Beranda / Rumah Tangga / DIA BUKAN BAPAKKU / Memberi tempat tinggal

Share

Memberi tempat tinggal

Penulis: KARTIKA DEKA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-06 00:43:25

Sampai di rumah, Farah merasa lega karena tak melihat Hadi. Dia berharap, Hadi tak datang lagi. Dia benar-benar sangat takut, apalagi dirinya memiliki anak perempuan.

Setelah Yusuf membuka pintu, Yusuf membimbing istrinya dengan penuh kasih sayang. Kamu istirahat di kamar aja ya,” katanya dengan lembut. 

Baru lagi mereka setengah perjalanan ke kamar, terdengar suara Rundiah mengucap salam. 

“Assalamualaikum.” 

Yusuf dan Farah menoleh. Seketika raut wajah Farah kembali tegang, ternyata Rundiah datang bersama Hadi. Tubuhnya kembali gemetar dan lemas. Yusuf menyadari hal itu, dan langsung merengkuh bahu Farah ke dalam pelukannya. 

“Waalaikumsalam. Duduk, Bu,” kata Yusuf ramah. “Saya antar dulu Farah ke dalam ya, Bu.” 

“Farah sakit apa?” tanya Rundiah. 

“Tekanan darahnya rendah, Bu,” jawab Yusuf. 

Yusuf segera membawa Farah masuk ke kamarnya. Setelah membantu Farah berbaring dan menyelimuti tubuh Farah hingga ke dada, Yusuf mengusap pelan dahi istrinya yang berkeringat. 

“Percaya sama Abang. Abang nggak mungkin, membuat kamu sedih lagi. Insha Allah, Bapak sudah berubah. Abang cuma nggak mau, kamu menjadi anak yang durhaka. Abang juga akan ikut berdosa kalau tidak menasehati kamu,” kata Yusuf. 

Farah tak bisa berkata-kata lagi. Dia tak tahu, bagaimana cara menentang Yusuf. Apa yang Yusuf katakan memang benar, tetapi kesalahan yang bapaknya lakukan sangat mengerikan. 

“Abang keluar dulu ya, kamu istirahat dulu,” kata Yusuf. Farah diam saja. Dia sebenarnya kecewa pada Yusuf, tetapi dia tak tau harus bagaimana menyampaikannya pada suaminya itu. 

Yusuf keluar dari kamar dan menutup pintu kamar dengan rapat. Lelaki berwajah teduh itu langsung menemui Rundiah dan Hadi yang menunggu di ruang tamu. 

“Gimana Farah, Nak Yusuf?” tanya Rundiah. 

“Sudah tidur, Bu,” jawab Yusuf berbohong. Dia sendiri tak yakin, istrinya bisa tidur atau tidak. 

“Nak, tadi Ibu lihat Nisma mengusir Pak Hadi dari rumah ini. Katanya, Pak Hadi ini, bapaknya Nisma juga Farah. Tapi kenapa Nisma malah mengusirnya?” 

Yusuf menarik napas pelan. Ia duduk di hadapan Rundiah, sementara Hadi masih tertunduk lesu di ujung sofa, tak berani menatap siapapun. Ia tahu cepat atau lambat akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti ini.

“Bu Rundiah,” ucap Yusuf membuka suara. “Sebenarnya ini masalah keluarga yang sangat rumit. Saya nggak bisa cerita terlalu banyak … tapi yang jelas, ada hal buruk di masa lalu yang membuat Nisma dan Farah sangat membenci Bapak.”

Rundiah mengangguk pelan, wajahnya berubah prihatin dan sepertinya mengerti kalau dia tak boleh mengulik terlalu dalam soal pribadi keluarga itu. 

“Ibu tidak ingin ikut campur urusan keluarga kalian. Ibu hanya kasihan lihat Pak Hadi. Tapi, kalau memang pernah ada kesalahan besar, ya Ibu juga bisa ngerti.”

Hadi akhirnya bersuara. Suaranya lirih, namun cukup jelas untuk membuat orang yang ada di ruangan itu mendengarnya.

“Saya nggak akan membela diri, Bu. Memang saya salah. Saya pernah khilaf, dan saya sadar itu dosa yang sangat besar. Tapi saya datang ke sini bukan untuk minta dimaafkan sekarang. Saya cuma mau minta sedikit kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Saya tahu, anak-anak saya sangat sulit memaafkan perbuatan saya di masa lalu.”

