Home / Romansa / DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER / Bab 3: Belajar Menjadi 'Ekstensi Otak'

Share

Bab 3: Belajar Menjadi 'Ekstensi Otak'

Author: Ginazara
last update Last Updated: 2025-12-08 18:16:29

Setelah melewati hari pertama yang penuh bencana dan hari kedua yang penuh peraturan ketat, hari ketiga di bawah kendali Rio Dirgantara terasa seperti sedang berjalan di ladang ranjau. Anya sekarang resmi dipindahkan ke meja di luar kantor Rio. Posisi baru ini membuatnya merasa seperti ikan mas dalam akuarium terlihat oleh semua orang, tetapi yang paling penting, selalu terlihat oleh Rio.

Pagi itu, Rio datang dan langsung memberikan tugas yang aneh.

"Saya ada pertemuan bisnis penting dengan perwakilan dari Timur Tengah sore nanti. Mereka sangat memperhatikan detail kecil," kata Rio, tanpa membuang waktu. "Tugas Anda bukan menyiapkan berkas, tapi menyiapkan profil lengkap semua kebutuhan spesifik mereka. Apa yang mereka benci, apa yang mereka sukai, dan apa yang harus ada di ruang rapat."

Anya mengerutkan dahi. "Maksud Bapak, seperti profil diet atau preferensi minuman?"

"Lebih dari itu, Anya. Saya tidak mau ada kecelakaan diplomasi. Saya pernah kehilangan kontrak jutaan dolar karena asisten saya menyajikan kopi Arabica, padahal klien itu hanya minum kopi robusta organik dari daerah tertentu. Anda punya waktu sampai jam dua belas."

Tugas ini jauh melampaui deskripsi pekerjaan magang, atau bahkan asisten biasa. Ini adalah tugas detektif psikologis.

Anya segera masuk ke mode riset mendalam. Ia menggunakan semua koneksi internet dan database perusahaan, bahkan sampai melacak unggahan media sosial lama para klien ini (dengan batas profesionalitas, tentu saja). Ia menemukan bahwa:

* Salah satu klien, Tuan Bashir, sangat sensitif terhadap bau mint.

* Klien lainnya, Nyonya Farah, adalah seorang vegetarian ketat yang alergi terhadap tomat dan hanya minum Green Tea merek spesifik.

* Ruang rapat yang akan digunakan ternyata memiliki hiasan lukisan yang bertema air, padahal salah satu klien mereka, Tuan Bashir, diketahui sangat takut pada air setelah mengalami kecelakaan kapal di masa lalu.

Anya menyusun laporan ini dalam bentuk poin-poin yang cepat dan mudah dibaca, lalu mengirimkannya ke Rio tepat pukul 11:55.

Lima belas menit kemudian, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Rio sedang memegang laporan itu, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kertas itu dengan irama yang tenang.

"Anda melampaui ekspektasi," kata Rio, tanpa ekspresi, tapi ini adalah pujian tertinggi yang pernah didengar Anya darinya.

Anya merasa sedikit lega, tetapi tetap waspada. "Saya hanya mencoba menjadi 'ekstensi otak' Anda, Pak."

Rio mengangguk. "Tepat. Anda menyadari ada lukisan air di Ruang Meeting Andromeda. Saya sudah meminta SDM untuk menggantinya dengan lukisan pemandangan gurun kering. Dan Anda benar tentang preferensi teh. Hanya sedikit orang yang mau bersusah payah mencari tahu detail sekecil ini."

"Saya hanya tidak ingin membuang waktu Bapak karena insiden sepele."

Rio memandangnya sebentar. "Bagus. Sekarang, Anda punya waktu istirahat 30 menit. Setelah itu, saya butuh Anda menemani saya makan siang."

Anya terkejut. "Makan siang? Tapi, Pak, bukankah kita harus..."

"Ini bukan ajakan pribadi, Anya," potong Rio cepat, seolah membaca keraguan Anya. "Ini adalah bagian dari tugas Anda. Kita akan makan siang di Ruang Makan Eksekutif. Anda harus mencatat percakapan dan mengamati dinamika negosiasi para eksekutif senior. Anggap saja ini pelatihan observasi."

Meskipun disebut sebagai 'pelatihan observasi', duduk di meja yang sama dengan Rio Dirgantara di ruang makan eksklusif yang tenang terasa sangat menegangkan bagi Anya.

Ruang Makan Eksekutif sangat berbeda dari kantin karyawan biasa. Lampu gantung kristal, meja bundar kayu gelap, dan keheningan yang mencekam.

Mereka duduk di sudut. Rio memesan hidangan yang terlihat sangat minimalis, sementara Anya memesan sup jamur dan roti panggang, merasa ia harus terlihat sesederhana mungkin.

