25 DOKTER SARAF DAN DOKTER MATA
Aku berdiri di balkon, menatap kosong ke arah kolam renang, memikirkan segala peristiwa yang terjadi dalam hidupku.“Akhir-akhir ini lo aneh. Malaikat mana yang bikin lo kaya gini?” tanya Reno mengagetkanku.“Malaikat pencabut nyawa, lah. Lo kan tau gw hampir mati.”“Enggak lucu, deh!”“Siapa juga yang lagi melucu?”“Bisa enggak sih, kalau ngomong sama gw enggak pake urat?”“Emangnya lo tukang bakso?”“Dikasih tau ngeyel mulu sih, lo?”“Udah hobi sih, gimana, dong?”Dia mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala.***Aku mengetuk pintu kantor papanya Reno. Om Hendro kaget melihatku.“Rana, ada apa?” tanyanya dengan wajah tersenyum.Aku memandang wajah pria yang kini tak muda lagi itu, namun masih menunjukkan ketampanan dan karisma yang kuat.
“Aku hanya mau ngembaliin ini,” kataku26 COWOK AJI MUMPUNG Bagiku sekarang seperti pertarungan siapa yang menang siapa yang kalah. “Gw bingung sama sikap lo. Kadang lo baik, kadang normal.” Kata Reno sambil meletakkan buku yang dibacanya di meja. “Maksudnya gimana, kadang baik kadang normal?” “Ya kalau lo marah-marah, teriak-teriak, acuh, bagi gw sih, itu normal. Tapi kalau lo baik itu baru aneh. Lo amnesia, enggak. Dah gitu bokap pernah sekali lo panggil ayah, satu kali juga lo panggil om. Sama nyokap, Rika dan Riki juga lo lebih ramah. Nah cuma sama gw doang lo tetap kaya biasa. Sebenarnya ada apa sih, sama lo?” “Lo mau gw panggil kakak?” “Ihhh ngapain amat. Geli gue juga, kalau lo panggil gw kakak. Emangnya lo pikir gampang menyesuaikan diri dengan kehadiran adik perempuan yang udah segede lo. Dah orangnya nyebelin, galak lagi.” “Lo pikir lo nyenengin? Lo ramah sama cewek-cewek juga buat TP.” “Siapa yang TP?”
27 HAMPA Aku ke kosanku yang lama. Mengobrol dengan ibu kost sambil membantunya membuat kue-kue kering. Dia sudah seperti ibuku sendiri. “Rana, sebenarnya ada yang mau ibu katakan sejak dulu sama kamu,” kata ibu kos. “Apa, Bu?” “Bertahun-tahun yang lalu, kira-kira lima bulan setelah kamu tinggal di kosan ini, ada seseorang yang datang menanyakanmu. Katanya, dia disuruh oleh seorang pria bernama Hendro. Pria suruhan itu menanyakan banyak hal tentang kamu. Setelah itu, dia meminta nomor telepon ibu untuk diberikan kepada pak Hendro. Sejak saat itu, pak Hendro sering menelepon ibu. Dia juga sering mengirimkan uang untuk kebutuhan kamu. Tapi setiap kali Ibu ingin memberikan sesuatu padamu, kamu selalu menolaknya. Ibu bilang pada pak Hendro, sebenarnya dia tidak perlu mengirimkan uang terus-menerus, karena Ibu ikhlas membiayai semua kebutuhan kamu. Dia juga bilang, kalau setiap kali dia mau menjemputmu dari panti asuhan, kamu selalu saja ka
28 JALAN-JALAN “Ya ampun, bikinin gw minum, kek,” ucap Reno sambil mendengkus. “Ihhh ... lo enggak tahu malu ya, datang-datang langsung minta minum.” “Yang hangat ya, airnya,” katanya tidak perduli dengan omonganku. Aku memberikannya teh dan dia langsung meminumnya. “Ya ampun, ini pahit banget. Enggak lo kasih gula, apa?” “Lagi ngirit gw!” “Enggak berubah juga ya, lo.” “Mau ngapain lo ke sini?” “Liburan. Oya, minggu depan lo pulang ke Indonesia, kan? Entar pulang sama-sama aja. Gw di sini satu minggu,” kata Reno. Aku tidak menjawab pertanyaannya, karena tidak tahu harus menjawab apa. Aku sendiri ragu untuk pulang. Takut akan bertemu dengan om Hendro dan tante Ajeng. Bagaimana bisa aku yang tidak tahu malu ini tiba-tiba hadir lagi dalam kehidupan mereka. “Dah sana pulang ke hotel lo, gw mau tidur!” “Lo enggak punya cemilan?” “Disuruh
29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin
30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n
31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha
32 PERNIKAHAN Reno yang merancang bangunannya, sedangkan Reva menulis daftar semua kebutuhan. Dito, Vivian, dan Andre juga ikut membantu. Bukan hanya mereka, tante Hartini dan ibu kos juga ikut andil. Tante Hartini menghubungi teman-teman lamanya semasa tinggal di rumah yatim. Mengerjakan semua ini, entah mengapa perasaanku campur aduk. “Kita bisa membuat beberapa kegiatan, untuk melatih kemandirian mereka. Misalnya setiap hari Minggu kita bikin kegiatan membuat kue, nanti hasilnya bisa dijual. Bercocok tanam, kerajinan tangan dan yang lainnya. Masalah tenaga pengajar enggak usah khawatir, teman-teman kampus kita siap bantu. Masing-masing dari mereka bisa ngajarin keahlian mereka. Misalnya, gw bisa ngajarin melukis. Nah karena Reva suka banget sama fashion, dia bisa ngajarin merancang baju, tinggal cari orang yang bisa ngejahit. Pokoknya lo tenang aja Ran, semua udah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dito. Aku tersenyum penuh rasa terima k
33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU Om Hendro dan tante Ajeng sepertinya masih keberatan, tapi akhirnya mereka setuju juga. Aku memasukkan bajuku ke dalam koper. “Lo pergi karena patah hati?” “Ren, lo pernah nanya pertanyaan yang sama juga kan dulu. Kenapa harus diulang lagi, sih? Gw bosan menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama juga. Sebagai mantan teman kerja dan senior, seharusnya lo ngedukung gw.” “Gw bukannya enggak ngedukung, tapi ....” “Dah enggak usah tapi-tapian.” “Kan bentar lagi juga gw mau nikah.” “Oya, selamat ya. Entar gw datang deh. Gw doakan semoga dia bahagia.” “Kok cuma dia, gw enggak?” “Ya lo sih udah pasti bahagia lah, kan lo yang mau. Justru dia yang gw cemaskan.” “Ya bahagia juga, lah. Kata orang-orang, gw baik, ganteng, lucu, hmmm ... apa lagi yang belum, ya?” “Tapi kurang waras!” “Coba deh, hati dan pikiran lo