“Bagaimana hasil pemeriksaannya?” tanya Jack tak sabar.
Billy menyerahkan copy pemeriksaan pada Jack. “Satu lembar untukmu, satu untukku, satu untuk polisi,” katanya tanpa menjawab langsung pertanyaan itu.
Jack membaca dengan cepat apa yang tertulis. Penyebab kematian: Racun Tetrodotoxin! Jack terkejut. “Racun jenis apa ini?” tanyanya.
“Itu racun yang secara alami ada di alam. Tepatnya bisa ditemukan pada ikan buntal, katak, salamander, ataupun gurita cincin biru!” jelas Billy.
Mata Jack makin membesar. “Mommy alergi makanan laut! Tak mungkin dia akan memakan jenis makanan ini!” bantah Jack serius.
Billy menggeleng. “Memang tak ada sisa makanan itu di lambungnya. Racun itu bermula dari suntikan di pundak yang kau lihat kemarin malam!”
Suara Jack tercekat. “Seseorang meracuni mommy ….”
“Polisi harus menelusuri kasus pembunuhan ini dengan benar. Mommy juga kehilangan uang dalam jumlah besar di perjalanan ini. Dia dirampok!” desis Jack marah.
“Siapa yang kejam membunuh mommy, Tom? Dia selalu baik dan ramah pada semua orang!”
Tom merangkul pundak Jack. Dia melihat setetes air jatuh dari mata pria itu. Ketegaran Jack runtuh, menghadapi kenyataan pahit kepergian ibunya. Billy memberi kesempatan Jack untuk mengurai semua kesedihan dan kemarahannya. Bahkan ketika Wyatt datang untuk mengambil hasil pemeriksaan, polisi itu juga tak mengganggu Jack dan Tom.
“Kami akan membawa nyonya ke gereja, jika urusan di sini sudah selesai,” Tom mengambil alih urusan di sana. Jack butuh waktu untuk berduka cita dan bersama dengan ibunya sedikit lebih lama. Tom dengan pengertian yang dalam, memberinya waktu dan mengurus beberapa hal tanpa diminta.
“Sudah saatnya berangkat, Jack,” ujar Tom.
Jack mengangguk, mengikuti langkah Tom. “Kau Bersama dengan Wyatt saja. Aku akan mengiringi dengan motor di belakang.” Tom memutuskan. Jack mengangguk dan masuk ke mobil polisi. Bersama dengan Wyatt, pergi mengantar jasad mommy ke gereja untuk disemayamkan.
“Kalian bisa kembali kemari siang nanti. Kau akan melihat ibumu yang cantik terakhir kali, sebelum disemayamkan,” kata pendeta penuh pengertian.
Meskipun berat hati, Jack harus memberi waktu pada pihak gereja untuk mendandani ibunya sebelum dimakamkan. Memang tak ada yang bisa dilakukannya di sana saat ini. Jadi dia setuju dengan Tom untuk pulang dan kembali untuk berdoa siang nanti.
“Officer!” Jack menahan langkah Wyatt yang juga hendak pergi. Polisi itu berbalik dan menunggu Jack mendekat.
“Sekarang, kecurigaanku terbukti. Tolong selidiki kasus pembunuhan dan perampokan ini dengan benar!” tegas Jack.
“Perampokan apa? Ini kasus pembunuhan, Jack!” bantah Wyatt.
“Apa kau lupa yang dikatakan Tuan Fred bahwa mommy pulang dari perjalanan bisnis dengan membawa sejumlah besar uang? Sekarang uang itu menghilang. Bukti apa lagi yang kau mau?” desak Jack tak sabar.
“Tak ada bukti bahwa ibumu benar membawa uang dalam jumlah besar, Jack. Tanpa bukti itu, maka aku hanya akan mengejar ekorku sendiri!” bantah Wyatt.
“Jika kalian punya bukti kuitansi atau apapun tentang uang itu, segera laporkan padaku. Tanpa itu, maka ini hanyalah kasus pembunuhan!” Wyat membanting pintu mobilnya dan pergi.
“Sialan!” Jack menendang jalanan dengan marah. “Apa susahnya mempunyai praduga dulu? Dari situ baru cari bukti-bukti.” Jack menggeleng tak mengerti cara kerja kepolisian.
“Tenangkan dirimu. Mari kita pulang dan memikirkannya. Jika memang polisi butuh bukti, maka ayo kita coba cari!” bujuk Tom.
“Kau benar. Tampaknya memang lebih baik kita cari sendiri!” ketus Jack.
