MasukSeumpama air hujan yang terbendung, kemudian mendapatkan jalan mengalir, membasahi pepohonan yang kering. Begitulah apa yang dirasakan Anaya. Rindu yang selama ini menggumpal di hatinya, telah pecah dan tertabur. Pertemuan kembali dengan lelaki yang dicintainya mengguncang jiwa. Membingungkan, tetapi terasa benar dan wajar
“Ini beneran Kak Damar?” Suara Anaya bergetar.
Abizar mengangguk. “Ini aku. Tampangku memang beda, tapi … ini aku beneran. Aku Damar Abimana, suamimu.”
Air mata Anaya mengalir. Ia percaya. Sorot mata yang menatapnya teduh tersebut, sangat ia kenal. Mata itulah yang dulu membuatnya takluk dan menerima cinta Damar. Tangannya terulur meraba pipi Abizar. Pantas saja ia merasa tak asing biarpun fisiknya
“Tapi … kenapa ….” Anaya tidak dapat meneruskan kalimatnya. Terlalu banyak pertanyaan di benaknya.
Lelaki itu memejamkan mata. Segenap pori-pori tubuhnya mengembang. Jantungnya berdesir menghangatkan semua nadinya. Ingin ia menarik tangan halus itu dan menciuminya. Namun, sebuah kesadaran, mendorong dirinya segera kembali fokus. Ia menengok ke arah kedai. Semua yang di dalam, sepertinya tidak memperhatikan. Namun, meskipun kaca mobil gelap dan ia yakin tak ada yang melihat apa yang baru saja dilakukan Anaya, teap saja ia merasa tak aman.
“Aku bilang ke mereka, kalau aku mau pergi ke bank.” Anaya seperti menjawab kegelisahannya.
Abizar langsung menginjak gas dan melajukan mobil meninggalkan kedai.
“Kita mau kemana? Aku sebenarnya nggak ada urusan ke bank.” Anaya cemas dengan ketergesaannya.
“Kita cari tempat yang aman untuk bicara,” jawab Abizar. “Nggak boleh ada yang tahu kalau aku belum mati.”
Anaya terkejut. Apa maksudnya? Walau ia sepenuhnya yakin Abizar adalah Damar, ada sesuatu di sikap pengemudi itu yang membuatnya khawatir. Sikap tegang dan waspada yang ditampilkan menular ke dirinya.
“Kenapa?” Anaya ikut berhati-hati. Menoleh ke samping dan ke belakang.
Abizar tidak menjawab. Ia mengenakan kaca matanya lagi, dan berkonsentrasi ke jalanan. Sepuluh menit kemudian, ia berhenti di parkiran basement bank. Setelah membuka sedikit jendela dan melepaskan sabuk pengaman, ia menoleh pada Anaya yang setengah ketakutan dengan tingkahnya.
“Maaf sudah membuatmu takut.” Jari Abizar ganti membelai pipi Anaya yang langsung basah oleh air mata. Hai … apa kabar Sayang?”
Tangis Anaya pecah berderai. Keduanya berpelukan erat. Saling terisak, tersenyum dan tertawa.
“Dari dulu aku yakin, Kakak masih hidup.” Anaya membelai rambut abu-abu itu. “Bagaimana ceritanya? Kenapa nggak pulang? Kenapa muka Kakak diganti begini? Kenapa pura-pura jadi orang lain? … kenapa?”
Abizar alias Damar tersenyum. Hatinya pedih dengan kebingungan Anaya.
“Ya, aku selamat dari kecelakaan itu. Entah bagaimana, aku terlempar keluar dari helikopter itu, dan hanyut. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat aku sadar, aku sudah sebulan dirawat di sebuah pulau pribadi. Aku menderita banyak luka dan tulang yang patah. Di sini … di sini.” Damar menunjuk tangan, kaki dan mukanya.
“Siapa yang merawat?” tanya Anaya.
“Seorang wanita kaya. Dia kemudian membawa aku ke rumah sakit di Thailand. Aku berkali-kali dioperasi. Termasuk muka ini.”
