dinding belakang, tergantung lambang Morgan—mahkota di atas pedang yang menancap ke akar. Simbol itu juga tertanam di lengan kirinya sejak bayi.

Cap besi panas, tinta hitam, dan tangis pertama—itulah ritual setiap pewaris murni keluarga Morgan.

Tak lama, seorang agen baru—masih muda, masih gemetar—berdiri di hadapannya.

“Ada... ancaman dari wilayah selatan. Mereka menyusup lewat Viremont.”

David menatap pria itu. Tak marah. Tak bertanya. Hanya satu kalimat:

“Berapa orang yang kau biarkan hidup?”

Agen itu menelan ludah. “T-tiga, Tuan. Tapi... kami…”

“Buat jadi dua.” David berdiri. “Sisanya cukup untuk menyebar ketakutan.”

Ia melangkah pergi. Tak menoleh. Dan pintu baja itu menutup seolah menelan semua udara.

Di balik ruang itu, hanya ada satu gambar tergantung di tembok belakang ruang pribadinya.

Foto Helena—masih remaja—tersenyum kecil, rambutnya ditiup angin, dan di dadanya samar terlihat bekas tinta…

tanda Morgan, berdiri di taman belakang keluarga Morgan.

Ia menatap foto itu lama. Lalu berbisik:

“Kau... tetap menjadi satu-satunya alasan dunia ini belum aku kubur.”

Wajah itu adalah satu-satunya alasan David belum membakar dunia.

Di balik wajah tenangnya, David menyimpan ribuan rencana yang tak pernah diucapkan. Setiap detik ia diam, ada nyawa yang sedang diputuskan.

Bagi dunia luar, ia seperti patung obsidian—tapi di dalam, bara dendamnya tak pernah padam.

“Orang takut padaku,” pikirnya, “tapi kalau mereka tahu siapa yang benar-benar kulindungi... mereka akan ketakutan karena alasan lain.”

Tapi kekuasaan bukan milik satu nama.

Di sisi lain kota, di bawah cahaya yang lebih bengis dari lampu rapat bawah tanah—

musuh lama David juga sedang menyusun dunia.

Namanya Ronald Xavier.

Tapi yang ia warisi bukan hanya tahta—melainkan dendam yang belum pernah tidur.

Ronald Xavier berdiri di depan peta besar Velmora, menyulut cerutu sambil menandai satu titik dengan ujung pisau: Bellavene—baru saja jatuh.

“Viremont selanjutnya,” gumamnya.

Ia menyibak kerah jasnya. Di tengkuknya—di balik rambut yang dikuncir rapi—tertatto sebuah simbol:

Perisai terbakar dengan panah mengarah ke bawah.

Cap resmi keluarga Xavier.

Tengkuk. Tempat paling rentan. Tapi juga tempat yang ia izinkan dunia lihat.

“Kalau kau menyentuh tengkukku... berarti aku sudah di depanmu.”

Ronald bukan hanya pemburu. Ia adalah simbol trauma Xavier yang dibangkitkan. Ia ingin lebih dari sekadar wilayah.

“Aku akan menghapus nama Morgan dari sejarah.”

Ia menatap peta itu seperti menatap nisan kosong yang menunggu ukiran nama musuh.

Setiap garis merah adalah luka yang ingin ia balas.

“Ayah... lihat aku sekarang. Aku bukan bayanganmu lagi,” bisiknya pelan.

Api cerutu menyala di ujung jarinya—tapi di matanya, kebencian membakar lebih dari api mana pun.

Ia berdiri di balkon, menatap peta besar Velmora yang digantung di ruang rapat.

Lima titik merah ditandai dengan api. Empat di antaranya sudah ia rebut.

“Aku akan menyalakan api di atas kuburan mereka,” katanya pelan.

Di belakangnya, anak buah menyodorkan laporan intel.

“Grup Drosnya dan Castrovigno sudah dikonsolidasi, Tuan. Sinyal dari Bellavene berhasil diputus, tapi ada penolakan dari… seseorang di barat.”

Ronald menoleh. Matanya menyipit. “Seseorang?”

“Bukan David. Tapi bukan manusia biasa juga.”

Ronald tersenyum bengis. “Aku tau siapa dia.”

. . .

Tidak semua pria menyusun kekuasaan dengan peluru dan peta.

Di sisi tergelap Velmora—di tempat kabut bisa menyimpan janji dan pengkhianatan—

ada seseorang yang tak disebut… tapi selalu menghitung.

Dendy Alexander tak memulai perang.

Tapi ia akan mengakhirinya.

Nama itu bukan sekadar bayangan.

Ia nyata. Ia sedang menunggu.

Blackstone, Ravenstale, Ravenshade, dan Greywick tunduk padanya bukan karena kekerasan, tapi karena keheningan yang lebih mengancam dari teriakan.

Dendy Alexander. Legenda mafia. Dingin, kejam, dan nyaris tak terlihat. Ia punya sesuatu yang tak dimiliki Ronald maupun David:

Kesabaran. Dan memori utuh tentang masa lalu.

Di lengan kanannya, tersembunyi di balik lengan baju, ada cap warisan yang dibakar ke kulitnya:

Sarung tangan logam mencengkeram jam pasir pecah.

Simbol Alexander.

Letaknya di kanan—tangan penentu. Tangan eksekusi.

Jam pasir pecah itu warisan Benjamin. Artinya:

“Aku tak pernah terlambat. Aku hanya menunggu saatnya membunuh.”

Ia berdiri di depan meja. Peta tua Velmora terbentang. Di tengahnya… titik kecil yang ia lingkari hitam: Helena.

“Semua orang mencari takhta,” gumamnya.

“Tapi aku... hanya menjaga satu warisan yang masih hidup.”

Ia menyentuh titik itu dengan ujung jari. Lalu menoleh ke arah gelap ruangan, tempat asistennya menunggu.

“Berikan aku data terbaru tentang Helena.”

Dendy tidak pernah berbicara banyak tentang masa lalu. Tapi setiap malam, ia mengulang satu nama sebelum tidur—tanpa suara, tanpa doa.

Hanya ingatan.

“Helena…”

Ia bukan sekadar warisan. Ia adalah alasan kenapa Dendy belum mencabut akar dunia ini dari dasarnya.

“Selama dia bernapas... masih ada hal yang pantas kulindungi.”

“Aspek taktis, Tuan?” tanya si asisten.

Dendy menatapnya. Tajam.

“Semua aspek. Termasuk... mimpi buruknya.”

Dunia tidak berubah karena perang.

Dunia berubah karena satu jiwa yang diam-diam bertahan.

Dan di tengah kekaisaran yang dibangun oleh pria-pria penuh luka, seorang wanita tumbuh…

sebagai alasan,

sebagai ancaman,

dan mungkin—sebagai akhir dari segalanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 144. DARAH YANG MENUNGGU

    Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 143. BAYANGAN YANG KEMBALI

    Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 142. PELURU YANG MENGINGATKAN

    Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 141. BAYANGAN YANG MENYUSUP

    Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 140. DARAH DI ATAS MEJA

    Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 139 . API YANG TAK PERNAH PADAM

    Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status