Beberapa dinasti tumbuh dari kemenangan. Tapi dinasti Morgan, Xavier, dan Alexander… tumbuh dari luka.
Sepuluh tahun berlalu—dan darah mereka belum benar-benar kering. Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam dua raja tumbang di tengah reruntuhan. Tapi Velmora tak pernah jadi damai. Ia hanya berganti penjaga. Kini, David Morgan adalah namanya. Tak lagi hanya anak Charles. Ia adalah penguasa penuh Distrik Morgan—dingin, presisi, tak tersentuh. Setiap langkahnya menutup celah. Setiap keputusannya disambut ketakutan dan kekaguman. Tak ada ruang untuk tanya. Tak ada ruang untuk gagal. Di bawah kepemimpinannya, Distrik Morgan berkembang seperti arteri bawah tanah: Hotel mewah sebagai topeng. Pelabuhan gelap sebagai jalur. Klub malam elit sebagai markas komunikasi. Dresvane, Gravemount, Viremont, Bellavene, Kravenholm, hingga Velmora Utara—semua tunduk pada satu pria yang tak memberi ampun. Di ruang rapat bawah tanah yang tak punya jendela, David duduk di ujung meja panjang dari kayu obsidian. Tangannya menyentuh permukaan dingin sambil membaca laporan mingguan dari Kravenholm. Tak ada suara selain detak jam dan ketukan jarinya. Ia tak memburu dunia. Ia hanya memastikan dunia tak menyentuh satu hal: Helena. Di dinding belakang, tergantung lambang Morgan—mahkota di atas pedang yang menancap ke akar. Simbol itu juga tertanam di lengan kirinya sejak bayi. Cap besi panas, tinta hitam, dan tangis pertama—itulah ritual setiap pewaris murni keluarga Morgan. Tak lama, seorang agen baru—masih muda, masih gemetar—berdiri di hadapannya. “Ada... ancaman dari wilayah selatan. Mereka menyusup lewat Viremont.” David menatap pria itu. Tak marah. Tak bertanya. Hanya satu kalimat: “Berapa orang yang kau biarkan hidup?” Agen itu menelan ludah. “T-tiga, Tuan. Tapi... kami…” “Buat jadi dua.” David berdiri. “Sisanya cukup untuk menyebar ketakutan.” Ia melangkah pergi. Tak menoleh. Dan pintu baja itu menutup seolah menelan semua udara. Di balik ruang itu, hanya ada satu gambar tergantung di tembok belakang ruang pribadinya. Foto Helena—masih remaja—tersenyum kecil, rambutnya ditiup angin, dan di dadanya samar terlihat bekas tinta… tanda Morgan, berdiri di taman belakang keluarga Morgan. Ia menatap foto itu lama. Lalu berbisik: “Kau... tetap menjadi satu-satunya alasan dunia ini belum aku kubur.” Wajah itu adalah satu-satunya alasan David belum membakar dunia. Di balik wajah tenangnya, David menyimpan ribuan rencana yang tak pernah diucapkan. Setiap detik ia diam, ada nyawa yang sedang diputuskan. Bagi dunia luar, ia seperti patung obsidian—tapi di dalam, bara dendamnya tak pernah padam. “Orang takut padaku,” pikirnya, “tapi kalau mereka tahu siapa yang benar-benar kulindungi... mereka akan ketakutan karena alasan lain.” Tapi kekuasaan bukan milik satu nama. Di sisi lain kota, di bawah cahaya yang lebih bengis dari lampu rapat bawah tanah— musuh lama David juga sedang menyusun dunia. Namanya Ronald Xavier. Tapi yang ia warisi bukan hanya tahta—melainkan dendam yang belum pernah tidur. Ronald Xavier berdiri di depan peta besar Velmora, menyulut cerutu sambil menandai satu titik dengan ujung pisau: Bellavene—baru saja jatuh. “Viremont selanjutnya,” gumamnya. Ia menyibak kerah jasnya. Di tengkuknya—di balik rambut yang dikuncir rapi—tertatto sebuah simbol: Perisai terbakar dengan panah mengarah ke bawah. Cap resmi keluarga Xavier. Tengkuk. Tempat paling rentan. Tapi juga tempat yang ia izinkan dunia lihat. “Kalau kau menyentuh tengkukku... berarti aku sudah di depanmu.” Ronald bukan hanya pemburu. Ia adalah simbol trauma Xavier yang dibangkitkan. Ia ingin lebih dari sekadar wilayah. “Aku akan menghapus nama Morgan dari sejarah.” Ia menatap peta itu seperti menatap nisan kosong yang menunggu ukiran nama musuh. Setiap garis merah adalah luka yang ingin ia balas. “Ayah... lihat aku sekarang. Aku bukan bayanganmu lagi,” bisiknya pelan. Api cerutu menyala di ujung jarinya—tapi di matanya, kebencian membakar lebih dari api mana pun. Ia berdiri di balkon, menatap peta besar Velmora yang digantung di ruang rapat. Lima titik merah ditandai dengan api. Empat di antaranya sudah ia rebut. “Aku akan menyalakan api di atas kuburan mereka,” katanya pelan. Di belakangnya, anak buah menyodorkan laporan intel. “Grup Drosnya