7 BERTENGKAR
“Oh ya? Lo bilang bokap Lo enggak mau bikin Gw sengsara? Tapi dia udah bikin ibu Gw sengsara sampai akhir hayatnya. Dia ninggalin Gw saat umur Gw empat tahun. Itu yang Lo bilang enggak mau bikin Gw sengsara? Kemana aja dia selama hampir empat belas tahun ini? Lo tau saat ibu Gw meninggal diusia Gw yang baru lima tahun, enggak ada siapa-siapa disisi Gw. Berkali-kali Gw datang ke rumah Gw yang sudah terbakar habis, berharap dia ada disana. Berkali-kali juga Gw ke kuburan ibu Gw, berpikir mungkin dia datang dan menaburkan bunga di kuburan itu. Lo tau gimana rasanya orang-orang memandang Lo dengan penuh rasa kasihan dan berbisik-bisik dibelakang Lo? 'kasihan ya, masih kecil udah ditinggal sama orang tuanya, mana enggak punya keluarga yang lain.’ Lo tau gimana rasanya terlantar di jalanan, kelaparan dan kehausan, sampe-sampe Lo harus nampung air hujan buat minum? Lo tau gimana rasanya pake baju yang kekecilan, sepatu yang udah bolong, dan tas yang udah robek selama8 RENTENIR “Ra tunggu, Lo mau kemana?” Reno mengejarku namun aku tidak peduli. Untuk apa aku mempedulikan orang seperti itu. “Mau apalagi sih Lo? Mau ikut-ikutan ngehadiahin Gw tamparan di pipi yang sebelah?” “Ini udah malam, ayo pulang!” “Udah deh berhenti pura-pura. Kalau emang enggak suka, kenapa terus-terusan nyuruh Gw pulang. Di sana tuh bukan tempat Gw. Satu perkataan Gw ke nyokap Lo bikin kalian sakit hati. Terus gimana dengan Gw, dengan ibu Gw. Apa karena dia udah enggak ada, terus enggak ada yang peduli. Apa karena bagi Kalian, Gw ini duri dalam daging?” “Bukan gitu,” kata Reno sambil melonggarkan pegangannya. “Bukan gitu, bukan gitu, bukan gitu gimana? Udah deh Lo jangan ikut campur terus urusan Gw.” Hujan sudah sangat deras, tapi aku tidak berniat untuk pulang. Aku terus berjalan tanpa henti dan Reno masih mengikutiku dari belakang. Kemudian aku duduk di halte. Reno pun ikut duduk
9 ANJING GILA DI RUMAH HANTU“Lo tinggal di mana, Lo gak ada di kosan?” tanya Reno.“Bukan urusan Lo.”“Kenapa sih Lo suka kabur kaya anak kecil?”“Kenapa sih Lo enggak bunuh Gw aja sekalian biar Lo puas. Gw benci banget sama Lo, sama orang tua Lo, sama adik-adik Lo. Gw enggak pernah merasa sebenci ini sama orang.”“Lo pikir Gw senang dengan kehadiran Lo di keluarga Gw?”“Ya udah kalau emang Lo benci, Lo enggak usah bersikap sok peduli sama Gw. Gak usah sok jadi anak penurut deh Lo. Gw benci sama sikap Lo, Gw benci dengar suara Lo, Gw benci lihat muka Lo.”“Udah puas Lo maki-maki Gw?”“Belum! Gw benci semua cewek memuja Lo seolah Lo pangeran dari negeri dongeng. Lo bahkan enggak pernah ngerasain setengah dari penderitaan Gw. Kalau Lo perempuan mungkin kita udah saling jambak dan cakar. Kaya a
10 KETIDURAN“Lo enggak apa-apa?”“Lo buta apa, enggak lihat Gw muntah-muntah. Kenapa sih Lo selalu nanya 'Lo enggak apa-apa?' Enggak mungkin lah Gw enggak apa-apa selama masih ada kalian.”“Enggak bisa apa Lo ngomong lebih lembut?”Aku membasuh mukaku dengan air mineral, tidak menghiraukan perkataannya. Memangnya kenapa aku harus berkata lembut padanya? Memangnya dia siapa? Orang penting?Memangnya dia yang memberiku makan? Yang menyekolahkan aku? Dia hanya orang yang tidak aku harapkan yang tiba-tiba hadir dalam kehidupanku ini.Hidup yang tadinya tenang kini menjadi kusam karena mereka. Aku ingin kehidupanku yang kembali normal seperti dulu, sebelum kehadiran mereka.Belajar, kuliah, bekerja ....Menghabiskan waktuku tanpa memikirkan dan memendam rasa kesal.Aku merasa seperti dipermainkan. Takdir sangat tidak adil untukku. Di saat menjalani keadaan ini seorang dir
11 TERTANGKAP BASAH “Rana, tiga hari lagi kan kamu ulang tahun. Kamu mau hadiah apa? Apa mau dirayakan bersama teman-teman Kamu? Bilang aja!” kata pria itu. “Gw ditinggal sama orang yang saat itu gw anggap ayah saat ulang tahun yang keempat. Apa gw masih punya niat untuk merayakannya? Seharusnya malah berkabung.” Selama ini aku memang tidak pernah merayakan hari ulang tahunku. Aku bahkan sudah melupakannya. Pria itu terdiam mendengar perkataanku, tatapan matanya kosong, mungkin saja dia mengingat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Saat seorang anak yang seharusnya merasa bahagia merayakan ulang tahunnya bersama kedua orang tuanya, namun hari tersebut menjadi penuh air mata antara ibu dan anak. Sang kepala rumah tangga pergi dan tak kembali. *** Di ruang klub seni. “Ini lukisan apaan sih Ra?” pertanyaan Dito menyadarkan aku dari lamunanku. “Hmmm ... itu, benang kusut.”
