"Mi, Siapa tadi yang kedengaran nangis?" Betari yang baru saja bangun turun dari kamarnya dan mendekati diri ini yang masih duduk di ruang makan.
Kaget yang melanda hati membuatku tidak fokus dan lupa apa yang harus kukerjakan, biasanya rutinitasku di pagi hari cukup padat, mulai dari membersihkan rumah menyiapkan makanan dan menyiram tanaman. Tapi di sinilah aku sekarang, duduk menyendiri dan mencoba menata hatiku yang terus berdebar. Menanggapi kenyataan bahwa tiba-tiba seorang wanita cantik mencari suamiku dan mengaku sebagai kekasihnya, aku tak serta-merta menangis dan histeris, aku butuh penjelasan lebih logis dan konfirmasi ulang, apakah benar suamiku memang punya hubungan ataukah wanita itu hanya datang dan mengaku-ngaku demi merusak hubungan kami. Tapi, Jika dia memang seniat itu untuk merusak keluarga orang, apa keuntungannya? Mustahil dia berbohong apalagi sampai bersujud dan memelas menangis. Aku kasihan padanya, dalam konteks bagi wanita cantik dan terlihat berpendidikan dia rela menggadaikan dirinya demi rayuan dan cinta seorang pria paruh baya. Mas Hengki bukanlah lelaki yang masih muda, umurnya 48 tahun meski pria itu masih terlihat awet dan gagah. Aku terkejut, tapi aku harus memastikan Apakah kabar yang dibawa wanita itu benar atau salah. "Mi, kok umi diam saja. Tadi aku dengar ada yang nangis?. Apa anak tetangga berantem lagi sama suaminya?" "Engga sayang, itu cuman salah dengar." "Ga mungkin mi, kamar aku tepat berada di atas teras, aku bisa dengar dengan jelas. Apa Mbak Kiki anak tante Priska sedang berantem dengan suaminya?" "Mungkin juga, umi nggak dengar jelas karena lagi cuci piring," jawab memberi alasan padahal kejadian yang sebenarnya sangat mengerikan. Andai Betari menyaksikan kedatangan Cantika dia pasti akan menjambak dan memukuli wanita itu. Dia akan sedih jika ibunya disakiti apalagi dengan kehadiran wanita lain sebagai orang ketiga dalam keluarga kami. "Kalau gitu aku mandi dulu." "Oke." Dia yang punya jadwal sekolah di siang hari, terbiasa bangun siang di pagi hari karena butuh lebih banyak istirahat. Tugas sekolah dan les tambahan membuat pikiran dan tenaga anakku terkuras. Putri bungsuku itu cukup cantik, sekilas sedikit mirip dengan siluet wajah ayahnya yang mancung dan punya mata indah. Tapi kelebatan bayangan Mas Hengky bergantian dengan kelebatan wajah Cantika, Wanita itu sangat cocok dengan namanya, cantik serta menarik. * Pukul 09.00 Mas Hengky pulang. Sejak pagi, dia keluar dengan alasan mau olahraga, masih menggunakan training saat lelaki itu menyeret Cantika dan pergi entah kemana. Begitu dia kembali dan suasana rumah sudah sepi, aku tidak melewatkan waktu untuk segera bertanya pada suamiku. "Assalamualaikum." Aku tidak menjawab hanya kuperhatikan ekspresi wajahnya yang gugup dan tak nyaman. Lagi pula aku sakit hati padanya. "Wanita itu... Apa dia benar-benar pacarmu?" "Hmm, dia hanya salah satu dari pegawai magang yang tertarik padaku. Dia salah paham tentang kebaikanku. Kuharap kau tidak salah mengerti dan membuat hubungan kita rusak." "Aku tidak semudah itu untuk goyah dan merusak rumah tangga kita. Tapi, Kenapa wanita itu meraung dan terlihat begitu meyakinkan. Masihkah disebut naif dan bodoh jika aku mempercayaimu?" "Apakah pantas menyebut kepercayaan kepada suami sebagai kebodohan? Kenapa ucapanmu menyakitkan hati?" tanya Mas Hengki masakan izin memutarbalikkan kenyataan dan seolah aku tidak boleh bertanya