***
Sore hari hujan gerimis membasahi kota kecil itu. Tak ada seorang pun teman ibunya yang dulu dengan muka manis datang ke kediaman mereka untuk mendapatkan cipratan rejeki, yang menampakkan batang hidung. Hanya Jack, Tom, dan pihak gereja yang mendampingi sembari membacakan doa untuk mengantarkan Daniella Lawrence ke peristirahatan terkahirnya. Tak ketinggalan juga polisi yang mengawasi dari kejauhan.
Jack menyimpan kepahitan dan kebencian di hatinya pada semua orang yang tidak menghormati ibunya. Dia merekam mereka semua dalam hatinya. Orang-orang yang bermuka manis, seperti semut merubung gula, saat perkebunan mereka jaya.
Meadow Creek menggigil merasakan dendam kesumat yang tertanam dalam hati seorang pemuda yang selama ini percaya bahwa dunianya jauh lebih baik dari pada medan perang.
Jack meletakkan bunga lily putih kesukaan ibunya ke peti mati. Peti itu siap untuk diturunkan sekarang.
“Mommy, aku akan mencari siapapun yang membunuhmu. Aku akan memburu mereka seperti anjing dan membalasnya puluhan kali lipat!” sumpahnya di depan peti mati.
Di kejauhan, satu sosok misterius berdiri mengamati. Dia tidak merasa terganggu sama sekali pada hujan yang terus membasahi mantel panjangnya. Sebelum semua orang bubar, sosok itu sudah menghilang lebih dulu.
“Tom, coba kau bersihkan kamar granny. Aku akan membawanya pulang jika dokter sudah mengijinkan,” kata Jack setelah dia selesai menunggui makam mommy ditutup dengan rapi.
“Baik.”
Keduanya pulang ke kediaman naik motor. Di rumah, sudah menunggu empat pria bertubuh kekar yang datang menagih hutang bank. Sikap mereka yang kasar, membuat darah Tom mendidih.
“Hai Tom. Sebaiknya kau segera mencari induk semang baru. Karena kediaman ini akan segera disita dan berganti pemilik!” ujar orang itu congkak.
“Tidak! Pemilik perkebunan ini sudah datang. Kalian tidak akan bisa menguasai perkebunan ini” balas Tom puas. Dengan adanya Jack di sana, dia merasa berani membalas kata-kata kasar mereka.
“Hahaha … pemiliknya sudah mati. Apa kau kira nenek tua dan pikun itu bisa mengurusi perkebunan yang rumit dan banyak masalah ini?” ejeknya.
Tom menggeleng dan menyeringai. Lalu dia menoleh pada Jack. “Ini pemiliknya!” ujar Tom bangga.
Para penagih itu baru menyadari ada orang lain datang bersama Tom. Pria yang terlalu diam dan tidak mencolok, sehingga tidak menarik perhatian siapapun.
Sebuah tawa keras terdengar membahana. Orang-orang itu tertawa terpingkal-pingkal. “Kau mau membanggakan dirinya? Siapa dia? Apa dia anak haram Daniella?” Ledakan tawa kembali terdengar.
Wajah Jack memerah mendengar penghinaan itu. Dia tidak pernah masalah diejek sebagai anak haram ibunya. Dia sudah mendapat penghinaan itu sedari kecil, karena ayahnya tak pernah menampakkan diri. Namun, Jack tidak akan mengampuni siapa pun yang menghina ibunya.
Jack melesat cepat dan melancarkan pukulan keras pada orang-orang bayaran yang ditugaskan pihak bank. Mereka semua terpental dan berdebum di tanah kotor. Rintihan disertaisumpah serapah terdengar. Jack masih terus menendang mereka dengan sepatu bootnya yang tebal. Suara tulang berderak terdengar beberapa kali.
“Pergi!” usir Jack dingin.
Empat orang itu lari terbirit-birit menuju mobil mereka yang diparkir dekat jalan masuk. Tagihan belum dapat, tidak masalah. Yang penting, menyelamatkan nyawa lebih dulu. Jack dan Tom mengawasi keempatnyaa pergi.
“Tunggu saja. Tidak ampun untukmu. Kau akan mendapatkan balasan karena sudah menyinggung kami!” teriak orang-orang itu dari dalam mobil, sebelum melajukannya dengan cepat.