12 MENGINAP Aku langsung ke ruang kerja papanya. Ruang kerja itu lebih mirip perpustakaan. Deretan rak-rak buku tersusun rapih. Tidak begitu sulit menemukan buku yang dimaksud, karena susunannya memang seperti di perpustakaan. Setelah mengambil buku itu aku melihat album foto tua. Aku penasaran ingin melihatnya. Bagaimana papanya Reno (ayahku) di masa mudanya. Sepertinya ini foto dia bersama teman-temannya saat masih kecil. Foto anak SD, SMP dan SMA. Mataku terpana pada beberapa lembar foto. Di situ ada beberapa orang pria dan wanita. Dua wanita diantaranya (setengah yakin dan setengah ragu) adalah ibuku dan ibunya Reno. Foto yang lain menunjukkan mereka berdua dan papa Reno. Foto berikutnya ada seorang pria, dan dilembar-lembar yang lain juga mereka bersama temannya yang lain. Aku langsung menutup album foto itu dan meletakkannya di tempat semula. Tidak lagi berniat untuk melihat foto selanjutnya. Jadi ibuku dan mamanya Reno meman
13 JALAN-JALAN “Enggak juga tuh. Kata siapa Gw sempurna. Gw besar di rumah yatim-piatu. Ibu Gw meninggal sejak Gw masih kecil, dan bokap Gw ... kabur! Gw sering keluar masuk panti asuhan yang berbeda. Jadi pengamen, sering dikejar-kejar satpol PP. Gw enggak ingat muka ayah Gw kaya gimana, enggak punya fotonya. Bahkan enggak pernah tau namanya. Gw sedikit ingat muka ibu Gw, waktu dia nangis di depan pintu rumah saat suaminya pergi. Gw enggak pernah punya barang mewah, walaupun cuma dalam mimpi. Jadi, pas Gw punya barang mewah, langsung dikira simpanan om-om. Itulah, resiko yang harus Gw jalani. Sering dipandang rendah orang, bertahun-tahun, mungkin seumur hidup. Ada saatnya dimana Gw mikir kalau Gw bakalan susah nikah. Karena Gw enggak mau ngalamin hal yang sama kaya ibu Gw. Kalau suatu saat nanti Gw nikah, mungkin harus yang punya nasib sama kaya Gw, biar Kami bisa saling mengerti.” “Kok Lo ngomongnya gitu sih Ran?” tanya Reva ingin menangis. “T
14 TERLUKA Reva pulang bersama Dito, sedangkan aku bersama Reno. HP ku dan Reno berbunyi. Reva dan Dito mengirim foto padaku (mungkin juga pada Reno). Aku melihat Reno yang senyum-senyum sendiri. Dasar sarap! Tanpa sadar aku juga tersenyum melihat foto yang dikirim Reva. “Lo kenapa sih senyum-senyum sendiri?” tanya Reno. “Lah, Lo aja senyum-senyum sendiri. Enggak nyadar apa Lo?” kataku. Dito juga mengirimiku pesan singkat. [Coba deh Lo lihat, difoto itu Lo kelihatan senang banget Ran, dan Lo kelihatan tambah manis. Sering-sering ya kita jalan-jalan, biar Lo tambah senang!] Senyumku semakin melebar membaca kata-katanya. Perhatianku yang terus tertuju pada ponsel membuat perjalanan yang jauh ini terasa singkat. Kami turun dari taksi. “Gw mau ke minimarket dulu,” kataku. “Sini Gw temani.” “Dah enggak usah.” “Eh ini tuh udah malam. Akhir-akhir ini di sini t
15 DI ANTARA DUA PILIHAN Dosen pembimbing memanggilku, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Aku rasa sesuatu yang akan dibicarakan itu bukan hal yang menyenangkan. Aku mengatur nafas sebelum mengetok pintu, dan berharap semuanya akan tetap berjalan lancar. Pak Alex menatapku sebelum akhirnya memulai pembicaraan. Dia membolak-balik kertas-kertas yangvada di hadapannya, dan aku dapat melihat di situ tertera namaku. “Rana, kenapa akhir-akhir ini nilai-nilai Kamu tidak begitu memuaskan seperti biasanya? Absen kamu juga banyak yang kosong. Saya tahu, ini bukan hal yang gampang. Tapi Kamu harus hati-hati, kalau Kamu masih menganggap penting beasiswa ini, kamu harus berusaha lebih keras lagi, bahkan lebih baik dari yang sebelumnya. Oya, mengenai tawaran kuliah di luar negeri, jangan lupa untuk dipertimbangkan baik-baik. Yang bapak tahu, kamu dulu juga berencana untuk kuliah di luar negeri, kan? Mulai sekarang, saya tidak mau lagi melihat nilai dan