Rundiah menatap Hadi dalam diam. Ia tahu, tak mudah bagi seorang lelaki seusia Hadi untuk mengakui kesalahan di depan banyak orang. Biasanya laki-laki seusia Hadi, egonya sedang tinggi dan selalu ingin dihormati. 

“Pak, Bapak harus sabar sama Nisma juga Farah. Luka di hati Farah dan Nisma itu dalam sekali. Butuh waktu. Bahkan mungkin, butuh seumur hidup,” kata Yusuf.

Hadi menunduk, air matanya kembali menetes. “Bapak rela menunggu lama asal mereka mau memaafkan Bapak. Bapak terus saja dihantui rasa bersalah. Dipenjara, tak bisa menghapus rasa bersalah Bapak sama mereka. Bapak cuma ingin bisa melihat kalian dari jauh. Melihat kalian bahagia, itu sudah cukup.”

Rundiah yang mendengar pembicaraan itu semakin penasaran. Apa sebenarnya kesalahan fatal yang sudah dilakukan oleh Hadi sampai anak-anaknya sulit untuk memaafkan, apalagi sampai Hadi dipenjara? Namun, dia belum berani bertanya terlalu dalam, apalagi pada dasarnya Rundiah memang suka mau tahu urusan orang lain. 

“Kalau begitu, Pak,” lanjut Yusuf pelan, “Untuk sementara … tinggal saja di mushola. Nanti saya bantu bicara ke pengurusnya. Jangan dulu dulu rumah ini, jangan dulu temui Farah. Beri mereka waktu.”

Hadi mengangguk. “Terima kasih, Nak Yusuf. Bapak terima.”

Ya, Hadi tak ada pilihan lain, daripada dia menggelandang di jalanan tanpa arah tujuan. 

Rundiah tersenyum tipis, lega melihat ada titik tengah di antara keretakan itu. 

“Alhamdulillah … semoga semua bisa membaik ya, Nak. Yang sabar ya, Pak Hadi. Nanti di mushola, Pak Hadi bisa bantu-bantu bersihin mushola,” kata Rundiah. 

Setelah beberapa saat berbincang, Rundiah pamit pulang.

“Mari, Pak, saya antar ke mushola,” ajak Yusuf. 

Hadi bangkit dari duduknya. 

Kedua lelaki berbeda usia itu berangkat dengan jalan kaki ke mushola yang tak seberapa jauh dari rumah Yusuf. 

Sampai di mushola, Yusuf langsung menemui pengurus mushola yang kebetulan rumahnya ada di sebelah mushola. 

“Assalamualaikum.” Yusuf mengucap salam. Kebetulan rumah itu pintunya terbuka. 

“Waalaikumsalam.” Terdengar suara sahutan dari dalam. 

Seorang laki-laki paruh baya memakai baju koko juga sarung keluar dari dalam rumah. Dia Imran, pengurus mushola. 

“Eh, Yusuf rupanya. Masuk-masuk,” ajak Imran dengan ramah. 

“Terima kasih, Pak,” kata Yusuf. 

Yusuf mengajak Hadi masuk ke rumah Imran. 

“Mi, buatkan teh,” kata Imran pada istrinya. 

“Tak usah, Pak. Saya hanya sebentar,” kata Yusuf. 

“Tanggung. Sudah mau Maghrib,” kata Imran. 

“Saya belum mandi, Pak, dari pulang kerja tadi,” alasan Yusuf. 

“Oh, begitu. Apa cerita?” tanya Imran.

“Begini, Pak. Kenalkan, ini mertua saya,” kata Yusuf memperkenalkan Hadi. 

“Oh, ini mertua Yusuf. Baru ini datang ya,” kata Imran dengan ramah sambil menyalami Hadi. Hadi menyambut tangan Imran. 

“Saya mau minta izin, sementara ini, mertua saya boleh tinggal di mushola?” tanya Yusuf.

Dahi Imran mengernyit. Menurutnya rumah Yusuf tak terlalu kecil untuk menampung Hadi. Meski rumah minimalis, tetapi ada dua kamar. Kalaupun tak ada kamar, kalau yang menginap laki-laki tak perlu ruangan yang khusus.