padanya. "Mas... Aku tidak pernah meragukanmu selama ini. Tolong jujurlah, sejak kapan kau berkencan dengan wanita itu?" "Aa-aku ti-tidak...." "Cukup Mas!" Suamiku terdiam, dia nampak ingin berbohong tapi kebohongannya akan terlihat dengan ucapannya yang tergagap dan terpotong-potong. Aku tahu persis seperti apa ekspresinya saat dia tertangkap basah dan ketahuan belangnya. Aku masih berusaha tenang, meski sebenarnya aku ingin berteriak dan memecahkan seluruh perabot rumah. Siapa yang akan mengira kesetiaanku dinodai begitu saja oleh kedatangan gadis muda. "Sejak kapan kau bercinta dengannya? Saat kau menyentuhnya apa sama sekali tidak mengingatku? Jika iman mencegah dari perbuatan dosa, lalu kemanakah sisi religius yang selama ini selalu kau banggakan?" Pria itu terduduk di kursi makan dan mulutnya terbungkam.Melalui pengacara di mana aku sudah tak mau lagi bertemu dengan Mas hengki, aku menggugat perceraian dan meminta dia untuk membagikan harta gono gini dengan adil. sekalipun lelaki itu mati-matian ingin berjumpa denganku tapi aku tak sudi bertemu dengannya. tentang anak-anak aku tidak perlu mengkhawatirkannya karena mereka sudah dewasa dan bisa menentukan mau ikut siapa. mereka tidak harus memilih mereka bisa datang padaku atau ayahnya kapan saja mereka inginkan. 3 bulan setelah perceraian. Matahari pagi menyapa dengan lembut, menyapa aku yang baru saja bangun dari tidur. Cahaya mentari menembus celah gorden tipis, menari-nari di dinding kamar. Aku tersenyum. Udara pagi di kota ini terasa segar, berbeda dengan hiruk pikuk Jakarta yang selalu mencengkeram jiwa. Aku menghirup udara dalam-dalam, mencoba menikmati ketenangan yang selama ini kucari. Ini adalah hari ke-100 sejak aku meninggalkan Hengky. 100 hari yang terasa begitu singkat, namun begitu penuh makna. 100 hari yang mengajar
Mentari pagi menyapa dengan lembut, udara segar masuk melalui tirai jendela kamar hotelku yang mewah. Aku tertidur pulas dalam mimpi yang tenang untuk pertama kalinya tidak harus terbangun oleh alarm dan segera melakukan rutinitas pagi untuk menyiapkan sarapan anggota keluarga. Untuk pertama kalinya aku bisa bernapas dan tidur tenang untuk diriku sendiri. Setelah bangkit dari tempat tidur aku membuka jendela dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara pantai yang menyegarkan seakan ingin menyingkirkan segala beban yang selama ini menumpuk di hatiku. Aku tahu persis meski aku sudah berumur 40 tahun tapi aku masih memiliki paras yang menawan serta tubuh yang sehat. Mungkin aku harus memutuskan untuk pergi dan memulai kehidupanku sendiri. Aku tahu ada konsekuensi saat harus meninggalkan rumah dan meninggalkan Mas Hengky, saat suamiku tak kunjung memberikan kebahagiaan dan malah menambah kerumitan kuputuskan untuk mencari kebahagiaanku sendiri. Ditambah sekarang Cantika sudah hadir
Melihat uminya Nathan pergi begitu saja aku jadi panik dan gelisah. Aku tahu ada perubahan dalam gesture wajah dan tatapan matanya saat dia menyeret kopernya pergi. Wanita itu seakan bukan istriku, dia butuh kemerdekaan dari hubungannya denganku, dan aku tahu persis Haifa mulai ingin lepas dari semua ini.Hanya aku yang bisa menyelamatkan keadaan dan keluargaku bila aku tidak bisa berpikir bijak dan bertindak maka aku akan kehilangan kedua wanita itu. Bahkan anak-anak dan keluargaku.**Aku terbangun dengan perasaan hampa yang menggerogoti hati, ketidakhadiran Haifa dan kekosongan kamar ini menularkan dingin dan kosong ke hatiku. Rumah kopi yang biasa diseduh hari haifa hari ini tidak tercium. Sana rumah terasa sepi dan hampa, saya akan tempat ini hanya kuburan saja. Saya turun ke lantai bawah dan menuju ke meja makan, tidak ada apapun di sana. Tidak ada secangkir kopi atau sarapan yang dibuat dengan penuh cinta, atau hal yang paling sederhana satuan Haifa yang selalu membangkitkan
