Nisma tetap mengunci rumah Yusuf. Dia tak peduli dengan Hadi yang masih diam mematung di depan rumah. Hadi juga tak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan Rundiah dan tetangga yang melihat kejadian itu. Nisma tak peduli dengan tatapan mereka yang menganggapnya anak durhaka. Apa tanggapan mereka akan tetap sama, kalau mereka tau, siapa Hadi sebenarnya?
Wanita cantik itu masuk ke mobil, menyusul Tegar yang sudah lebih dulu masuk. Setelah itu, mobil melaju meninggalkan rumah Yusuf. “Pokoknya, kamu jangan bawa bapakmu itu pulang ke rumah kita,” kata Tegar dengan tegas. Nisma mengangguk, tanpa diminta, dia pasti akan melakukan itu. “Jangan sampai, Ibu sama Bapak tahu tentang dia. Kamu tahu kan, bagaimana reaksi Ibu nanti kalau sampai dia tahu,” kata Tegar lagi. Lagi, Nisma hanya menjawab dengan anggukan. Hubungannya dengan ibu mertuanya memang tak begitu baik. Sejak awal, mertuanya tak merestui mereka. Dulunya, Nisma adalah salah satu karyawan di warung bakso milik keluarga Tegar. Ya, keluarga Tegar memiliki warung bakso yang cukup ramai dan mempunyai beberapa cabang. Mereka bisa dibilang pengusaha bakso yang sangat sukses. Ibu Tegar dan bapaknya berasal dari kota Malang. Mereka merantau ke Medan, sejak baru menikah. Tegar sendiri, lahir di kota Medan dan merupakan anak tunggal yang mewarisi semua warung bakso milik orang tuanya. Mertuanya merasa Nisma dulu tak selevel dengan mereka. Apalagi dia mengenalkan diri sebagai anak yatim piatu. Memang ada kerabatnya, tetapi rata-rata kehidupan mereka dengan ekonomi menengah ke bawah. Hingga mertuanya hanya memandang sebelah mata. Namun, Tegar sudah terlanjur mencintai Nisma. Hingga terpaksa menerima Nisma menjadi menantu. Kebersamaan mereka cukup lama, dari sejak Nisma remaja sudah mulai bekerja di warung bakso itu, hingga akhirnya dinikahi oleh Tegar. Akan tetapi, Nisma memang dituntut harus menjadi istri yang sangat menurut. Dia tak bisa mengambil keputusan tanpa disetujui oleh Tegar. Namun begitu, Tegar memang cukup memanjakan Nisma dengan materi. Meski hubungannya tak begitu baik dengan mertua, tetapi mereka tak pernah ribut atau berselisih faham. Hanya saja hubungannya tak akrab. Hanya Tegar, yang mengetahui kisah kelam masa lalu Nisma. Nisma menceritakan semua pada Tegar, saat Tegar menyatakan keseriusannya pada Nisma. Nisma tak ingin, Tegar mendengar dari orang lain suatu hari nanti, atau Tegar akan berpikir negatif, bila mendapati Nisma bukan seorang gadis yang utuh lagi. Mobil yang dibawa Tegar akhirnya masuk ke pelataran parkir klinik tempat Farah dirawat. Klinik itu tak seberapa jauh dari rumah Yusuf. Tegar membawa Nisma masuk ke ruangan tempat Farah dirawat. “Kak,” tegur Nisma ketika masuk ke ruangan yang tak seberapa besar itu. Farah dan Yusuf langsung melihatnya. “Kakak nggak papa?” Farah menggeleng lemah. Dia masih sangat lemas, meski dokter praktek yang memeriksanya mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan, bahkan Farah bisa langsung dibawa pulang. “Bang, kenapa Abang biarin dia tetap di rumah? Bahaya, Bang,” kata Nisma tanpa basa basi pada Yusuf. Yusuf juga mengetahui kisah kelam yang dialami istri juga adik iparnya itu. Tak ada yang ditutupi oleh Farah. Sama seperti Nisma, Farah juga tak mau nanti pasangannya mengira ditipu kalau dia tidak menceritakan hal yang sebenarnya. “Nisma, peristiwa itu sudah sangat lama. Lima belas tahun Bapak dipenjara, Abang yakin Bapak pasti sudah berubah. Kasihan dia,” kata Yusuf yang mencoba memberi pengertian pada adik iparnya. “Tapi, Bang, dia itu bukan manusia. Bahkan dia lebih rendah dari binatang!” pungkas Nisma dengan wajah geram. Yusuf berbeda dari Tegar yang tak menerima kehadiran Hadi. Hal ini tentu menjadi dilema bagi Farah. Dia tak mau bertemu bapaknya lagi, tetapi suaminya justru membawa bapaknya masuk ke dalam rumah mereka. “Itu kan, dulu. Setiap manusia, pasti pernah berbuat salah. Termasuk Bapak. Kita juga pasti