Home / Romansa / DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER / Bab 4: Konsekuensi Pengawasan dan Kedekatan yang Dipaksakan

Share

Bab 4: Konsekuensi Pengawasan dan Kedekatan yang Dipaksakan

Author: Ginazara
last update Huling Na-update: 2025-12-08 18:18:50

Anya tahu ia dalam masalah besar. Tatapan Rio di lorong tadi, meski tanpa kata, membawa bobot yang lebih berat daripada omelan keras apa pun. Itu adalah peringatan, pengingat mutlak bahwa ia tidak boleh mengganggu urusan pribadi Rio.

Begitu Anya kembali ke mejanya, Rio memanggilnya melalui interkom.

“Masuk.”

Anya menelan ludah, merapikan kemejanya, dan melangkah ke kantor Rio. Rio sudah kembali duduk di balik mejanya yang besar, memproses laporan dengan kecepatan kilat.

“Duduk,” katanya, tanpa mengangkat pandangan dari layar.

Anya duduk di kursi tamu, menunggu hukuman.

Setelah sekitar lima menit hening—lima menit yang terasa seperti penyiksaan—Rio akhirnya menoleh.

“Anda melanggar etika profesional, Anya. Tugas Anda adalah membantu pekerjaan saya, bukan menginterogasi atau mengawasi kehidupan pribadi saya,” Rio memulai, nadanya sangat tenang, yang justru membuat Anya semakin takut.

“Maaf, Pak Rio. Itu tidak akan terulang lagi. Saya… saya hanya penasaran,” jawab Anya jujur, menghindari alasan-alasan klise.

“Rasa penasaran Anda tidak relevan di sini,” Rio memotong tajam. “Tapi karena Anda sudah menghabiskan waktu berharga saya untuk mengikuti saya waktu yang seharusnya Anda gunakan untuk merapikan berkas maka Anda harus menebusnya.”

Anya bersiap mendengar hukuman berupa lembur semalam suntuk.

“Malam ini, saya ada acara makan malam dengan CEO Properti Agung. Ini adalah negosiasi yang sangat sensitif. Mereka adalah klien yang sangat kuno, mereka percaya bahwa tim yang solid harus menampilkan keharmonisan yang total,” jelas Rio.

“Lalu?” tanya Anya, tidak mengerti hubungannya dengan dirinya.

Rio bersandar di kursinya, tatapannya menyapu Anya dari atas ke bawah. “Anda akan ikut. Anda tidak akan duduk di meja terpisah sebagai Asisten. Anda akan duduk di sebelah saya. Anda akan berpura-pura menjadi tunangan saya.”

Anya terkejut. Tubuhnya menegang. “Apa?! Tunangan? Tapi, Pak Rio, saya kan saya hanya magang!”

“Tepat. Tapi saya tidak punya waktu untuk mencari aktris yang bisa dipercaya. Anda sudah menjadi ekstensi otak saya di kantor, jadi Anda harus menjadi ekstensi citra saya di depan klien,” Rio menjelaskan, suaranya mengandung sedikit desakan yang menandakan negosiasi telah berakhir. “Mereka hanya melihat keharmonisan. Jika mereka melihat saya datang sendirian, mereka akan menganggap saya tidak stabil. Ini murni bisnis, Anya. Akting.”

“Tapi ini melanggar semua aturan, Pak! Bukankah Bapak bilang batasan kita harus jelas?”

“Batasan saya sangat jelas,” balas Rio dingin. “Di tempat ini, kendali ada di tangan saya. Dan saat ini, saya mengendalikan citra saya. Jika Anda menolak, saya akan anggap Anda gagal total dalam tugas yang saya berikan. Dan Anda tahu konsekuensinya.”

Anya merasa terpojok. Dia tidak punya hak tawar. Rio sedang menguji kesetiaannya dengan menjebaknya di situasi yang melanggar semua janji profesionalisme mereka.

"Baiklah, Pak. Saya akan melakukannya. Tapi, tolong jelaskan detail perannya."

Rio tersenyum kecil, senyum kemenangan yang licik. “Bagus. Jangan sentuh saya, jangan sentuh makanan saya, dan jangan banyak bicara, kecuali Anda ingin mengacaukan kesepakatan bernilai miliaran ini. Dan yang terpenting: bersikaplah seperti Anda mencintai saya.”

Rio mengambil kunci dari laci mejanya. “Pukul tujuh malam. Saya akan menjemput Anda di lobi. Anda harus tampil meyakinkan.”

Tepat pukul 19:00, Anya berdiri di lobi. Ia mengenakan gaun hitam sederhana yang merupakan harta karun satu-satunya, dan merias wajahnya seprofesional mungkin.

Sebuah Mercedes-Benz hitam mewah berhenti di depan lobi. Jendela mobil terbuka, dan Rio muncul. Dia tidak lagi mengenakan setelan kantor. Rio mengenakan jas tuxedo hitam formal, dasi kupu-kupu, dan rambutnya tampak sedikit lebih santai. Ia terlihat... sangat tampan, dengan cara yang berbahaya.

Anya segera masuk ke mobil. Di dalam, Rio menyerahkan kotak kecil.