dan Castrovigno sudah dikonsolidasi, Tuan. Sinyal dari Bellavene berhasil diputus, tapi ada penolakan dari… seseorang di barat.” Ronald menoleh. Matanya menyipit. “Seseorang?” “Bukan David. Tapi bukan manusia biasa juga.” Ronald tersenyum bengis. “Aku tau siapa dia.” . . . Tidak semua pria menyusun kekuasaan dengan peluru dan peta. Di sisi tergelap Velmora—di tempat kabut bisa menyimpan janji dan pengkhianatan— ada seseorang yang tak disebut… tapi selalu menghitung. Dendy Alexander tak memulai perang. Tapi ia akan mengakhirinya. Nama itu bukan sekadar bayangan. Ia nyata. Ia sedang menunggu. Blackstone, Ravenstale, Ravenshade, dan Greywick tunduk padanya bukan karena kekerasan, tapi karena keheningan yang lebih mengancam dari teriakan. Dendy Alexander. Legenda mafia. Dingin, kejam, dan nyaris tak terlihat. Ia punya sesuatu yang tak dimiliki Ronald maupun David: Kesabaran. Dan memori utuh tentang masa lalu. Di lengan kanannya, tersembunyi di balik lengan baju, ada cap warisan yang dibakar ke kulitnya: Sarung tangan logam mencengkeram jam pasir pecah. Simbol Alexander. Letaknya di kanan—tangan penentu. Tangan eksekusi. Jam pasir pecah itu warisan Benjamin. Artinya: “Aku tak pernah terlambat. Aku hanya menunggu saatnya membunuh.” Ia berdiri di depan meja. Peta tua Velmora terbentang. Di tengahnya… titik kecil yang ia lingkari hitam: Helena. “Semua orang mencari takhta,” gumamnya. “Tapi aku... hanya menjaga satu warisan yang masih hidup.” Ia menyentuh titik itu dengan ujung jari. Lalu menoleh ke arah gelap ruangan, tempat asistennya menunggu. “Berikan aku data terbaru tentang Helena.” Dendy tidak pernah berbicara banyak tentang masa lalu. Tapi setiap malam, ia mengulang satu nama sebelum tidur—tanpa suara, tanpa doa. Hanya ingatan. “Helena…” Ia bukan sekadar warisan. Ia adalah alasan kenapa Dendy belum mencabut akar dunia ini dari dasarnya. “Selama dia bernapas... masih ada hal yang pantas kulindungi.” “Aspek taktis, Tuan?” tanya si asisten. Dendy menatapnya. Tajam. “Semua aspek. Termasuk... mimpi buruknya.” Dunia tidak berubah karena perang. Dunia berubah karena satu jiwa yang diam-diam bertahan. Dan di tengah kekaisaran yang dibangun oleh pria-pria penuh luka, seorang wanita tumbuh… sebagai alasan, sebagai ancaman, dan mungkin—sebagai akhir dari segalanya.Ravencourt mungkin terlihat tenang dari kejauhan.Tapi di antara kabut dan reruntuhan kejayaan lama...ada mata yang mengintai Helena sejak sebelum ia tiba.Dan yang paling berbahaya…bukan selalu musuh di luar pagar—tapi darah sendiri yang bernanah dalam diam.Sunyi tidak selalu aman.Ravencourt menyimpan lebih dari sekadar pohon tua.Di tempat sehening itu, peluru bisa terdengar seperti bisikan...dan kematian bisa datang dari balik kabut.Pagi di Velmora masih berkabut saat iring-iringan mobil anti-peluru bergerak diam-diam meninggalkan gerbang kediaman Morgan.Empat mobil lapis baja melaju dalam formasi panah.Suara mesin nyaris tak terdengar, digantikan ketegangan sunyi yang menggantung di antara lapisan baja dan kaca gelap.Di dalam mobil utama, Helena bersandar di jendela.Matanya menatap hutan lebat yang bergulir cepat di luar.Embun tipis menyelimuti kaca, dan ujung jarinya menggambar garis tak beraturan yang segera menghilang.“Tempat ini... sunyi banget ya,” gumamnya pelan
Beberapa perjalanan dimulai dengan tiket... Tapi perjalanan ke Ravencourt dimulai dengan dusta. Dan malam itu, Helena menukar rasa penasaran... dengan langkah menuju jerat. Langit Velmora masih gelap saat mobilnya meluncur pelan ke pelataran mansion. Cahaya lampu halaman menyinari jas David yang masih berbau dingin gudang dan debu malam. Dan saat ia akhirnya tiba, bukan takdir yang menyambutnya— tapi langkah ringan dari seorang adik... yang terlalu keras kepala untuk diabaikan. Begitu pintu terbuka, langkah kaki kecil menyambut dari dalam. “Kak!” Helena berdiri di ambang pintu—masih mengenakan piyama satin, rambut digelung longgar, wajah setengah mengantuk… tapi tetap cantik dalam caranya yang tak dibuat-buat. “Baru pulang?” “Iya.” “Capek?” David belum sempat menjawab. Helena sudah menautkan lengannya dengan manja. Siasat klasik. Dan David tahu. Ia hapal pola itu. “Kamu mau apa?” gumamnya datar. “Hah? Apa sih?” Helena pura-pura polos. “Kamu gak pernah ngelendot gini..
