Home / Romansa / DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER / Bab 5: Suhu Kopi dan Pemanasan Jarak

Share

Bab 5: Suhu Kopi dan Pemanasan Jarak

Author: Ginazara
last update Last Updated: 2025-12-08 18:23:51

Pagi hari setelah insiden 'tunangan pura-pura' terasa aneh bagi Anya. Hubungannya dengan Rio Dirgantara kini terasa seperti kabel listrik bertegangan tinggi sangat berbahaya, tetapi tidak bisa ia hindari. Perjanjian kemarin malam seharusnya dilupakan, tapi setiap kali Rio keluar dari ruangannya, memori sentuhan Rio saat memasangkan kalung safir kembali terlintas.

Rio datang tepat waktu, pukul 07:45, mengenakan setelan charcoal yang membuatnya tampak dingin dan tak terjangkau, kembali menjadi Asisten Manajer yang didominasi logika murni.

Ia langsung memanggil Anya.

“Anya, kita punya tiga rapat hari ini. Saya tidak mau ada kesalahan. Setiap laporan yang saya gunakan harus sudah diletakkan di sudut kanan atas meja sebelum saya masuk ke ruangan. Dan yang paling penting: jangan pernah lagi mengusik urusan pribadi saya. Apa yang Anda lihat di luar jam kerja adalah rahasia perusahaan,” perintah Rio, tatapannya tajam dan tegas, mengabaikan apa pun yang terjadi semalam.

Anya mengangguk, mengambil kembali sikap profesionalnya. “Siap, Pak Rio. Saya akan pastikan tidak ada yang salah.”

Namun, Rio tidak membiarkan Anya bernapas lega. Ia memberikan tugas yang sangat spesifik, seolah-olah dia sedang menguji batas kemampuan dan kesabaran Anya.

“Laporan keuangan kuartal ketiga. Saya butuh semua data anomali yang melebihi 10% dari rata-rata bulan lalu. Garis bawahi, dan berikan alasan kenapa anomali itu terjadi. Saya butuh sebelum pukul sembilan,” kata Rio, menunjuk tumpukan berkas setinggi tumpukan piring makan siang.

Anya menatap jam. Itu tugas yang butuh waktu minimal dua jam, dan dia hanya punya waktu kurang dari satu jam. Ia tidak mengeluh. Ini adalah ujian kendali Rio.

Anya segera kembali ke mejanya, bekerja dengan kecepatan tinggi. Ia menghabiskan 55 menit berikutnya tenggelam dalam angka dan grafik, mengabaikan rasa nyeri di pergelangan tangannya.

Pukul 08:58, ia menyelesaikan laporannya. Rio memanggilnya, dan Anya menyerahkan berkas itu. Rio menerima berkas itu, matanya hanya terfokus pada hasil pekerjaan Anya, tidak pada Anya sendiri.

"Ini bagus. Anda menyelesaikan ini lebih cepat dari perkiraan saya," kata Rio, kembali tanpa ekspresi. "Sekarang, kopi saya."

Anya sudah menyiapkan kopi sesuai suhu yang ia yakini benar. Ia meletakkannya di meja.

Rio mengambil cangkir itu, menyesapnya. Kali ini, Rio tidak mengangguk. Ia mengerutkan kening.

"Ini terasa... sedikit terlalu hangat, Anya. Saya tidak mau merusak lidah saya sebelum negosiasi besar hari ini," protes Rio.

Anya bingung. "Tapi, Pak, saya sudah ukur. Suhu di termometer menunjukkan..."

"Masalahnya bukan di termometer, tapi di waktu. Mungkin Anda terlalu lama berjalan dari pantry ke sini. Mulai sekarang, Anda harus menghitung waktu tempuh. Saya ingin kopi saya terasa saat saya menyesapnya, bukan saat Anda meletakkannya," Rio menjelaskan, terdengar konyol dan perfeksionis, tapi juga sangat menuntut.

Anya hanya bisa menelan kekesalan. Rio bukan hanya mengendalikan pekerjaannya, tapi juga fisika panas dan waktu.

Ketegangan mencapai puncaknya menjelang rapat kedua Rio. Rapat itu sangat mendadak, membuat persiapan menjadi minim. Rio harus meninggalkan kantornya selama dua jam dan ia tampak sangat khawatir.

"Anya, selama saya pergi, pastikan tidak ada seorang pun, siapa pun, yang menyentuh berkas di meja ini. Saya sedang mengerjakan proposal rahasia," perintah Rio, suaranya mengandung nada kecemasan yang jarang ia tunjukkan.

"Baik, Pak. Saya akan menjaganya," jawab Anya, berdiri tegak di depan meja Rio, seperti penjaga di gerbang istana.

Saat Rio hendak beranjak, ia berhenti dan berbalik, menatap Anya. Tatapannya kini sedikit lebih lembut.

"Dan pastikan Anda makan siang. Saya tidak mau Anda sakit lagi," tambahnya, nadanya terdengar seperti perintah, tapi kata-katanya menunjukkan perhatian pribadi yang tidak ia izinkan untuk ditunjukkan.

