Di tengah dunia yang semakin gelap, Helena Morgan tumbuh menjadi wanita yang tak kalah keras dari dunia itu sendiri.
Cerdas. Teguh. Keras kepala. Dan satu-satunya kelemahan yang diakui David Morgan. Pagi menjelang di mansion Morgan. Langit masih abu-abu. Awan menggantung rendah seolah enggan mengizinkan hari dimulai. Di lantai atas, aroma sup tulang dan roti panggang menguar dari dapur pribadi. Helena Morgan berdiri di ambang pintu ruang kerja David, masih mengenakan piyama satin dan rambut digelung setengah acak. Matanya mengintip tanpa izin, seperti biasa. “Kak,” sapanya ringan. “Aku masak sesuatu. Temenin aku makan, ya?” David menurunkan penanya dan mengangkat alis. “Kamu selalu tahu cara ngalahin fokus kakak, Lena.” Ia berdiri, merapikan jas tidurnya, dan berjalan menyusul adiknya ke ruang makan. Di meja makan pribadi lantai atas, hanya ada dua piring, dua gelas, dan dua jiwa yang saling menjaga—sejak kecil, sampai sekarang. Helena menyendok sup hangat dan mengunyah pelan, sambil melirik kakaknya yang sibuk membaca laporan dengan satu tangan dan memotong daging dengan tangan lainnya. “Aku penasaran,” gumamnya, “kenapa semua orang segan banget sama kakak? Bahkan yang lebih tua dari kakak sekalipun.” David tetap fokus pada laporannya. Tak buru-buru menjawab. Ia mengunyah pelan. Baru kemudian meletakkan garpu. Gerakannya tenang—terlalu tenang. Helena menatap wajah David lama-lama, mencoba menerka pikirannya. Tapi David Morgan selalu jadi buku tertutup—bahkan untuknya. “Apa karena kakak pernah bunuh orang waktu umur belasan?” tambah Helena, senyum tipisnya usil. Tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu yang tulus. David mengangkat pandangan. Senyuman muncul di ujung bibirnya. Tapi matanya... tetap tajam. “Bukan,” jawabnya. “Karena mereka tahu… aku tidak pernah mengancam. Aku hanya bertindak.” Helena mengernyit. “Maksudnya?” David menyandarkan tubuh, punggungnya menempel kursi. Cahaya lampu gantung menciptakan bayangan keras di rahangnya—membuatnya tampak lebih dingin dari biasanya. “Mereka takut pada orang yang bisa marah. Tapi mereka tunduk pada orang yang tetap diam—bahkan saat membunuh.” Helena menggigit rotinya. Tapi ada senyum kecil di ujung bibirnya. Antara ngeri dan bangga. “Kakak kayak legenda hidup, tahu gak sih?” “Legendaris itu cuma mitos yang dibiarkan hidup,” balas David. “Aku masih ada di sini. Dan selama aku di sini, kamu gak boleh lengah.” Helena mendongak. “Aku bukan anak kecil lagi.” David tak menjawab. Ia hanya memotong daging lagi, tanpa nada, tapi penuh tekanan. “Dan kalau ada yang berani terlalu dekat dengan kamu...” Ia menatap Helena, nada suaranya ringan, tapi jelas mematikan. “...aku akan pastikan mereka tidak bisa dekat dengan siapa pun lagi. Permanen.” Helena nyaris tersedak. “Kak!” David pura-pura tidak dengar. “Hati-hati, Lena. Jangan sampai ada yang mati sia-sia hari ini.” Helena menarik napas panjang. Ia tahu satu hal: Jika kakaknya terus melindunginya seperti ini... ...cepat atau lambat, dia sendiri yang akan menantang batas itu. Dunia bisa diam sejenak, tapi perang tetap berjalan. Suara getaran pelan terdengar dari meja. Ponsel David menyala, satu notifikasi masuk dari encrypted line. Ia melirik sebentar, lalu menggeser layar. Pesan terbuka. Singkat, padat, dan penuh makna. “Target eliminated. Tanda dikirimkan. Loyalitas sudah ditegakkan.” — Unit Bayangan: Castrovigno. David tersenyum kecil. Tapi bukan senyum lega—lebih seperti senyum dingin yang hanya muncul saat darah lawan sudah tumpah. Helena menatapnya curiga. “Kak… siapa yang mati hari ini?” David menoleh perlahan. Matanya masih membawa bayangan dari pesan barusan. Tapi suaranya tetap tenang. “Bukan siapa-siapa yang kamu kenal.” “Itu bukan jawaban,” balas Helena pelan. David terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Ada orang yang mencoba menjual informasi kita ke selatan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas.” “Kamu yang…?” Helena tak melanjutkan. David menatap adiknya, lalu menggeleng. Tapi bukan untuk membantah. Hanya untuk menyuruhnya berhenti bertanya. “Lena… kamu gak harus tahu semuanya.” “Tapi aku bagian dari ini semua, kan?” Helena menatapnya, lirih. “Aku juga pakai lambang Morgan ini…” Tangan David refleks bergerak—menyentuh ujung kerah piyama Helena. Di sana, samar terlihat garis bekas tinta hitam—lambang Morgan di dada kirinya. Simbol