Home / Romansa / DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER / Bab 1: Aroma Kopi Pahit dan Ancaman Terakhir

Share

DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER
DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER
Author: Ginazara

Bab 1: Aroma Kopi Pahit dan Ancaman Terakhir

Author: Ginazara
last update Last Updated: 2025-12-08 18:06:16

Anya sudah tahu bahwa hari pertamanya di Artha Yudhistira Group perusahaan real estat terbesar di Asia Tenggara tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka hari itu akan terasa seperti skenario terburuk dari mimpi demam yang ia alami setelah begadang semalaman.

Semua salah taksi online yang tiba-tiba mogok di tengah Jalan Sudirman, salah heels diskonnya yang haknya copot, dan salah dirinya sendiri yang bodohnya lupa mengecek isi tas pagi itu.

Ia tiba di lantai 32 tepat pukul 08:05, lima menit terlambat.

"Lima menit, Nona," suara bernada es yang menusuk itu datang dari belakangnya, tepat saat Anya baru saja mengatur napas di depan pintu masuk departement SDM.

Anya berbalik, jantungnya langsung mencelos ke perut. Di sana, berdiri tegak lurus seperti patung marmer mahal yang baru dipoles, adalah Rio Dirgantara. Rio, Asisten Manajer yang fotonya kemarin ia lihat di intranet, yang terlihat terlalu sempurna untuk menjadi manusia kini jauh lebih mengintimidasi dalam wujud aslinya. Setelan abu-abu gelapnya seperti dibuat oleh penjahit dewa, rambutnya tersisir rapi, dan kacamata berbingkai tipis bertengger sempurna di hidungnya yang mancung.

"Ma..maaf, Pak Rio. Ada masalah di jalan. Saya..."

"Masalah jalan adalah urusan Anda, bukan urusan perusahaan," potongnya dingin, tanpa jeda, tanpa emosi. "Di kantor ini, ketepatan waktu bukan pilihan, itu kewajiban. Anda di sini bukan untuk magang mencari pengalaman, Anda di sini untuk bekerja. Jika Anda tidak bisa mematuhi aturan sekecil ini, sebaiknya Anda putar balik, sekarang juga."

Wajah Anya memanas. Ia tidak suka diremehkan, apalagi setelah ia menghabiskan dua bulan terakhir berjuang mendapatkan posisi magang ini. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk membayar biaya kuliah semester depan.

"Saya mengerti, Pak. Saya janji ini tidak akan terulang lagi," ujar Anya, mencoba mempertahankan nada profesional, meskipun nadanya bergetar.

Rio hanya mendengus, seperti ia baru saja mendengar lelucon usang. Ia memberikan tas kerja Anya. "Ruangan Anda ada di deretan sana, di sebelah pantry. Tugas Anda hari ini: merapikan semua berkas klien dari tahun 2018 hingga sekarang, dan menyusunnya berdasarkan abjad dan tanggal akuisisi. Anda punya waktu sampai jam lima sore. Jika ada satu kertas yang hilang, Anda akan langsung saya panggil ke ruangan saya."

Mendengar jumlah berkas yang disebutkan Rio, mata Anya membelalak. Ia yakin itu adalah tumpukan kertas yang tingginya mencapai langit-langit. "Tapi, Pak, apakah itu tidak terlalu banyak untuk satu hari?"

"Itu adalah tugas yang saya berikan. Jika Anda tidak sanggup, sekali lagi, pintu keluar ada di belakang Anda." Rio tidak menunggu jawaban. Ia membalikkan badan dan melangkah pergi, aura dinginnya meninggalkan jejak yang membuat bulu kuduk Anya merinding.

Anya menghabiskan sisa pagi itu terbenam di antara tumpukan kertas berwarna krem yang sudah menguning. Bau debu dan kertas lama menyesakkan paru-parunya. Area kerjanya sekarang terletak di pojok yang dingin, hampir seperti kubikel penyiksaan. Rekan-rekan kerja lain sesekali meliriknya dengan tatapan kasihan.