“Tapi, kenapa dibikin jadi berubah? Kulit Kakak juga jadi lebih puih. Siapa sih wanita itu?” Anaya merengut. Kesal sekaligus cemburu.
“Dia sudah tua.” Damar tertawa. Ia paham perasaan Anaya dari ekspresi wajahnya.
“Kenapa dia nggak melaporkan Kakak? Padahal tim SAR mencari dan kecelakaan itu ada di berita?” Anaya heran. “Kenapa Kakak nggak nggak ngasih aku kabar? Padahal aku nungguin?”
“Maaf.” Damar menatap Anaya penuh sesal. “Ada alasan yang nggak bisa aku ceritakan sekarang. Tapi, percayalah … setiap saat aku selalu ingat kau. Tiap malam aku berdoa supaya bisa bertemu lagi, dan kamu tetap akan mengenaliku. Hari ini, doa aku dikabulkan.”
Anaya menggelengkan kepala. Ia masih belum puas karena belum mendapatkan alasan.
“Kenapa tega begitu, sih? Nggak tahu apa aku tersiksa menunggu kabar? Dipaksa menerima kenyataan kalau kamu sudah mati. Apalagi terus aku hamil ….” Air mata Anaya kembali mengalir. Ia menundukkan kepala. Matanya tertuju pada cincin di jari manisnya. Mendadak ia teringat pada Arlo.
Anaya menggenggam tangan Arlo. Ia berusaha menenangkan lelaki di sampingnya walaupun ia sendiri gemetar.“Sabar … lampu merahnya memang terlalu cepat. Masih untung dia bisa cepat ngerem.” Anaya memberikan pendapat tentang apa yang terjadi.“Semestinya dia sudah pelan saat lampu masih kuning!” Emosi Arlo masih membara. “Apa dia seceroboh ini selama jadi sopir kamu dan Sasha?”“Nggak … dia selalu hati-hati, kok. Kalau memang ceroboh, aku pasti lapor ke Bapak.” Anaya menyandarkan kepalanya di bahu Arlo, dan membelai lututnya. Kemarahan Arlo pun mereda. Dengan lembut, lelaki itu mencium rambut istrinya. Anaya memandang ke depan. Hatinya berkecamuk resah memperhatikan Abizar dari belakang. Ia bisa merasakan ketegangan di tangannya yang memegang kemudi.Acara yang dihadiri Anaya adalah resepsi pernikahan rekan bisnis Arlo. Mewahnya dekorasi dan makanan lezat yang berlimpah sama sekali tidak menarik minatnya. Benaknya dipenuhi tentang Abizar. Ia sangat ingin berbicara lagi dengan sopirnya i
Pengakuan Abizar seperti angin kencang yang memporakporandakan jiwa Anaya. Meski ia sudah berusaha bersikap biasa seolah tak terjadi suatu apa pun, tetap saja gelisah terpancar dari gerak-geriknya. Ia bahkan hampir saja menabrak Lani yang tengah membawa hidangan.Arlo memanggil, dan meminta dirinya duduk di sebelahnya. Anaya menahan rasa risih yang tidak bisa dicegahnya.“Kamu kenapa?” Arlo berbisik di telinga Anaya.“Aku kenapa?” Ia malah balik bertanya. “Kamu kayak orang bingung. Ada masalah?” Lembut, jemari Arlo menyibak rambut yang menutupi kening Anaya.“Nggak ada. Mungkin, karena capek aja.” Anaya tersenyum, dan mencoba fokus pada perhatian suaminya.“Tahan sebentar. Setelah tamuku selesai makan, kita pulang. Kamu harus istirahat.” Arlo menggenggam tangan Anaya. “Aku pulang sendiri aja … maksudnya sama Sasha.” Anaya mencoba mengelak dari rencana suaminya. “Aku juga mau pulang. Nanti malam ada undangan resepsi pernikahan kawanku. Kamu harus nemanin aku,” ujar Arlo. Pelan tapi