Rio sibuk dengan ponselnya selama beberapa menit pertama, membuat Anya merasa sendirian dan canggung. Ia mengamati ekspresi Rio. Di luar ketegasan kerjanya, Rio tampak lelah. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya yang tertutup kacamata.

Saat pelayan bawa air untuk Rio, Anya teringat sebuah detail kecil yang ia amati

"Pak Rio," kata Anya. "Apakah Anda tidak minum air dingin?"

Rio mendongak, sedikit terkejut karena Anya berani memecah keheningan. "Kenapa Anda bertanya?"

"Saya perhatikan, selama dua hari ini, Anda selalu minum air pada suhu ruangan atau air hangat, tidak pernah air dingin, bahkan saat cuaca panas. Anda juga tidak pernah minum soda atau minuman manis," jelas Anya, bangga karena ia berhasil menangkap pola ini.

Rio menatapnya lama, tatapan yang dalam dan sulit diuraikan. Sejenak, pertahanannya seolah runtuh, dan ia terlihat seperti pria normal yang lelah, bukan robot Asisten Manajer.

"Saya punya masalah asam lambung kronis. Saya harus menghindari minuman dingin dan minuman berkarbonasi," aku Rio, suaranya lebih lembut dari biasanya. Itu adalah informasi pribadi yang sangat jarang ia bagikan.

"Maaf, saya tidak tahu. Besok saya akan pastikan air minum Anda selalu bersuhu ruangan," kata Anya.

"Itu bagus. Anda sudah mulai menjadi ekstensi otak saya. Sekarang makanlah," kata Rio, lalu ia kembali pada ponselnya.

Saat Anya menyendok supnya, ia melihat Rio mengambil beberapa potong roti yang disajikan di meja, lalu diam-diam memasukkannya ke dalam saku jasnya. Tindakan itu begitu cepat dan tidak terduga, seolah Rio menyembunyikan mainan terlarang.

Anya hampir saja bertanya, tapi ia ingat aturan utama Rio: Tidak ada urusan pribadi.

Namun, ia tidak bisa mengabaikannya. Rio Dirgantara, Asisten Manajer dengan gaji jutaan, mencuri roti dari meja makan eksklusif? Kenapa? Apakah dia pelit? Atau ada alasan lain?

Saat makan siang selesai, dan mereka berjalan kembali ke kantor. Anya melihat sekilas Rio berjalan menuju lorong yang jarang dilewati, tepat di sebelah loading dock karyawan.

Rasa ingin tahu Anya membuncah. Ia tahu ia melanggar perintah, tapi ia harus tahu. Ia membiarkan Rio berjalan agak jauh, lalu diam-diam mengikutinya.

Rio berhenti di sebelah petugas keamanan yang sudah tua dan tampak lelah. Petugas itu sedang membaca koran sambil memegang termos kopi. Rio mengeluarkan potongan roti dari sakunya dan sebuah kotak kecil berisi biskuit premium dari tas kerjanya.

"Ini, Pak Tua," kata Rio, nadanya hangat, sama sekali berbeda dari suara yang ia gunakan di kantor. "Jangan hanya minum kopi tanpa makan. Ambil ini."

"Ya Tuhan, Nak Rio, terima kasih. Kamu tidak perlu repot-repot," jawab petugas keamanan itu sambil tersenyum tulus.

Rio tersenyum kembali, senyum yang tulus, bahkan di matanya yang biasanya dingin. "Tentu saja. Anda sudah bekerja di sini lebih lama dari saya. Anda yang menjaga tempat ini tetap aman."

Anya bersembunyi di balik pilar. Jantungnya berdebar kencang. Itu adalah sisi Rio yang sama sekali tidak ia kenali sosok yang penyayang, rendah hati, dan peduli. Rio Dirgantara, si tiran kantor yang dingin, ternyata memiliki titik lemah dan rahasia kebaikan.

Saat Rio kembali berbalik menuju lift, Rio mendadak berhenti dan menoleh, matanya langsung tertuju pada pilar tempat Anya bersembunyi.

Rio tahu ia mengintai.

Wajah Rio langsung kembali tanpa ekspresi, bahkan lebih dingin dari biasanya. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya yang menusuk mengirimkan pesan yang jelas: Anda sudah melanggar batas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 11: Pelarian dari Rumah Keluarga dan Kontrak Cincin

    Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 10: Konsekuensi Ciuman dan Kontrak Darurat

    Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 9: Pelarian di Bawah Tanah dan Ciuman yang Dipaksakan

    Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 8: Malam di Apartemen Rio dan Sebuah Pintu yang Terbuka

    Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 7: Harga Dinding Kaca

    Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 6: Ketika Kendali Rio Mulai Goyah

    Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status