"Aku mulai mengerti maksud perkataan Mbak Haifa sekarang!"Bahkan setelah aku tiba di kamar utama, masih kudengar percakapan antara Cantika dan Mas Hengky di teras rumah. Wanita itu belum pergi juga dan masih sibuk mengumbar kemarahannya pada suamiku. "Aku mengerti bahwa Mbak Haifa ingin aku menyingkir sendiri dari hubungan kalian! Dia ingin mendorongku untuk meninggalkanmu!" "Sudahlah, Jangan salah paham begitu! Haifa sedang marah jadi dia tidak tahu apa yang dia ucapkan." "Aku tidak salah paham Mas...dia mengatakannya dengan jelas, aku memang benalu, aku merusak segalanya tapi aku tidak meragukan perasaanku padamu. Aku tulus Mas!" Dia mulai menangis sementara aku menatapnya dari jendela balkon lantai dua."... Aku tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukaiku, dan aku tidak berdaya mengendalikan keadaan selanjutnya. Istrimu akan terus mengganggu hidupku, merusak suasana dan menimbulkan kekacauan dalam keluargaku. Dia akan memberikan pembalasan dendam yang pantas untuk perbuatanku
Suasana tiba-tiba berubah menjadi begitu canggung dan memalukan, wanita itu hanya tersenyum canggung sambil memegang bagian belakang lehernya. "Maaf, boleh saya pergi.""Bagaimana kabar Cantika? Tempo hari dia datang ke rumah dan memaksa kami untuk membagi waktu dengan adil. Dia juga mengancam akan membuat aku dan suamiku bercerai bila Mas Hengky tidak menuruti keinginannya.""Kurasa kau tidak perlu membahas ini di tempat umum," desis wanita itu."Memang tidak boleh, tapi aku tidak pernah punya kesempatan bertemu denganmu. Kau harus tahu perilaku anakmu Dan mungkin kau akan memperbaikinya.""Aku sudah sering bicara pada Cantika.""Berhasil mendapatkan suamiku saja dia belum puas, dia ingin menguasai semuanya," ujarku yang membuat sahabatku Sabrina langsung menggenggam tangan ini dan mengajakku mundur. "Hehe, sudah sudah, nanti bicara lagi, banyak orang yang belum kita temui, mari kita membaur," ajak Sabrina sambil menyeretku menjauh. Suasana benar-benar sudah tidak nyaman karena or
Berkat kemarahan itu seisi rumah menjadi begitu hening, anak-anak tetap di kamarnya dan aku juga masih setia di peraduanku. Membaca buku dan bermain ponsel. Aku mengabaikan keberadaan Mas Hengky yang biasanya selalu ingin ditemani untuk menghabiskan waktu dan menonton TV. Di hari-hari biasa kami akan berkumpul di ruang keluarga, bercanda tertawa dan berbagi cerita, tapi sekarang suasananya berubah, terbalik seakan-akan aku dan dia tak begitu saling mengenal, anak-anak kami hanya seperti anak-anak yang kebetulan datang ke dunia ini, seperti tidak terlalu dekat pada ayah dan ibunya. Brak!Suara pintu terbuka keras, Aku menoleh dan mendapati suamiku berdiri di sana. Dia menatapku sambil berkacak pinggang dan menghela nafasnya. "Apa kemarahanmu sudah reda?""Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti bagaimana kehidupan kalian setelah ini. Rumah ini berubah jadi kuburan dan dapur tidak berisi makanan. Aku lapar.""Kamu bisa pesan makanan karena anak-anak sudah pesan makanan untuk diri mere