"Hei," sapa seorang wanita muda dengan name tag Dina. Dina adalah staf administrasi senior yang tampak ramah. "Jangan terlalu dipikirkan kata-kata Pak Rio. Dia memang seperti itu. Dingin, tapi sangat efisien. Dia hanya menguji Anda."

"Menguji atau menyuruh saya bunuh diri pelan-pelan?" gumam Anya sambil mengelap keringat di dahinya. "Ini berkas empat tahun, Dina. Dia jelas tidak suka saya."

Dina terkekeh pelan. "Dia tidak suka semua orang, Anya. Kecuali mungkin dirinya sendiri. Tapi dengarkan saya, jika Anda bisa bertahan di bawah Pak Rio selama tiga bulan magang ini, Anda bisa bekerja di mana saja di dunia."

Nasihat itu sedikit melegakan, tapi tidak banyak membantu tumpukan berkas yang menjulang.

Saat jam makan siang tiba, perut Anya berteriak protes. Ia memutuskan untuk mengambil kopi terkuat yang tersedia di pantry untuk mengusir rasa kantuk dan lapar.

Ia kembali ke mejanya, membawa mug besar berisi kopi hitam pekat. Tepat saat ia ingin duduk, ia melihat Rio berdiri di mejanya. Rio sedang memegang berkas di tangannya—berkas yang ia yakini adalah resume magangnya.

"Anya, saya ingin melihat laporan kemajuan berkas..." Rio memulai, suaranya kembali datar dan menuntut.

Anya yang terkejut, mencoba meletakkan kopi di meja, tapi sikunya tak sengaja menyenggol tepi mug.

BYUURR!

Kopi hitam panas itu tumpah. Bukan ke lantai. Melainkan tepat di kemeja putih mahal yang dikenakan Rio Dirgantara. Cairan cokelat pekat itu langsung menyebar di area dada kanannya.

Keheningan melanda area kerja. Bahkan keyboard di kubikel sebelah mendadak berhenti berbunyi. Semua mata, termasuk mata Dina, tertuju pada adegan bencana itu.

Rio membeku. Ia tidak berteriak, tidak panik, bahkan tidak mengumpat. Ia hanya menatap Anya. Tatapan itu, yang dipenuhi campuran kejutan, kemarahan yang tertahan, dan kekecewaan, jauh lebih mengerikan daripada teriakan.

Anya segera menyambar tisu di mejanya dan panik mengusap kemeja Rio. "Ya Tuhan, Pak Rio! Saya benar-benar minta maaf! Saya... saya ceroboh sekali! Biar saya bersihkan. Ini tidak akan..."

Rio menarik dirinya dengan cepat, membuat Anya hampir terjungkal.

"Jangan sentuh saya," desisnya. Nada suaranya sangat rendah dan berbahaya. Rio mengambil tisu dari tangan Anya, tapi hanya menepuk-nepuk kecil kemejanya, seolah sadar bahwa kerusakan sudah total.

"Masuk ke ruangan saya. Sekarang," perintah Rio.

Rio berbalik dan berjalan menuju kantor pribadinya, yang terletak di ujung lorong kaca, meninggalkan jejak aroma kopi pekat dan ketakutan yang mencekam.

Anya menelan ludah. Ia tahu, jam kerjanya dan mungkin masa depannya akan segera berakhir di dalam ruangan Rio. Ia menghela napas panjang, meremas mug kosong di tangannya, dan berjalan perlahan menuju jeruji kaca Asisten Manajer yang dingin itu.

Anya masuk ke kantor Rio. Ruangan itu didominasi warna gelap: meja kayu mahoni besar, dinding kaca yang menghadap langsung ke panorama kota Jakarta, dan satu sofa kulit hitam.