pernah berbuat salah. Tak ada salahnya kita kasih Bapak kesempatan. Tak ada yang tau umur manusia, siapa tau waktu Bapak tak lama lagi di dunia. Biarkan dia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tugas kita sebagai anak, hanya berbakti saja,” nasehat Yusuf. Nisma sebenarnya sangat kesal, apalagi dia melihat wajah Farah yang pasrah. Yusuf sejak tadi sudah menasehati Farah agar mau menerima bapaknya dan meyakinkan Farah, kalau bapaknya tak akan lagi berani berbuat hal yang seperti dulu lagi. “Terserah Abang aja lah. Asal nanti jangan menyesal. Yang penting, aku sudah memperingatkan,” kata Nisma yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. “Kalau Bapak membuat ulah lagi, Abang pasti akan memintanya pergi,” kata Yusuf. Nisma menghela nafas. “Asal jangan jadi penyesalan, Bang. Abang udah berani masukkan ular ke dalam rumah, artinya Abang siap dipatuk.” Yusuf tertegun mendengar ucapan Farah yang seperti sebuah peringatan baginya. Hal itu membuat Yusuf sedikit ragu, apakah dia sudah benar membiarkan Hadi tinggal bersama mereka. Nisma mendekati kakaknya dan memeluk kakaknya itu sangat erat. Dia ingat kembali, bagaimana mereka berdua berpelukan seperti ini, saat akhirnya peristiwa itu terkuak. “Kakak yang kuat ya. Kalau dia berani lagi, lawan dia. Jangan diam seperti dulu. Segera hubungi aku ya,” pesannya dengan air mata yang mengalir. Farah hanya bisa menangis sambil menganggukkan kepala. Nisma mengurai pelukannya. Sebelum menghapus air matanya, dia terlebih dulu menghapus air mata kakaknya. Kakaknya yang berhati lembut kini harus terpaksa satu rumah dengan orang yang hampir menghancurkan masa depan mereka. “Aku pulang ya. Call kalau ada apa-apa,” katanya lagi. Lagi, Farah hanya bisa mengangguk. Dia tak tahu harus mengatakan apalagi. Kehadiran Hadi, membuat rasa takut kembali membelenggu dirinya. ~~~~~~Sampai di rumah, Farah merasa lega karena tak melihat Hadi. Dia berharap, Hadi tak datang lagi. Dia benar-benar sangat takut, apalagi dirinya memiliki anak perempuan.Setelah Yusuf membuka pintu, Yusuf membimbing istrinya dengan penuh kasih sayang. Kamu istirahat di kamar aja ya,” katanya dengan lembut. Baru lagi mereka setengah perjalanan ke kamar, terdengar suara Rundiah mengucap salam. “Assalamualaikum.” Yusuf dan Farah menoleh. Seketika raut wajah Farah kembali tegang, ternyata Rundiah datang bersama Hadi. Tubuhnya kembali gemetar dan lemas. Yusuf menyadari hal itu, dan langsung merengkuh bahu Farah ke dalam pelukannya. “Waalaikumsalam. Duduk, Bu,” kata Yusuf ramah. “Saya antar dulu Farah ke dalam ya, Bu.” “Farah sakit apa?” tanya Rundiah. “Tekanan darahnya rendah, Bu,” jawab Yusuf. Yusuf segera membawa Farah masuk ke kamarnya. Setelah membantu Farah berbaring dan menyelimuti tubuh Farah hingga ke dada, Yusuf mengusap pelan dahi istrinya yang berkeringat. “Percaya sama Aba
Nisma tetap mengunci rumah Yusuf. Dia tak peduli dengan Hadi yang masih diam mematung di depan rumah. Hadi juga tak bisa berbuat banyak. Begitu juga dengan Rundiah dan tetangga yang melihat kejadian itu. Nisma tak peduli dengan tatapan mereka yang menganggapnya anak durhaka. Apa tanggapan mereka akan tetap sama, kalau mereka tau, siapa Hadi sebenarnya?Wanita cantik itu masuk ke mobil, menyusul Tegar yang sudah lebih dulu masuk. Setelah itu, mobil melaju meninggalkan rumah Yusuf. “Pokoknya, kamu jangan bawa bapakmu itu pulang ke rumah kita,” kata Tegar dengan tegas. Nisma mengangguk, tanpa diminta, dia pasti akan melakukan itu. “Jangan sampai, Ibu sama Bapak tahu tentang dia. Kamu tahu kan, bagaimana reaksi Ibu nanti kalau sampai dia tahu,” kata Tegar lagi. Lagi, Nisma hanya menjawab dengan anggukan. Hubungannya dengan ibu mertuanya memang tak begitu baik. Sejak awal, mertuanya tak merestui mereka. Dulunya, Nisma adalah salah satu karyawan di warung bakso milik keluarga Tegar. Ya,