Ingatan terhadap suaminya membuat Anaya panik. Ia mengangkat wajahnya, menatap lelaki di hadapannya. Suami pertamanya ternyata belum mati, tetapi dia sudah menikah lagi. Dunia mengakui dia adalah istri Arlo. Namun, dengan kemunculan Damar dalam versi lain ini, bagaimana kini statusnya? Rasa takut melandanya. Ia merasa sudah berkhianat. Akan tetapi, berkhianat pada siapa? Damar atau Arlo?“Kenapa?” tanya Abizar khawatir.“Aku sudah menikah dengan lelaki lain.” Anaya menunjukkan cincinnya.Abizar yang sudah tahu itu sejak awal, mengatupkan bibirnya. Hanya dirinya yang tahu bagaimana remuk hatinya.“Maaf … aku seharusnya nggak menikah lagi dan tetap menunggu Kakak. Harusnya aku … ini semua salahku.” Anaya menarik napas panjang.“Bukan! Ini bukan salahmu.” Abizar menenangkannya.“Iya, ini memang bukan salah aku. Tapi, salah Kakak!” sentak Anaya. Abizar kaget. Namun, kemudian ia paham. Pastilah emosi Anaya jadi labil menghadapi pengakuan yang tiba-tiba.“Kalau Kakak langsung ngabarin aku
Seumpama air hujan yang terbendung, kemudian mendapatkan jalan mengalir, membasahi pepohonan yang kering. Begitulah apa yang dirasakan Anaya. Rindu yang selama ini menggumpal di hatinya, telah pecah dan tertabur. Pertemuan kembali dengan lelaki yang dicintainya mengguncang jiwa. Membingungkan, tetapi terasa benar dan wajar“Ini beneran Kak Damar?” Suara Anaya bergetar.Abizar mengangguk. “Ini aku. Tampangku memang beda, tapi … ini aku beneran. Aku Damar Abimana, suamimu.”Air mata Anaya mengalir. Ia percaya. Sorot mata yang menatapnya teduh tersebut, sangat ia kenal. Mata itulah yang dulu membuatnya takluk dan menerima cinta Damar. Tangannya terulur meraba pipi Abizar. Pantas saja ia merasa tak asing biarpun fisiknya “Tapi … kenapa ….” Anaya tidak dapat meneruskan kalimatnya. Terlalu banyak pertanyaan di benaknya. Lelaki itu memejamkan mata. Segenap pori-pori tubuhnya mengembang. Jantungnya berdesir menghangatkan semua nadinya. Ingin ia menarik tangan halus itu dan menciuminya. Namu
Abizar menoleh kaget. Namun tidak langsung menjawab. Lampu lalu lintas telah berganti ke warna hijau. Ia kembali berkonsentrasi mengemudi. Dengan gerakan halus, ia menurunkan ujung tangan bajunya.“Jangan ditutupin!” larang Anaya.“Maaf … tangan saya dingin kena AC. Kalau soal tato ini, siapapun bisa punya yang sama. Bentuk hurufnya memang umum ada di katalog tukang tato ‘kan?” Abizar berkata. Sangat panjang dibanding biasanya.“Tapi kok bisa huruf A juga, dan di tempat yang sama dengan almarhum suami aku?” Anaya heran.“Saya pilih huruf A sesuai inisial nama saya. Kalau tempat, mungkin hanya kebetulan saja.” Abizar menjawab dengan pandangan yang tetap jeli pada jalanan di depannya.“Mama ….” Sasha memanggilnya meminta perhatian“Ya?” Anaya mengalihkan pandangan pada anaknya.“Aku mau tanya. Siapa itu almarhum suami?” tanya Sasha dengan intonasi menginterogasi. “Suami mama ‘kan papa. Bukannya almarhum itu panggilan buat orang yang sudah meninggal? Tapi, papa ‘kan masih hidup!”Pertany
Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi, Bapak … kapan datang?” tanya Anaya. Sejak pertama, ia selalu memanggil Arlo dengan sebutan itu. Demikian juga dengan Sasha. Arlo jadi menyukainya setelah Anaya beralasan bahwa panggilan itu memberikan kesan dirinya adalah lelaki yang bijaksana.“Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo mem