Rio berdiri di depan jendela, memunggungi Anya. Ia melonggarkan dasinya, sedikit membuka dua kancing kemejanya yang basah. Pemandangan itu, meskipun seharusnya tidak relevan, membuat jantung Anya berdebar tidak karuan.

"Tutup pintunya," kata Rio tanpa menoleh.

Anya menurut, menutup pintu kaca berat itu, membuat mereka berdua sepenuhnya terisolasi dari dunia luar.

Rio berbalik, tatapannya kini lebih tajam dari sebelumnya. "Anda tahu berapa harga kemeja ini, Anya?"

Anya menggelengkan kepala. "Maaf, Pak. Saya akan ganti rugi."

"Ini bukan masalah uang," Rio maju selangkah. "Ini masalah profesionalisme. Anda terlambat. Anda merusak properti. Dan sekarang, Anda merusak pakaian kerja saya. Dalam sembilan jam, Anda sudah melanggar hampir semua etika dasar yang harus dimiliki seorang magang."

"Saya tahu. Saya benar-benar minta maaf. Saya sangat membutuh..."

"Tidak ada yang peduli pada kebutuhan Anda di sini, Anya," Rio memotong, suaranya keras, membuat Anya tersentak. Rio mendekat ke meja, mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bertumpu pada permukaan kayu mahoni.

"Dengar baik-baik. Magang Anda di sini adalah uji coba tiga bulan. Setelah hari ini, saya punya hak penuh untuk mengakhiri kontrak Anda. Dan jujur saja, saya sangat mempertimbangkan untuk melakukannya."

Anya merasakan air mata perih di sudut matanya. "Tolong, Pak Rio. Beri saya kesempatan kedua. Saya janji akan bekerja dua kali lebih keras. Saya akan membereskan semua berkas itu dan saya akan ganti rugi kemeja Bapak. Saya... saya sangat membutuhkan pekerjaan ini."

Rio menatapnya, matanya yang dingin mencari kebohongan di wajah Anya, tapi yang ia temukan hanya keputusasaan yang tulus.

Rio menarik napas, lalu menghela perlahan. "Baiklah. Saya akan memberikan Anda satu kesempatan. Satu. Tapi dengan syarat."

Anya penasaran. "Syarat apa, Pak?"

Rio tersenyum sinis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Mulai besok, Anda bukan hanya akan membereskan berkas. Anda akan menjadi asisten pribadi saya. Selama jam kerja, saya akan menjadi kendali tunggal Anda. Anda tidak akan bergerak tanpa persetujuan saya. Saya ingin melihat apakah saya bisa mengubah seorang gadis ceroboh menjadi profesional yang layak. Jika Anda gagal, Anda keluar. Jika Anda berhasil, saya yang memutuskan nasib Anda selanjutnya."

Rio maju selangkah lagi, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Aroma cologne mahal bercampur kopi pahit kini menusuk indra Anya.

"Bagaimana, Anya? Di Bawah Kendali Asisten Manajer, atau di luar sana mencari pekerjaan lain?"

Anya mengunci tatapan dengan Rio, merasakan tantangan, ancaman, dan harapan di mata Rio. Ia tidak punya pilihan lain.

"Baik, Pak Rio," jawab Anya, nadanya kini tegas, menghilangkan semua getaran. "Saya terima."

Anya tidak tahu, bahwa menerima Rio Dirgantara adalah kesalahan terbesarnya, dan juga kesempatan yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 11: Pelarian dari Rumah Keluarga dan Kontrak Cincin

    Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 10: Konsekuensi Ciuman dan Kontrak Darurat

    Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 9: Pelarian di Bawah Tanah dan Ciuman yang Dipaksakan

    Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 8: Malam di Apartemen Rio dan Sebuah Pintu yang Terbuka

    Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 7: Harga Dinding Kaca

    Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 6: Ketika Kendali Rio Mulai Goyah

    Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status