Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 5. DALAM LINDUNGAN BAYANGAN

Share

CHAPTER 5. DALAM LINDUNGAN BAYANGAN

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-06-14 08:47:06

Di tengah dunia yang semakin gelap, Helena Morgan tumbuh menjadi wanita yang tak kalah keras dari dunia itu sendiri.

Cerdas. Teguh. Keras kepala.

Dan satu-satunya kelemahan yang diakui David Morgan.

Pagi menjelang di mansion Morgan.

Langit masih abu-abu. Awan menggantung rendah seolah enggan mengizinkan hari dimulai.

Di lantai atas, aroma sup tulang dan roti panggang menguar dari dapur pribadi.

Helena Morgan berdiri di ambang pintu ruang kerja David, masih mengenakan piyama satin dan rambut digelung setengah acak. Matanya mengintip tanpa izin, seperti biasa.

“Kak,” sapanya ringan. “Aku masak sesuatu. Temenin aku makan, ya?”

David menurunkan penanya dan mengangkat alis.

“Kamu selalu tahu cara ngalahin fokus kakak, Lena.”

Ia berdiri, merapikan jas tidurnya, dan berjalan menyusul adiknya ke ruang makan.

Di meja makan pribadi lantai atas, hanya ada dua piring, dua gelas, dan dua jiwa yang saling menjaga—sejak kecil, sampai sekarang.

Helena menyendok sup hangat dan mengunyah pelan, sambil melirik kakaknya yang sibuk membaca laporan dengan satu tangan dan memotong daging dengan tangan lainnya.

“Aku penasaran,” gumamnya, “kenapa semua orang segan banget sama kakak? Bahkan yang lebih tua dari kakak sekalipun.”

David tetap fokus pada laporannya. Tak buru-buru menjawab.

Ia mengunyah pelan. Baru kemudian meletakkan garpu.

Gerakannya tenang—terlalu tenang.

Helena menatap wajah David lama-lama, mencoba menerka pikirannya. Tapi David Morgan selalu jadi buku tertutup—bahkan untuknya.

“Apa karena kakak pernah bunuh orang waktu umur belasan?” tambah Helena, senyum tipisnya usil. Tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu yang tulus.

David mengangkat pandangan.

Senyuman muncul di ujung bibirnya. Tapi matanya... tetap tajam.

“Bukan,” jawabnya. “Karena mereka tahu… aku tidak pernah mengancam. Aku hanya bertindak.”

Helena mengernyit.

“Maksudnya?”

David menyandarkan tubuh, punggungnya menempel kursi.

Cahaya lampu gantung menciptakan bayangan keras di rahangnya—membuatnya tampak lebih dingin dari biasanya.

“Mereka takut pada orang yang bisa marah. Tapi mereka tunduk pada orang yang tetap diam—bahkan saat membunuh.”

Helena menggigit rotinya. Tapi ada senyum kecil di ujung bibirnya.

Antara ngeri dan bangga.

“Kakak kayak legenda hidup, tahu gak sih?”

“Legendaris itu cuma mitos yang dibiarkan hidup,” balas David. “Aku masih ada di sini. Dan selama aku di sini, kamu gak boleh lengah.”

Helena mendongak. “Aku bukan anak kecil lagi.”

David tak menjawab. Ia hanya memotong daging lagi, tanpa nada, tapi penuh tekanan.

 “Dan kalau ada yang berani terlalu dekat dengan kamu...”

Ia menatap Helena, nada suaranya ringan, tapi jelas mematikan.

 “...aku akan pastikan mereka tidak bisa dekat dengan siapa pun lagi. Permanen.”

Helena nyaris tersedak.

“Kak!”

David pura-pura tidak dengar.

 “Hati-hati, Lena. Jangan sampai ada yang mati sia-sia hari ini.”

Helena menarik napas panjang. Ia tahu satu hal:

Jika kakaknya terus melindunginya seperti ini...

...cepat atau lambat, dia sendiri yang akan menantang batas itu.

Dunia bisa diam sejenak, tapi perang tetap berjalan.

Suara getaran pelan terdengar dari meja. Ponsel David menyala, satu notifikasi masuk dari encrypted line.

Ia melirik sebentar, lalu menggeser layar. Pesan terbuka. Singkat, padat, dan penuh makna.

“Target eliminated. Tanda dikirimkan. Loyalitas sudah ditegakkan.”

— Unit Bayangan: Castrovigno.

