Home / Romansa / DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER / Bab 2: Garis Batas yang Ditarik Ulang

Share

Bab 2: Garis Batas yang Ditarik Ulang

Author: Ginazara
last update Last Updated: 2025-12-08 18:11:06

Anya kembali ke kubikelnya dengan kepala yang terasa dipenuhi udara panas. Rekan kerjanya, Dina, langsung menghampiri dengan ekspresi cemas.

“Astaga, Anya! Apa yang terjadi di dalam? Kami semua berpikir kamu dipecat. Kemeja Pak Rio itu...itu pasti harganya setara uang kuliah satu semester,” bisik Dina, matanya melirik waspada ke kantor kaca Rio.

Anya menyandarkan punggungnya ke kursi, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak dipecat. Tapi keadaannya… lebih rumit."

"Rumit bagaimana?"

"Mulai besok, aku bukan hanya mengurus berkas. Aku adalah Asisten Pribadi Pak Rio, di bawah kendali penuhnya." Anya tidak bisa menyembunyikan nada putus asa dari suaranya.

Dina terdiam sesaat, lalu matanya membelalak kaget. "Kamu serius? Anya, itu… itu neraka berbalut jas Armani! Dia terkenal kejam pada asistennya. Dia mengganti tiga asisten dalam enam bulan terakhir karena mereka tidak tahan dengan standarnya yang mustahil!"

Peringatan Dina membuat perut Anya melilit. Ia sudah tahu Rio Dirgantara terkenal, tapi ia tidak tahu tingkat keganasannya sampai sefatal itu.

"Aku tidak punya pilihan, Dina. Ini adalah satu-satunya kesempatan terakhirku," jawab Anya pelan, sambil menatap berkas-berkas yang sekarang terasa jauh lebih tidak penting dibandingkan nasibnya.

Keesokan paginya, Anya tiba pukul 07:30, tiga puluh menit lebih awal. Ia memastikan penampilannya sempurna: kemeja bersih, rok pensil rapi, dan rambut dikuncir ketat. Ia bahkan memeriksa tasnya empat kali untuk memastikan tidak ada cairan berbahaya di dalamnya.

Pukul 07:45, Rio tiba. Ia mengenakan setelan biru tua, tampak segar dan tanpa cela, seolah insiden kopi kemarin hanyalah mimpi buruk yang cepat ia lupakan. Ia langsung menuju kantornya tanpa melirik Anya, tapi berhenti di ambang pintu.

“Di ruang rapat kecil, lima menit,” katanya singkat, lalu menghilang.

Anya buru-buru mengambil buku catatan dan pulpen, bergegas masuk ke ruang rapat kecil yang bersebelahan dengan kantor Rio.

Di sana, Rio sudah duduk di ujung meja, dengan tablet dan segelas air es. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan basa-basi.

“Duduk,” perintah Rio. “Saya akan menjelaskan tugas baru Anda. Tugas Anda bukan lagi merapikan berkas. Itu sudah saya tugaskan ke staf administrasi lain. Tugas Anda sekarang adalah memastikan hidup saya berjalan tanpa hambatan selama di kantor.”

Rio menunjuk ke tablet di depannya. "Ini adalah jadwal saya. Sangat padat. Anda harus menguasainya. Saya tidak suka pengulangan. Jika Anda menanyakan jadwal saya dua kali dalam satu jam, itu sudah termasuk kegagalan."

"Baik, Pak. Apa saja detailnya?"

Rio mulai mendikte, nadanya seperti membacakan perjanjian bisnis yang rumit.

"Pertama, Anda akan berada di meja tepat di luar ruangan saya, bukan lagi di pojok sana. Kedua, semua email masuk dan keluar saya harus Anda saring dan rangkum setiap jam. Ketiga, saya minum kopi hitam tanpa gula, disajikan tepat pukul 09:00 dan 15:00. Tidak kurang, tidak lebih."

Anya mencatat dengan cepat. Ia merasa seperti sedang mengikuti kursus kilat untuk menjadi robot, bukan magang.

“Keempat, ini yang terpenting,” Rio mencondongkan tubuh sedikit. “Anda akan ikut dalam setiap rapat penting yang saya hadiri. Tugas Anda adalah mencatat, menganalisis, dan memprediksi kebutuhan saya. Jika saya melirik ke arah tertentu, Anda harus tahu apakah saya butuh berkas, marker, atau telepon. Anda harus menjadi ekstensi otak saya.”

Anya menelan ludah. "Memprediksi kebutuhan Anda?"

"Tepat," Rio bersandar. "Saya tidak suka membuang waktu dengan meminta. Saya ingin Anda bertindak sebelum saya sadar saya butuh sesuatu. Ini disebut inisiatif, Anya. Jika saya harus meminta sesuatu yang seharusnya sudah Anda siapkan, Anda gagal."

Rio lalu memberikan sebuah kartu akses dengan pin khusus. "Akses ini hanya untuk ruang kerja pribadi saya, bukan untuk hal lain. Anda bertanggung jawab penuh atas kebersihan dan kerapian meja saya, serta keamanan dokumen di dalamnya."