“Saya lebih suka tinggal di mushola, Pak. Saya yang minta Yusuf mengantar saya kesini,” kata Hadi yang sepertinya mengerti kalau Imran bingung kenapa dia malah tinggal di mushola. 

“Oh, begitu. Ya sudah, tak ada masalah. Tapi ya begitu, Pak. Kalau di mushola, belum tentu bisa tenang. Apalagi habis Maghrib, sampai nanti habis Isya, sampai jam sepuluh malam, anak-anak belajar mengaji. Belum lagi ada kegiatan remaja nanti,” kata Imran menjelaskan agar Hadi bisa mengerti. 

“Nggak papa, Pak. Nggak ada masalah,” kata Hadi. Dia senang akhirnya bisa mendapat tempat tinggal yang tak jauh dari rumah anaknya. 

“Selama ini Bapak tinggal dimana?” tanya Imran membuat Hadi menelan ludah. 

~~~~~~

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Memberi tempat tinggal

    Sampai di rumah, Farah merasa lega karena tak melihat Hadi. Dia berharap, Hadi tak datang lagi. Dia benar-benar sangat takut, apalagi dirinya memiliki anak perempuan.Setelah Yusuf membuka pintu, Yusuf membimbing istrinya dengan penuh kasih sayang. Kamu istirahat di kamar aja ya,” katanya dengan lembut. Baru lagi mereka setengah perjalanan ke kamar, terdengar suara Rundiah mengucap salam. “Assalamualaikum.” Yusuf dan Farah menoleh. Seketika raut wajah Farah kembali tegang, ternyata Rundiah datang bersama Hadi. Tubuhnya kembali gemetar dan lemas. Yusuf menyadari hal itu, dan langsung merengkuh bahu Farah ke dalam pelukannya. “Waalaikumsalam. Duduk, Bu,” kata Yusuf ramah. “Saya antar dulu Farah ke dalam ya, Bu.” “Farah sakit apa?” tanya Rundiah. “Tekanan darahnya rendah, Bu,” jawab Yusuf. Yusuf segera membawa Farah masuk ke kamarnya. Setelah membantu Farah berbaring dan menyelimuti tubuh Farah hingga ke dada, Yusuf mengusap pelan dahi istrinya yang berkeringat. “Percaya sama Aba

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Jangan sampai menyesal

    Nisma tetap mengunci rumah Yusuf. Dia tak peduli dengan Hadi yang masih diam mematung di depan rumah. Hadi juga tak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan Rundiah dan tetangga yang melihat kejadian itu. Nisma tak peduli dengan tatapan mereka yang menganggapnya anak durhaka. Apa tanggapan mereka akan tetap sama, kalau mereka tau, siapa Hadi sebenarnya?Wanita cantik itu masuk ke mobil, menyusul Tegar yang sudah lebih dulu masuk. Setelah itu, mobil melaju meninggalkan rumah Yusuf. “Pokoknya, kamu jangan bawa bapakmu itu pulang ke rumah kita,” kata Tegar dengan tegas. Nisma mengangguk, tanpa diminta, dia pasti akan melakukan itu. “Jangan sampai, Ibu sama Bapak tahu tentang dia. Kamu tahu kan, bagaimana reaksi Ibu nanti kalau sampai dia tahu,” kata Tegar lagi. Lagi, Nisma hanya menjawab dengan anggukan. Hubungannya dengan ibu mertuanya memang tak begitu baik. Sejak awal, mertuanya tak merestui mereka. Dulunya, Nisma adalah salah satu karyawan di warung bakso milik keluarga Tegar. Ya,

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Tak ada yang inginkan dia

    “Terserah! Asal jangan tinggal sama kami!” tegas Nisma dengan suara yang meninggi.Hadi tetap tak beranjak. Hanya Yusuf yang mau menerima kehadirannya. Dia tak ada uang, mau kemana dia pergi? Kemarin ada petugas lapas yang kasihan dan memberi ongkos padanya. Dia bertanya kesana kemari, mencari alamat anak-anaknya yang ternyata cukup jauh dari tempat tinggalnya. Hadi terpaksa meminta-minta agar ada uang untuk ongkos ke rumah Farah. Tak mungkin dia pergi begitu saja setelah menemukannya. Nisma mulai tak sabar, dengan kasar, dia mendorong Hadi, hingga Hadi mundur ke belakang. Wanita cantik itu juga dengan tanpa belas kasihan pada orang tua itu, menarik tangan Hadi hingga ke pintu rumah dan mendorongnya keluar, hingga Hadi jatuh ke tanah dengan posisi terduduk. Ternyata apa yang dilakukan oleh Nisma mengundang perhatian para tetangga yang tadi kebetulan melihat Farah dibawa ke klinik. Mereka semua tercengang melihat kejadian itu. Keluarga Yusuf selama ini terkenal adem ayem saja. Tak p