yang dulu dicap saat Helena belum bisa bicara. Saat tubuh mungilnya menjerit karena panasnya besi. Saat David sendiri memaksa diri untuk tidak menangis di pojok ruangan. Kini, lambang itu tak lagi merah. Tapi luka itu belum pernah benar-benar sembuh. David menarik tangannya. Diam. Sorot matanya berubah tajam—bukan pada Helena, tapi pada dirinya sendiri. “Kak?” bisik Helena, khawatir. David menunduk, menyembunyikan gejolak di balik wajah batu miliknya. “Cap itu… terlalu berat. Kamu seharusnya tidak punya itu.” “Tapi aku adikmu.” “Justru karena kamu adikku…” David menatapnya lekat, suara parau. “Harusnya dunia ini gak pernah menyentuh kamu.” Helena menggenggam cangkirnya. Tapi hatinya jauh lebih dingin dari suhu ruang. “Sayangnya, Kak, dunia gak pernah minta izin.” David terdiam. Sesaat, ruang makan itu seakan membeku. Hanya terdengar detik jam gantung dan gesekan samar sendok ke piring. Lalu ia bicara, pelan… nyaris seperti gumaman kepada dirinya sendiri. “Kalau dunia ini terus minta nyawa demi jaga kamu tetap hidup… aku akan serahkan semuanya. Termasuk nyawaku.” Helena menunduk. Ia tahu, kata-kata itu bukan janji kosong. Tapi ia juga tahu... jika David terus memikul semua luka sendirian, cepat atau lambat, dunia akan kehabisan tempat untuk menyimpan dendamnya. Helena ingin membalas dengan ucapan hangat, tapi yang keluar dari bibirnya justru sesuatu yang lain. “Kamu nggak bisa selamanya nyembunyiin aku dari perang, Kak…” David menoleh, tatapannya tajam. Tapi bukan marah—itu ketakutan yang dibungkus logika. “Aku nggak sembunyiin kamu dari perang, Lena. Aku cuma pengen kamu hidup cukup lama… untuk gak jadi bagian dari itu.” Mereka saling menatap beberapa detik. Dan di antara piring kosong dan sisa sarapan yang mulai dingin, ada dua hati yang sama-sama tahu: Perlindungan tidak pernah tanpa harga. Dan cinta kadang hanya bentuk lain dari penjagaan yang terlalu dalam untuk dihindari. Piring-piring kosong. Meja rapi. Tapi ruang antara mereka penuh tekanan tak terlihat. Bukan karena tidak cinta. Tapi karena cinta terlalu dalam hingga jadi pengikat. Dan pengikat terlalu lama... akan melukai. Kadang, perlindungan terlalu erat justru membentuk keberanian yang paling berbahaya— bukan untuk melawan musuh… tapi untuk melawan takdir yang dibentuk oleh cinta. Dan saat itu tiba, darah yang tumpah… mungkin bukan dari tangan lawan. Tapi dari hati yang paling ingin menjaga.Ravencourt mungkin terlihat tenang dari kejauhan.Tapi di antara kabut dan reruntuhan kejayaan lama...ada mata yang mengintai Helena sejak sebelum ia tiba.Dan yang paling berbahaya…bukan selalu musuh di luar pagar—tapi darah sendiri yang bernanah dalam diam.Sunyi tidak selalu aman.Ravencourt menyimpan lebih dari sekadar pohon tua.Di tempat sehening itu, peluru bisa terdengar seperti bisikan...dan kematian bisa datang dari balik kabut.Pagi di Velmora masih berkabut saat iring-iringan mobil anti-peluru bergerak diam-diam meninggalkan gerbang kediaman Morgan.Empat mobil lapis baja melaju dalam formasi panah.Suara mesin nyaris tak terdengar, digantikan ketegangan sunyi yang menggantung di antara lapisan baja dan kaca gelap.Di dalam mobil utama, Helena bersandar di jendela.Matanya menatap hutan lebat yang bergulir cepat di luar.Embun tipis menyelimuti kaca, dan ujung jarinya menggambar garis tak beraturan yang segera menghilang.“Tempat ini... sunyi banget ya,” gumamnya pelan
Beberapa perjalanan dimulai dengan tiket... Tapi perjalanan ke Ravencourt dimulai dengan dusta. Dan malam itu, Helena menukar rasa penasaran... dengan langkah menuju jerat. Langit Velmora masih gelap saat mobilnya meluncur pelan ke pelataran mansion. Cahaya lampu halaman menyinari jas David yang masih berbau dingin gudang dan debu malam. Dan saat ia akhirnya tiba, bukan takdir yang menyambutnya— tapi langkah ringan dari seorang adik... yang terlalu keras kepala untuk diabaikan. Begitu pintu terbuka, langkah kaki kecil menyambut dari dalam. “Kak!” Helena berdiri di ambang pintu—masih mengenakan piyama satin, rambut digelung longgar, wajah setengah mengantuk… tapi tetap cantik dalam caranya yang tak dibuat-buat. “Baru pulang?” “Iya.” “Capek?” David belum sempat menjawab. Helena sudah menautkan lengannya dengan manja. Siasat klasik. Dan David tahu. Ia hapal pola itu. “Kamu mau apa?” gumamnya datar. “Hah? Apa sih?” Helena pura-pura polos. “Kamu gak pernah ngelendot gini..