David tersenyum kecil. Tapi bukan senyum lega—lebih seperti senyum dingin yang hanya muncul saat darah lawan sudah tumpah.

Helena menatapnya curiga.

“Kak… siapa yang mati hari ini?”

David menoleh perlahan. Matanya masih membawa bayangan dari pesan barusan. Tapi suaranya tetap tenang.

 “Bukan siapa-siapa yang kamu kenal.”

 “Itu bukan jawaban,” balas Helena pelan.

David terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Ada orang yang mencoba menjual informasi kita ke selatan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas.”

“Kamu yang…?” Helena tak melanjutkan.

David menatap adiknya, lalu menggeleng. Tapi bukan untuk membantah. Hanya untuk menyuruhnya berhenti bertanya.

“Lena… kamu gak harus tahu semuanya.”

 “Tapi aku bagian dari ini semua, kan?” Helena menatapnya, lirih. “Aku juga pakai lambang Morgan ini…”

Tangan David refleks bergerak—menyentuh ujung kerah piyama Helena. Di sana, samar terlihat garis bekas tinta hitam—lambang Morgan di dada kirinya.

Simbol yang dulu dicap saat Helena belum bisa bicara. Saat tubuh mungilnya menjerit karena panasnya besi. Saat David sendiri memaksa diri untuk tidak menangis di pojok ruangan.

Kini, lambang itu tak lagi merah. Tapi luka itu belum pernah benar-benar sembuh.

David menarik tangannya. Diam. Sorot matanya berubah tajam—bukan pada Helena, tapi pada dirinya sendiri.

“Kak?” bisik Helena, khawatir.

David menunduk, menyembunyikan gejolak di balik wajah batu miliknya.

“Cap itu… terlalu berat. Kamu seharusnya tidak punya itu.”

“Tapi aku adikmu.”

“Justru karena kamu adikku…” David menatapnya lekat, suara parau. “Harusnya dunia ini gak pernah menyentuh kamu.”

Helena menggenggam cangkirnya. Tapi hatinya jauh lebih dingin dari suhu ruang.

 “Sayangnya, Kak, dunia gak pernah minta izin.”

David terdiam.

Sesaat, ruang makan itu seakan membeku. Hanya terdengar detik jam gantung dan gesekan samar sendok ke piring.

Lalu ia bicara, pelan… nyaris seperti gumaman kepada dirinya sendiri.

“Kalau dunia ini terus minta nyawa demi jaga kamu tetap hidup… aku akan serahkan semuanya. Termasuk nyawaku.”

Helena menunduk. Ia tahu, kata-kata itu bukan janji kosong.

Tapi ia juga tahu... jika David terus memikul semua luka sendirian, cepat atau lambat, dunia akan kehabisan tempat untuk menyimpan dendamnya.

Helena ingin membalas dengan ucapan hangat, tapi yang keluar dari bibirnya justru sesuatu yang lain.

“Kamu nggak bisa selamanya nyembunyiin aku dari perang, Kak…”

David menoleh, tatapannya tajam. Tapi bukan marah—itu ketakutan yang dibungkus logika.

“Aku nggak sembunyiin kamu dari perang, Lena. Aku cuma pengen kamu hidup cukup lama… untuk gak jadi bagian dari itu.”

Mereka saling menatap beberapa detik.

Dan di antara piring kosong dan sisa sarapan yang mulai dingin, ada dua hati yang sama-sama tahu:

Perlindungan tidak pernah tanpa harga. Dan cinta kadang hanya bentuk lain dari penjagaan yang terlalu dalam untuk dihindari.

Piring-piring kosong. Meja rapi. Tapi ruang antara mereka penuh tekanan tak terlihat.

Bukan karena tidak cinta. Tapi karena cinta terlalu dalam hingga jadi pengikat.

Dan pengikat terlalu lama... akan melukai.

Kadang, perlindungan terlalu erat justru membentuk keberanian yang paling berbahaya—

bukan untuk melawan musuh…

tapi untuk melawan takdir yang dibentuk oleh cinta.

Dan saat itu tiba, darah yang tumpah…

mungkin bukan dari tangan lawan.

Tapi dari hati yang paling ingin menjaga.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 144. DARAH YANG MENUNGGU

    Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 143. BAYANGAN YANG KEMBALI

    Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 142. PELURU YANG MENGINGATKAN

    Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 141. BAYANGAN YANG MENYUSUP

    Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 140. DARAH DI ATAS MEJA

    Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 139 . API YANG TAK PERNAH PADAM

    Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status