“Apakah mereka sering datang mengganggu?” tanya Jack. “Yah, mereka adalah tukang tagih yang dipekerjakan bank. Mereka melakukan intimidasi, penghinaan dan lainnya, hanya agar mendapatkan uang tagihan!” jawab Tom. Jack mengangguk. “Aku tidak melihat teman-teman mommy di pemakaman. Apakah tidak ada yang tahu peristiwa yang menimpanya?” tanya Jack mengalihkan pembahasan. Tom menggeleng. “Itu juga salah satu hasil yang dicapai oleh para penagih,” jawab Tom. Dia mengikuti Jack masuk rumah. “Apa maksudmu dengan hasil dari para penagih?” Jack tidak mengerti. “Mereka menyebarkan berita miring dan fitnah tentang Nyonya muda, sehingga makin lama, temannya makin sedikit. Mereka menjauh agar tidak ikut tercemar,” jawab Tom serius. Jack menggertakkan giginya geram. “Mereka sungguh tak tahu siapa yang sudah mereka usik!” ujarnya dingin. Tom mengikuti Jack masuk rumah. Dia yakin bahwa keadaan akan lebih baik setelah Jack di rumah. “Aku akan siapkan makan malam,” kata Tom sembari menuju dapur.
“Oh, dia Tuan Colt Junior. Pemilik perkebunan anggur di desa sebelah. Dia kandidat pertama yang mendaftarkan diri dalam list lelang perkebunan kita, jika disita oleh bank!” Tuan Fred tak menyembuntikan wajah tak senangnya. “Mereka seperti burung bangkai yang mengelilingi pertanian dan berharap kita segera jatuh!” Tom juga mulai berani menyuarakan ketidak sukaannya. Biasanya dia hanya mengamati saja setia orang yang dengan sombong datang dan dengan sombong menilai perkebunana mereka. Seperti ingin mengatakan bahwa mereka punya uang untuk membeli apapun yang mereka mau! “Jack Hamilton!” panggil petugas bank. Ketiganya langsung menoleh, kemudian mengikuti langkah wanita itu ke ruangan dalam. Dua jam berikutnya, Jack, Tuan Fred dan Tom keluar ruangan dengan wajah cerah. Mereka melangkah lebar. Tom bahkan sengaja mengangkat dagunya lebih tinggi untuk menunjukkan kebanggaannya. Para burung bangkai yang sudah mengincar tanah perkebunan itu, menatap mereka dengan tampang lesu. Harapan un
Granny pulang sore itu. Seorang perawat lepas bernama Valerie, ikut bersama mereka untuk merawat granny sesuai petunjuk dokter. Dia adalah perawat yang malam sebelumnya dilihat Jack datang memeriksa granny di kamar perawatan. Tom sudah menyiapkan kamar granny. Namun, tidak mengira akan ada tamu lain yang tinggal menumpang di rumah itu. “Bisakah kau bereskan kamar tamu untuk Valerie, Tom?” tanya Jack. “Baik, akan kubereskan segera.” Tom langsung menghilang. Kamar tamu yang dimaksud oleh Jack adalah kamar lama yang ada di loteng. Tuan Fred mengikutinya ke sana. “Aku bisa melakukannya sendiri, Tuan Fred,” kata Tom setelah menyadari pria paruh baya itu berada di belakangnya memegang sapu. “Aku tahu tempat ini sangat luas. Kita bereskan saja ruangan untuk dia tidur malam ini. Bagian lain, biarkan dia yang menatanya sendiri,” saran Tuan Fred. “Baiklah kalau begitu.” Tom mengangguk dan mereka segera bekerja. Perawat itu, Valerie, sangat terampil mengurus neneknya. Setidaknya, beg
“Jangan buru-buru membuat kesimpulan, Jack. Kau tahu akibatnya jika menyinggung orang yang tak bisa kau singgung sama sekali!” Tuan Fred menasehati.“Semua yang terjadi di sini, dan juga yang dialami mommy, tak mungkin hanya kebetulan, Tuan Fred!” Jack menggoyangkan tangannya yang sedang meremas kertas informasi itu.“Saranku, datang dan bertanyalah secara pribadi pada ayahmu lebih dulu. Jangan masuk ke kediaman utama!” Tuan Fred mengejar Jack yang sudah berjalan keluar ruang kerja.“Jangan khawatir. Aku tahu apa yang harus kulakukan!” Jack masuk ke kamarnya dan menutup pintu.Tuan Fred masih mematung di depan pintu kamarnya. Pria paruh baya itu merasa sedikit kesulitan menghadapi Jack. Pada dasarnya ibu dan anak yang dilihatnya tumbuh besar itu memiliki sifat yang hampir sama. Sama-sama keras kepala. Namun, ibunya selalu bersikap tenang dan menyimpan rencana-rencananya sendiri. Sementara Jack, lebih ekspresif dan membuat keputusan sangat cepat.“Aku hanya risau kau bernasib sama deng