“Terserah! Asal jangan tinggal sama kami!” tegas Nisma dengan suara yang meninggi.Hadi tetap tak beranjak. Hanya Yusuf yang mau menerima kehadirannya. Dia tak ada uang, mau kemana dia pergi? Kemarin ada petugas lapas yang kasihan dan memberi ongkos padanya. Dia bertanya kesana kemari, mencari alamat anak-anaknya yang ternyata cukup jauh dari tempat tinggalnya. Hadi terpaksa meminta-minta agar ada uang untuk ongkos ke rumah Farah. Tak mungkin dia pergi begitu saja setelah menemukannya. Nisma mulai tak sabar, dengan kasar, dia mendorong Hadi, hingga Hadi mundur ke belakang. Wanita cantik itu juga dengan tanpa belas kasihan pada orang tua itu, menarik tangan Hadi hingga ke pintu rumah dan mendorongnya keluar, hingga Hadi jatuh ke tanah dengan posisi terduduk. Ternyata apa yang dilakukan oleh Nisma mengundang perhatian para tetangga yang tadi kebetulan melihat Farah dibawa ke klinik. Mereka semua tercengang melihat kejadian itu. Keluarga Yusuf selama ini terkenal adem ayem saja. Tak p
Setelah Tegar dan Yusuf membawa Farah ke klinik tak jauh dari rumah Yusuf, Nisma langsung beraksi. Dia mengusir Hadi dari rumah Farah. “Jangan pernah datang lagi di kehidupan kami!” hardiknya pada orang yang harusnya dia hormati. Jari telunjuknya diacungkan ke wajah Hadi, menandakan dia tak main-main dengan apa yang diucapkan. Ada da rah Hadi yang mengalir di tubuhnya, dan itu membuatnya benci harus lahir dari benih laki-laki di hadapannya. Seandainya cuci da rah bisa mengubahnya, dia pasti sudah melakukan hal itu sejak lama. “Bapak mau kemana, Nisma?” tanya Hadi dengan suara gemetar. Sorot matanya seperti menginginkan belas kasih dari anaknya. “Terserah!” pekik Nisma. “Yang penting jangan pernah lagi muncul dihadapan kami!” Nisma sama sekali tak memiliki belas kasihan pada Hadi. Melihat raut wajah Hadi, tentu akan membuat banyak orang merasa kasihan. Hadi tetap bertahan, tak mau keluar dari rumah Yusuf. Susah payah dia mencari alamat Farah, dan setelah ketemu, tak mungkin dia p
Saat Lila akan menyalami Hadi, tiba-tiba saja Farah menarik tangannya dan segera menggendong Lila masuk ke dalam rumah. Yusuf sangat terkejut melihat reaksi Farah. Sementara Hadi hanya bisa terpaku di tempatnya.“Pak, masuk dulu. Nanti saya bicara sama Farah,” kata Yusuf mempersilahkan Hadi masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu sederhana, tetapi sangat nyaman juga bersih. Yusuf mempersilahkan Hadi duduk di ruang tamu, sementara dia ke kamar menyusul Farah. Hati-hati dia membuka pintu kamar. Sampai di kamar, Farah langsung memberondongnya. “Kenapa Abang bawa dia kesini?!” tanya Farah dengan ketus.Yusuf tau, istrinya sedang marah. Kalau sudah begini, seperti apapun dilayani hanya akan semakin menyulut amarah Farah lebih besar lagi. “Lila di luar dulu ya, temani Kakek,” kata Yusuf pada Lila agar dia leluasa bicara dengan istrinya. “Nggak!” tolak Farah tegas. Dia melarang anaknya keluar apalagi menemani laki-laki yang harusnya dipanggil bapak olehnya. Yusuf sangat terkejut. Baru kali
Farah terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi wajahnya. Sudah lama dia tak bermimpi buruk, tetapi beberapa hari ini, mimpi itu datang lagi. Wanita itu bangun, dan mengusap wajahnya yang berkeringat. Dilihatnya wajah suaminya yang tidur lelap di sampingnya. Suara nafasnya yang menderu masih terdengar. Dadanya masih bergerak naik turun dengan cepat. Mimpi itu sangat menakutkan. Tepatnya bukan mimpi, tetapi peristiwa yang pernah dia alami sewaktu kecil dan selalu menghantui. Seperti bayangan yang tak mau berlalu, selalu mengikuti kemanapun dia pergi. Sudah sangat lama, dia bisa tidur nyenyak karena mimpi itu tak pernah datang lagi. Tetapi, dia sendiri tak tahu, kenapa sekarang mimpi itu kembali menghantui.~~~~~~Mendengar ada yang mengetuk pintu rumahnya, Farah yang sedang menyuapi anak sulungnya yang masih berusia tujuh tahun, segera buru-buru membuka pintu. Dia mengira suaminya Yusuf yang pulang bekerja. Wanita cantik itu memasang senyum manis di wajahnya untuk menyambu