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Kejam

    Setelah Tegar dan Yusuf membawa Farah ke klinik tak jauh dari rumah Yusuf, Nisma langsung beraksi. Dia mengusir Hadi dari rumah Farah. “Jangan pernah datang lagi di kehidupan kami!” hardiknya pada orang yang harusnya dia hormati. Jari telunjuknya diacungkan ke wajah Hadi, menandakan dia tak main-main dengan apa yang diucapkan. Ada da rah Hadi yang mengalir di tubuhnya, dan itu membuatnya benci harus lahir dari benih laki-laki di hadapannya. Seandainya cuci da rah bisa mengubahnya, dia pasti sudah melakukan hal itu sejak lama. “Bapak mau kemana, Nisma?” tanya Hadi dengan suara gemetar. Sorot matanya seperti menginginkan belas kasih dari anaknya. “Terserah!” pekik Nisma. “Yang penting jangan pernah lagi muncul dihadapan kami!” Nisma sama sekali tak memiliki belas kasihan pada Hadi. Melihat raut wajah Hadi, tentu akan membuat banyak orang merasa kasihan. Hadi tetap bertahan, tak mau keluar dari rumah Yusuf. Susah payah dia mencari alamat Farah, dan setelah ketemu, tak mungkin dia p

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Trauma itu kembali

    Saat Lila akan menyalami Hadi, tiba-tiba saja Farah menarik tangannya dan segera menggendong Lila masuk ke dalam rumah. Yusuf sangat terkejut melihat reaksi Farah. Sementara Hadi hanya bisa terpaku di tempatnya.“Pak, masuk dulu. Nanti saya bicara sama Farah,” kata Yusuf mempersilahkan Hadi masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu sederhana, tetapi sangat nyaman juga bersih. Yusuf mempersilahkan Hadi duduk di ruang tamu, sementara dia ke kamar menyusul Farah. Hati-hati dia membuka pintu kamar. Sampai di kamar, Farah langsung memberondongnya. “Kenapa Abang bawa dia kesini?!” tanya Farah dengan ketus.Yusuf tau, istrinya sedang marah. Kalau sudah begini, seperti apapun dilayani hanya akan semakin menyulut amarah Farah lebih besar lagi. “Lila di luar dulu ya, temani Kakek,” kata Yusuf pada Lila agar dia leluasa bicara dengan istrinya. “Nggak!” tolak Farah tegas. Dia melarang anaknya keluar apalagi menemani laki-laki yang harusnya dipanggil bapak olehnya. Yusuf sangat terkejut. Baru kali

  • DIA BUKAN BAPAKKU   Buat apa dia datang?

    Farah terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi wajahnya. Sudah lama dia tak bermimpi buruk, tetapi beberapa hari ini, mimpi itu datang lagi. Wanita itu bangun, dan mengusap wajahnya yang berkeringat. Dilihatnya wajah suaminya yang tidur lelap di sampingnya. Suara nafasnya yang menderu masih terdengar. Dadanya masih bergerak naik turun dengan cepat. Mimpi itu sangat menakutkan. Tepatnya bukan mimpi, tetapi peristiwa yang pernah dia alami sewaktu kecil dan selalu menghantui. Seperti bayangan yang tak mau berlalu, selalu mengikuti kemanapun dia pergi. Sudah sangat lama, dia bisa tidur nyenyak karena mimpi itu tak pernah datang lagi. Tetapi, dia sendiri tak tahu, kenapa sekarang mimpi itu kembali menghantui.~~~~~~Mendengar ada yang mengetuk pintu rumahnya, Farah yang sedang menyuapi anak sulungnya yang masih berusia tujuh tahun, segera buru-buru membuka pintu. Dia mengira suaminya Yusuf yang pulang bekerja. Wanita cantik itu memasang senyum manis di wajahnya untuk menyambu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status