“Pak Rio, apa yang terjadi jika maksud saya, seberapa sering Anda menganggap ini sebagai kegagalan?” tanya Anya dengan hati-hati, mencoba mengukur risikonya.

Rio tersenyum tipis, tapi senyum itu jauh dari kata menghibur. "Di bawah kendali saya, kegagalan bukan opsi, Anya. Jika saya merasa satu hari Anda berjalan tanpa inisiatif, atau Anda membuat satu kesalahan fatal yang membuang waktu saya lebih dari lima menit, Anda akan tahu konsekuensinya."

Ia lalu menatap mata Anya, menjatuhkan bom verbal terakhirnya.

"Satu hal lagi. Di kantor, Anda hanya ada untuk bekerja. Tidak ada obrolan pribadi, tidak ada urusan pribadi, dan tidak ada hubungan pribadi dengan saya. Batasan kita harus jelas: Anda adalah Asisten Saya. Saya adalah Manajer Anda. Paham?"

"Paham, Pak Rio," jawab Anya, nada tegasnya kembali, menyembunyikan gejolak kecemasan di dalam dirinya.

Saat ia keluar dari ruang rapat, ia merasa seperti baru saja menandatangani kontrak jual beli jiwanya sendiri.

Sore itu adalah ujian pertama yang sebenarnya. Anya kini duduk di meja barunya sebuah meja besar di luar kantor Rio, yang membuatnya menjadi pusat perhatian dan juga sasaran Rio yang mengintip dari balik kaca.

Pukul 15:00, Anya membawa kopi dengan suhu yang, ia harap, sudah tepat. Ia menggunakan termometer digital kecil yang dibelinya saat makan siang tadi.

Ia mengetuk pintu Rio.

“Masuk,” sahut Rio.

Anya meletakkan kopi di meja Rio. Rio hanya menatap cangkir itu, tidak menyentuhnya.

"Apa Anda yakin ini adalah suhu yang benar?" tanyanya tanpa melihat Anya.

Anya mencoba terdengar percaya diri. "Ya, Pak. Saya menggunakan termometer.

Rio mengambil cangkir itu, menyesapnya perlahan, matanya masih terfokus pada layar komputer. Setelah beberapa detik yang terasa seperti satu jam bagi Anya, Rio mengangguk kecil.

"Bagus. Berarti ada satu hal yang bisa Anda lakukan dengan benar."

Meskipun itu terdengar seperti penghinaan, bagi Anya, itu adalah kemenangan kecil.

Namun, ia nyaris gagal ketika Rio tiba-tiba berkata, “Saya butuh laporan bulanan PT Nusa Jaya, dan data akuisisi bulan lalu, sekarang.”

Anya panik. Ia tahu laporan Nusa Jaya ada di sistem, tapi ia lupa di folder mana data akuisisi diletakkan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Rio menunggu, matanya tajam.

Bertindak sebelum diminta, menjadi ekstensi otaknya.

Anya ingat Rio sempat melirik ke rak buku di belakangnya saat rapat tadi pagi. Rak itu diisi oleh buku-buku tebal, tapi di antara buku-buku itu, ada beberapa binder berwarna biru dan abu-abu.

Anya berbalik, mengabaikan tatapan menunggu Rio. Ia menuju rak buku, menemukan binder biru tua, membukanya, dan bingo! Di sana ada cetakan laporan Nusa Jaya dan data akuisisi.

Ia kembali ke meja Rio, menyerahkan berkas itu tanpa kata.

Rio mengambilnya, matanya sedikit terangkat. Ada jeda panjang sebelum ia berbicara.

"Anda tahu, Anya," katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya, meskipun masih kaku. "Mayoritas orang yang saya pekerjakan hanya bereaksi. Anda… mencoba berpikir ke depan. Ini adalah langkah yang baik."

"Terima kasih, Pak," Anya berbisik, lega.

Rio kembali fokus pada pekerjaannya, tapi sebelum Anya bisa berbalik, Rio berkata, "Pastikan meja saya bebas dari debu besok. Dan jangan pernah, jangan pernah lagi menumpahkan cairan ke pakaian saya."

Saat Anya keluar dari kantor Rio, ia tahu pertempuran baru saja dimulai. Dia telah lulus ujian pertama, tetapi ia telah meletakkan dirinya di bawah pengawasan ketat pria paling dingin yang pernah ia temui. Anya memegang kendali yang sangat sedikit atas hidupnya di kantor, dan ia takut, bahwa kendali Rio perlahan akan menjangkau lebih dari sekadar meja kerja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 11: Pelarian dari Rumah Keluarga dan Kontrak Cincin

    Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 10: Konsekuensi Ciuman dan Kontrak Darurat

    Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 9: Pelarian di Bawah Tanah dan Ciuman yang Dipaksakan

    Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 8: Malam di Apartemen Rio dan Sebuah Pintu yang Terbuka

    Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 7: Harga Dinding Kaca

    Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 6: Ketika Kendali Rio Mulai Goyah

    Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status