Tak ada yang berubah malam itu. Tapi langit terasa lebih berat dari biasanya.David tahu… ketenangan seperti ini jarang datang tanpa harga.Dan Helena—seperti biasanya—adalah badai yang selalu tiba sebelum peluru pertama dilepaskan.Velmora Utara, Gudang Logistik Morgan.Lampu gantung hanya menyala sebagian. Suara kipas berdecit pelan, diselingi angin malam yang menyusup lewat celah dinding besi.David Morgan berdiri di depan meja logistik. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Sarung tangan tanpa jari masih ia kenakan.Di seberangnya, Dendy Alexander. Mantelnya basah hujan. Diam, seperti biasa.Mereka tidak saling sapa. Ketika dua pria ini bertemu, dunia tahu… ada keputusan yang tak bisa dibatalkan.“Ada informasi baru?” tanya Dendy, suaranya rendah dan netral.David menggeser map berisi foto hasil autopsi.“Tidak utuh.”Dendy melihat. Sekilas. Lalu diam.“Mereka ingin kita bereaksi,” ujar David.“Dan kita akan bereaksi,” balas Dendy. “Tapi bukan dengan marah. Marah itu... untuk manu
Di tengah dunia yang semakin gelap, Helena Morgan tumbuh menjadi wanita yang tak kalah keras dari dunia itu sendiri.Cerdas. Teguh. Keras kepala.Dan satu-satunya kelemahan yang diakui David Morgan.Pagi menjelang di mansion Morgan.Langit masih abu-abu. Awan menggantung rendah seolah enggan mengizinkan hari dimulai.Di lantai atas, aroma sup tulang dan roti panggang menguar dari dapur pribadi.Helena Morgan berdiri di ambang pintu ruang kerja David, masih mengenakan piyama satin dan rambut digelung setengah acak. Matanya mengintip tanpa izin, seperti biasa.“Kak,” sapanya ringan. “Aku masak sesuatu. Temenin aku makan, ya?”David menurunkan penanya dan mengangkat alis.“Kamu selalu tahu cara ngalahin fokus kakak, Lena.”Ia berdiri, merapikan jas tidurnya, dan berjalan menyusul adiknya ke ruang makan.Di meja makan pribadi lantai atas, hanya ada dua piring, dua gelas, dan dua jiwa yang saling menjaga—sejak kecil, sampai sekarang.Helena menyendok sup hangat dan mengunyah pelan, sambil
Ada dua jenis keheningan dalam dunia mafia:Yang satu mendamaikan.Yang lainnya... adalah peringatan sebelum darah tumpah.Dan malam ini, keheningan itu... menyimpan dua eksekusi dalam dua wilayah berbeda—Satu dari trauma, satu dari strategi.Tapi keduanya... lahir dari dendam yang tidak pernah tidur.— Velmora SelatanRuang bawah tanah itu berbau besi dan pembusukan.Dindingnya lembap, dilapisi jamur tua. Cat mengelupas di berbagai sisi. Hanya satu lampu gantung yang berayun pelan di tengah ruangan, menciptakan siluet samar dari tubuh yang nyaris tak berbentuk.Seorang pria tua terikat di kursi besi. Tubuhnya bersimbah luka. Nafasnya satu-satu. Beberapa giginya hilang. Bajunya robek. Matanya setengah tertutup oleh darah kering.Tubuh yang dulu tegap itu sekarang hanya sisa dari kebanggaan masa lalu.Langkah pelan terdengar mendekat.Sepatu kulit hitam yang terlalu rapi untuk tempat sebrutal ini. Suaranya menggema seolah membunuh harapan dari dinding ke dinding.Ronald Xavier.Setela
Beberapa dinasti tumbuh dari kemenangan. Tapi dinasti Morgan, Xavier, dan Alexander… tumbuh dari luka.Sepuluh tahun berlalu—dan darah mereka belum benar-benar kering.Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam dua raja tumbang di tengah reruntuhan. Tapi Velmora tak pernah jadi damai. Ia hanya berganti penjaga.Kini, David Morgan adalah namanya.Tak lagi hanya anak Charles. Ia adalah penguasa penuh Distrik Morgan—dingin, presisi, tak tersentuh.Setiap langkahnya menutup celah. Setiap keputusannya disambut ketakutan dan kekaguman. Tak ada ruang untuk tanya. Tak ada ruang untuk gagal.Di bawah kepemimpinannya, Distrik Morgan berkembang seperti arteri bawah tanah:Hotel mewah sebagai topeng. Pelabuhan gelap sebagai jalur. Klub malam elit sebagai markas komunikasi.Dresvane, Gravemount, Viremont, Bellavene, Kravenholm, hingga Velmora Utara—semua tunduk pada satu pria yang tak memberi ampun.Di ruang rapat bawah tanah yang tak punya jendela, David duduk di ujung meja panjang dari kayu obsidia