“Pakai ini,” katanya, suaranya rendah.

Anya membuka kotak itu. Isinya adalah kalung perak tipis dengan liontin safir kecil. Itu elegan dan mahal, jauh di atas kemampuan Rio hanya untuk ‘berpura-pura’.

“Ini terlalu mahal, Pak. Saya tidak bisa menerimanya,” tolak Anya.

“Ini properti,” balas Rio, suaranya tegas. “Ini harus meyakinkan. Saya tidak mau ada pertanyaan tentang kualitas tunangan saya. Pakai.”

Anya menurut. Saat ia mencoba mengaitkan kalung itu di belakang lehernya, jarinya gemetar.

“Sini, saya bantu,” kata Rio.

Ini adalah kontak fisik pertama yang disengaja. Jari-jari Rio yang hangat dan kuat menyentuh tengkuknya yang dingin. Aroma cologne mahal dan maskulin yang ia kenali kembali menusuk indranya. Kedekatan Rio di ruang sempit mobil itu begitu nyata dan memabukkan.

Setelah kalung itu terpasang, Rio mundur, tapi tatapannya terkunci pada mata Anya.

"Ingat perannya," bisiknya, suaranya kini terasa seperti peringatan pribadi. "Ini hanya akting. Begitu di luar mobil, Anda tunangan saya. Di dalam mobil, Anda kembali di bawah kendali saya."

Anya hanya bisa mengangguk, jantungnya berdebar kencang. Ia takut pada situasi ini, takut pada pria di sebelahnya, tapi di saat yang sama, ia merasakan sensasi yang tidak bisa ia identifikasi.

Mereka tiba di restoran mewah. Begitu keluar, Rio langsung memegang siku Anya, menuntunnya masuk dengan keintiman yang dipaksakan. Anya harus memaksakan senyum di wajahnya.

Di meja, negosiasi berjalan dengan intens. Anya hanya mendengarkan, mencoba menjadi "ekstensi otak" Rio yang berfungsi ganda sebagai penyangga emosional. Ia mencatat detail-detail kecil yang ia dengar, mengawasi Rio yang sangat dingin dan dominan di hadapan CEO Properti Agung.

Saat malam semakin larut, CEO Properti Agung berkomentar. "Kalian pasangan yang serasi, Tuan Rio. Nona Anya sangat tenang dan suportif. Dia pasti sumber kekuatan Anda."

Rio menoleh ke Anya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum tulus di depan umum. Senyum itu memudar, tapi matanya memancarkan rasa terima kasih yang nyata.

"Dia memang sumber kekuatan saya," jawab Rio.

Anya terkejut dengan kehangatan di nada suara Rio. Meskipun itu hanya akting, kata-kata itu terasa begitu tulus. Dia menyadari, di balik semua kebekuan dan kontrolnya, Rio benar-benar sendirian dan membutuhkan dukungan.

Saat acara berakhir dan mereka kembali di mobil, keheningan kembali menguasai. Rio melepas dasi kupu-kupunya.

"Kerja bagus, Anya," kata Rio, kembali menjadi Asisten Manajer yang dingin. "Kesepakatan kita berjalan mulus. Anda meloloskan tugas ini."

Anya melepas kalung safir itu dengan hati-hati. "Ini, Pak."

Rio mengambilnya, dan saat tangannya menyentuh tangan Anya, ia menahannya sebentar.

“Besok kembali ke meja Anda. Dan lupakan malam ini. Tapi ingat, di kantor ini, apa pun yang saya perintahkan, termasuk malam ini, adalah mutlak,” Rio memperingatkan, melepaskan tangannya dari Anya.

Rio mengantarkan Anya sampai depan indekosnya. Saat Anya keluar dari mobil, ia menoleh ke Rio yang tampak kelelahan.

"Pak Rio," kata Anya lembut. "Siapa petugas keamanan yang tadi Bapak beri roti?"

Rio menatapnya dari dalam mobil. "Bukan urusan Anda. Tapi saya ingatkan, jangan mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Saya tidak ingin lagi melihat Anda mengawasi saya di lorong. Lain kali, hukumannya bukan akting tunangan."

Mobil Rio melesat pergi, meninggalkan Anya berdiri sendirian di jalan yang sepi. Anya tahu Rio sedang melindungi rahasia kebaikannya, dan ia baru saja melangkah terlalu jauh. Namun, ia juga tahu, ia baru saja melihat sekilas sisi lembut dan kesepian Rio. Garis batas antara asisten dan tunangan pura-pura sudah ditarik ulang, dan Anya takut, ia mungkin mulai menyukai berada Di Bawah Kendali Asisten Manajer.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 11: Pelarian dari Rumah Keluarga dan Kontrak Cincin

    Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 10: Konsekuensi Ciuman dan Kontrak Darurat

    Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 9: Pelarian di Bawah Tanah dan Ciuman yang Dipaksakan

    Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 8: Malam di Apartemen Rio dan Sebuah Pintu yang Terbuka

    Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 7: Harga Dinding Kaca

    Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 6: Ketika Kendali Rio Mulai Goyah

    Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status