Anya merasa pipinya sedikit memanas karena perhatian tak terduga itu. "Saya akan makan, Pak. Terima kasih."

Rio pergi. Sepanjang dua jam berikutnya, Anya benar-benar menjadi perisai meja Rio. Ia bahkan menyuruh seorang staf SDM yang ingin menitipkan dokumen penting untuk meletakkannya di mejanya sendiri, bukan di meja Rio.

Ketika jam makan siang tiba, perut Anya memang sudah berteriak. Ia membuka kotak bekalnya yang berisi nasi dan sayur sederhana.

Tiba-tiba, kotak makan siang Anya berbunyi. Itu adalah pesan masuk dari nomor asing, tapi dari Rio.

[Rio]: Anda tidak perlu makan di meja. Ikut saya.

Anya bingung. Rio sudah pergi rapat. Namun, lima menit kemudian, Rio kembali! Ia tampak tergesa-gesa.

"Rapat dibatalkan mendadak. Ada masalah internal di perusahaan klien," Rio menjelaskan cepat. "Ayo. Jangan buang waktu makan siang."

Rio menuntun Anya keluar dari kantor, bukan menuju Ruang Makan Eksekutif, tapi menuju lift paling belakang, lift khusus pengiriman barang yang jarang digunakan.

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Anya, sedikit curiga.

"Saya butuh tempat yang tenang dan privat. Tempat di mana kita tidak akan terganggu oleh rekan kerja dan atasan yang ingin tahu," jawab Rio, menekan tombol lantai bawah tanah (B1).

Lift itu meluncur turun. Di ruang sempit yang hanya diterangi lampu redup, suasana menjadi sangat intim. Rio berdiri begitu dekat, punggungnya menghadap Anya.

"Apa yang Bapak lakukan dengan roti itu?" Anya memberanikan diri bertanya, tidak tahan lagi memendam rasa penasaran.

Rio terkejut. Ia berbalik, matanya menatap Anya tajam. "Saya bilang jangan mengusik urusan pribadi saya."

"Saya tahu. Tapi itu mengganggu pekerjaan saya, Pak. Saya tidak bisa fokus pada tugas saya jika saya merasa Asisten Manajer saya kelaparan atau... atau melakukan hal yang mencurigakan," Anya mencoba berargumentasi dengan alasan profesional.

Rio menatapnya, ada sedikit kekaguman di matanya karena keberanian Anya.

"Saya tidak kelaparan," Rio mendengus. "Petugas keamanan itu adalah mantan satpam pribadi Ayah saya. Dia sudah tua. Saya hanya memastikan dia tidak kelaparan saat bertugas malam. Itu sudah. Sekarang lupakan," katanya, menutup pembicaraan.

Tiba-tiba, lift berhenti dan pintunya terbuka. Mereka berada di area parkir bawah tanah yang sepi. Rio menuntun Anya ke sebuah mobil van hitam, bukan Mercedesnya.

Di dalam van itu, duduk seorang koki pribadi yang tersenyum. Meja di tengah van sudah disiapkan dengan hidangan yang mengepul pasta truffle dan salmon panggang.

"Duduk," kata Rio. "Ini adalah cara saya makan siang saat saya butuh privasi total dan makanan tanpa gangguan. Dan ini, adalah hukuman Anda karena terlalu banyak bertanya."

Anya terdiam. Ini adalah "hukuman" termewah dan teraneh yang pernah ia terima. Duduk di mobil van parkir bawah tanah, berbagi makan siang mewah dengan Asisten Manajer yang mengendalikannya.

Saat mereka makan, Rio berbicara, tapi bukan tentang pekerjaan. Ia berbicara tentang filosofi bisnis dan mengapa ia selalu mengejar kesempurnaan. Ia berbicara tanpa filter, tanpa formalitas kantor.

Anya melihat, di bawah kendali yang kejam dan tuntutan yang tinggi, ada seorang pria yang sangat tertekan oleh ekspektasi dan kesepian yang dalam.

“Anda harus makan yang banyak,” kata Rio, menatap piring Anya. "Saya tidak suka melihat orang sakit. Itu tidak efisien."

"Saya tahu," balas Anya, tersenyum kecil. "Saya akan pastikan suhu badan saya tetap optimal, Pak Rio."

Saat mereka kembali ke atas, kedekatan itu terasa memabukkan. Mereka baru saja berbagi rahasia kecil, rahasia petugas keamanan dan rahasia makan siang mewah yang tersembunyi.

Anya menyadari, di bawah kendali absolut Rio, garis batas tidak lagi jelas. Rio menggunakan kontrolnya untuk memaksa Anya masuk ke dalam dunianya, dan Anya, di dalam hatinya, tidak keberatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 11: Pelarian dari Rumah Keluarga dan Kontrak Cincin

    Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 10: Konsekuensi Ciuman dan Kontrak Darurat

    Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 9: Pelarian di Bawah Tanah dan Ciuman yang Dipaksakan

    Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 8: Malam di Apartemen Rio dan Sebuah Pintu yang Terbuka

    Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 7: Harga Dinding Kaca

    Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb

  • DI BAWAH KENDALI ASISTEN MANAGER   Bab 6: Ketika Kendali Rio Mulai Goyah

    Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status