“Beraninya Kau menghina mommy seperti itu! Kau tidak pernah bisa membuktikan tuduhan kejimu seumur hidupnya! Kau laki-laki paling brengsek yang pernah kutahu!” balas Jack dengan suara keras, untuk menyaingi musik di ruangan.“Keluar Kau! Kau tak pernah diterima di rumah ini. Sudah bagus aku tidak mempermalukannya dengan membiarkanmu menyandang nama Hamilton. Wanita tak setia itu pantas mati!” balas Edwad Hamilton dengan napas terengah. Dia semakin murka melihat Jack berani membalas kata-katanya. Tak ada yang pernah berani membalas kata-katanya di kediaman itu.“Lempar dia keluar! Ingat ini Hudson, ini perintahku. Jangan pernah ijinkan dia menjejakkan kaki di kediamanku lagi!” teriak Edward Hamilton dengan suara keras, agar Jack yang tengah diseret itu mendengarnya.Brukk! Tubuh Jack dilempar ke halaman. Dengan kemarahan Jack bangkit dan menunjuk Edward yang memperhatikannya dari jendela.“Mulai sekarang aku akan menanggalkan nama Hamilton. Kau bukan siapa-siapaku lagi. Dan untuk kema
Bertiga dengan Tom dan Tuan Fred, Jack membenahi bagian kebun anggur mereka yang masih tumbuh dengan baik. “Jika lokasi ini dijadikan tempat wisata dan spot foto ke lembah dan sungai, bukankah akan punya peluang?” ujar Jack bersemangat.“Nanti, tambahkan pula venue untuk pernikahan outdoor. Bagaimana menurutmu?” tanya Tuan Fred.“Hahaha, itu ide yang sangat bagus.” Jack setuju.“Mari kita siapkan semua kebutuhannya dulu. Tom, kau catat berapa banyak kayu dan kebutuhan lain. Setelah itu kita ke toko untuk memesannya,” kata Jack.“Akan kukerjakan,” sahut Tom bersemangat. Dia sangat senang dan optimis bahwa perkebunan mereka bisa bangkit lagi di bawah kepemimpinan Jack. Tom sudah tak sabar membayangkan pengunjung yang hilir mudik ke perkebunan untuk menikmati pemandangan alam yang indah ke arah lembah dan kota di bawahnya.Ponsel Jack kembali berdering. Dia mengangkatnya sambil terus berjalan mengelilingi perkebunan ditemani Tuan Fred. “Ya!” sahut Jack.“Bos, kapan Anda ke sini?” tanya s
Tuan Fred mengangkat wajah dan menoleh pada Jack. “Apakah seharusnya dia sudah pulang? tanyanya heran.“Kami tadi melewati apotik dan Tom sudah memeriksa. Val sudah mendapatkan obatnya dan pulang,” ujar Jack.“Mungkin dia bertemu temannya dan mengobrol sebentar. Kita tunggu saja. Hari masih siang.” Tuan Fred menenangkan Jack.“Kurasa kau benar. Biar kulihat granny di dalam.” Jack masuk. Tom dan Tuan Fred melanjutkan pekerjaan mereka.Sore hari, barang-barang pesanan Jack tiba. Mereka sedikit sibuk hingga tanpa terasa malam turun. Jack menggeleng tak senang, karena Valerie tidak juga pulang. Masalahnya adalah, granny butuh obat yang dimaksud Val untuk disuntikkan malam ini. Dengan sedikit kesal, Jack menelepon rumah sakit dan mengatakan masalahnya.“Kami akan mengantar seorang perawat dan obat untuk malam ini. Hanya saja, dia tidak bisa menjaga di sana. Kami kekurangan perawat pengganti hari ini.” Kata pihak rumah sakit.“Kirimkan saja perawat dan obatnya,” sahut Jack cepat.“Baik!” Sa
Bagian sayap kiri itu adalah tempat untuk mengumpulkan anggur hasil panen, sebelum waktunya diolah menjadi juice. Diluar masa panen, maka tempat itu akan sangat sunyi. Karena proses berikutnya adalah penyimpanan juice anggur agar menjadi wine yang bercita rasa tinggi. Tempatnya berada di sayap bangunan kanan, yang lebih dekat ke bangunan utama dan pintu keluar.Sekarang mereka sudah berada di depan pintu. Debu yang terdapat di mana-mana menunjukkan betapa lamanya para pekerja perkebunan tidak datang ke sana. Suara teriakan umpatan dan caci maki bahkan ancaman terdengar samar dari balik pintu.Wajah Damon menggelap. Senyum yang terlihat di wajahnya, sangat mengerikan. Dia membuka pintu dan berdiri di sana, menghalangi cahaya masuk.Valeri yang sedang sakit kepala akibat pukulan keras, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Seseorang berdiri di ambang pintu membentuk siluet hitam samar di balik cahaya terang.“Heh! Ternyata kau!” Valerie dapat mengenali sosok itu, meskipun dia tak melihatn