Tak ada yang berubah malam itu. Tapi langit terasa lebih berat dari biasanya.David tahu… ketenangan seperti ini jarang datang tanpa harga.Dan Helena—seperti biasanya—adalah badai yang selalu tiba sebelum peluru pertama dilepaskan.Velmora Utara, Gudang Logistik Morgan.Lampu gantung hanya menyala sebagian. Suara kipas berdecit pelan, diselingi angin malam yang menyusup lewat celah dinding besi.David Morgan berdiri di depan meja logistik. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Sarung tangan tanpa jari masih ia kenakan.Di seberangnya, Dendy Alexander. Mantelnya basah hujan. Diam, seperti biasa.Mereka tidak saling sapa. Ketika dua pria ini bertemu, dunia tahu… ada keputusan yang tak bisa dibatalkan.“Ada informasi baru?” tanya Dendy, suaranya rendah dan netral.David menggeser map berisi foto hasil autopsi.“Tidak utuh.”Dendy melihat. Sekilas. Lalu diam.“Mereka ingin kita bereaksi,” ujar David.“Dan kita akan bereaksi,” balas Dendy. “Tapi bukan dengan marah. Marah itu... untuk manu
Di tengah dunia yang semakin gelap, Helena Morgan tumbuh menjadi wanita yang tak kalah keras dari dunia itu sendiri.Cerdas. Teguh. Keras kepala.Dan satu-satunya kelemahan yang diakui David Morgan.Pagi menjelang di mansion Morgan.Langit masih abu-abu. Awan menggantung rendah seolah enggan mengizinkan hari dimulai.Di lantai atas, aroma sup tulang dan roti panggang menguar dari dapur pribadi.Helena Morgan berdiri di ambang pintu ruang kerja David, masih mengenakan piyama satin dan rambut digelung setengah acak. Matanya mengintip tanpa izin, seperti biasa.“Kak,” sapanya ringan. “Aku masak sesuatu. Temenin aku makan, ya?”David menurunkan penanya dan mengangkat alis.“Kamu selalu tahu cara ngalahin fokus kakak, Lena.”Ia berdiri, merapikan jas tidurnya, dan berjalan menyusul adiknya ke ruang makan.Di meja makan pribadi lantai atas, hanya ada dua piring, dua gelas, dan dua jiwa yang saling menjaga—sejak kecil, sampai sekarang.Helena menyendok sup hangat dan mengunyah pelan, sambil
Ada dua jenis keheningan dalam dunia mafia:Yang satu mendamaikan.Yang lainnya... adalah peringatan sebelum darah tumpah.Dan malam ini, keheningan itu... menyimpan dua eksekusi dalam dua wilayah berbeda—Satu dari trauma, satu dari strategi.Tapi keduanya... lahir dari dendam yang tidak pernah tidur.— Velmora SelatanRuang bawah tanah itu berbau besi dan pembusukan.Dindingnya lembap, dilapisi jamur tua. Cat mengelupas di berbagai sisi. Hanya satu lampu gantung yang berayun pelan di tengah ruangan, menciptakan siluet samar dari tubuh yang nyaris tak berbentuk.Seorang pria tua terikat di kursi besi. Tubuhnya bersimbah luka. Nafasnya satu-satu. Beberapa giginya hilang. Bajunya robek. Matanya setengah tertutup oleh darah kering.Tubuh yang dulu tegap itu sekarang hanya sisa dari kebanggaan masa lalu.Langkah pelan terdengar mendekat.Sepatu kulit hitam yang terlalu rapi untuk tempat sebrutal ini. Suaranya menggema seolah membunuh harapan dari dinding ke dinding.Ronald Xavier.Setela
Beberapa dinasti tumbuh dari kemenangan. Tapi dinasti Morgan, Xavier, dan Alexander… tumbuh dari luka.Sepuluh tahun berlalu—dan darah mereka belum benar-benar kering.Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam dua raja tumbang di tengah reruntuhan. Tapi Velmora tak pernah jadi damai. Ia hanya berganti penjaga.Kini, David Morgan adalah namanya.Tak lagi hanya anak Charles. Ia adalah penguasa penuh Distrik Morgan—dingin, presisi, tak tersentuh.Setiap langkahnya menutup celah. Setiap keputusannya disambut ketakutan dan kekaguman. Tak ada ruang untuk tanya. Tak ada ruang untuk gagal.Di bawah kepemimpinannya, Distrik Morgan berkembang seperti arteri bawah tanah:Hotel mewah sebagai topeng. Pelabuhan gelap sebagai jalur. Klub malam elit sebagai markas komunikasi.Dresvane, Gravemount, Viremont, Bellavene, Kravenholm, hingga Velmora Utara—semua tunduk pada satu pria yang tak memberi ampun.Di ruang rapat bawah tanah yang tak punya jendela, David duduk di ujung meja panjang dari kayu obsidia