Alisha terdiam bingung karena meragukan mereka, tapi juga tidak berani untuk meminta Dani untuk menemaninya.
"Tunggu dulu!" cegah Dani sambil menarik tangan Alisha agar tidak dibawa oleh mereka.
"Apaan, sih, kamu sudah dengar tadi, kan?" tanya lelaki baju putih.
"Aku ikut sama kalian untuk memastikan kalau cewek ini nggak sedang kalian tipu," jawab Dani.
"Astaga, Bro. Kami serius mau bawa dia ketemu sama, Anjas," keluh lelaki baju ungu dengan sikapnya yang terlihat serba salah.
"Aku akan pulang kalau sudah melihat lelaki itu langsung," kata Dani.
Kedua lelaki itu saling melirik. Mereka memberikan isyarat yang sulit dimengerti oleh Dani, tetapi Dani tidaklah bodoh, sebab ia memiliki firasat buruk dengan kedua lelaki itu.
"Aku cuma mau pergi kalau dia ikut denganku," sela Alisha.
Dani melirik Alisha lalu tersenyum. Merasa jika dirinya telah menang karena Alisha berpihak kepadanya.
"Oke. Ayo, berangkat!" ajak lelaki baju biru.
Alisha dan Dani segera memasuki mobil Dani sedangkan kedua lelaki itu menaiki mobil mereka tadi.
"Yan, kamu yakin cowok itu nggak bakalan menghalangi rencana kita untuk menjebak cewek itu?" bisik Lelaki baju putih.
Lelaki baju ungu ini tersenyum licik sambil menghidupkan mesin mobilnya. Perlahan ia menjalankan mobilnya. "Aku punya rencana lain yang lebih menyenangkan dari rencana kita sebelumnya."
***Alisha terkejut pada saat terbangun dirinya telah berada di kamar hotel. Padahal ia tadi masih merasa berada di mobil bersama dengan Dani. Perempuan ini juga terkejut saat melihat di samping kirinya. Ada Anjas yang sedang tertidur."Apa yang terjadi semalam?" Ia mencoba mengingat segalanya, tetapi rasa mualnya membuatnya kembali mengalami sakit kepala dan akan muntah. Alisha bergegas menuju kamar mandi kemudian muntah.
"Apa kamu sakit, Alisha?" tanya Anjas yang kini sedang duduk.
Alisha terkejut melihat Anjas kini menatap genit ke arahnya. Dia mencoba untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kapan kau tidur di sini?"
"Kamu ketiduran di mobil, jadi aku langsung membawamu ke kamar."
Alisha melirik Anjas. "Di mana dia?"
"Dani maksudmu?"
"Ya."
"Dia sudah pulang."
Alisha sedikit merasa kehilangan, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya di hadapan Anjas. "Aku belum sempat berterima kasih."
"Sebaiknya kita bersiap hari ini, untuk pulang," kata Anjas sambil mendatangi Alisha. Ia akan menyentuh rambut Alisha, tapi perempuan itu sengaja menghindarinya. "Kamu nggak usah terlalu polos, Alisha. Kita sudah pernah melakukannya."
Alisha menatap marah Anjas. "Bukan aku yang mau. Kamu yang datang ke kamarku malam itu."
Anjas tersenyum mengejek Alisha. "Sebentar lagi kita akan menikah, jadi nggak ada salahnya kalau hari ini kita ulangi lagi kejadian di malam itu."
"Aku akan berteriak kalau kamu masih mau mengangguku." Alisha mundur dua langkah sambil menepis tangan Anjas yang akan menyentuh pipi kanannya.
Anjas tertawa meremehkan ancaman itu. Ia bahkan menantang Alisha dengan cara mendekatinya. "Alisha, sayang. Kamu harus nurut sama aku karena aku sebentar lagi bakalan jadi suamimu."
"Nggak!" teriak Alisha sambil mendorong Anjas.
Anjas hampir melangkah mundur akibat terdorong oleh Alisha. Ia kembali maju untuk mendapatkan perempuan itu. "Jangan sok suci, deh. Ayo, sini!"
Alisha semakin melangkah mundur. Nyaris ia tidak dapat menghindari sergapan Anjas yang tiba-tiba. "Aku hamil, Njas."
"Justru itu kamu jangan melawan. Ayo, sini!" Perlahan Anjas mendekati Alisha. Berharap kali ini Alisha termakan bujuk rayuannya.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Disusul dengan suara seorang lelaki. "Alisha."
Alisha terkejut sekaligus senang. "Dani."
Anjas terpaksa membiarkan Alisha berlari untuk membuka pintu. "Sial."
"Dani," ucap Alisha dengan penuh syukur.
"Aku mendengarmu berteriak?" tanya Dani.
Anjas menggaruk kepalanya sambil mendatangi Dani yang kini sedang memperhatikan Alisha. "Mau dia teriak atau mendesah, itu bukan urusanmu. Pulang sana!"
Dani segera menahan pintu ketika Anjas akan menutup pintu. "Aku jelas-jelas mendengarnya tadi. Dia berteriak," tegas Anjas dengan sedikit menekan nada suaranya.
"Kalau dia berteriak, terus apa urusanmu?" tantang Anjas sambil membusungkan dada. Siap untuk mengadu kekuatan fisik bila nanti Dani ingin memukulnya.
Dani tidak ingin memperpanjang perseteruan mereka. Ia memilih untuk meraih tangan Alisha kemudian menariknya keluar. "Dia tetap bersamaku hingga tiba di rumahnya."
Alisha terkejut, tapi juga merasa aman bersama Dani.
"Oke, terserah kamu saja." Anjas mundur sambil menatap jengkel Dani, kemudian dengan sengaja membanting pintu.
Alisha tersentak kaget sambil memegang lengan Dani. Ia baru menyadari bahwa dirinya refleks memegang tangan lelaki itu di saat Dani melirik ke arahnya, maka dengan cepat Alisha menjauh lalu mengalihkan pandangannya ke lantai.
"Mulai sekarang kamu harus memikirkan masa depanmu," kata Dani sambil menyelipkan semua jemari kedua tangannya di kedua saku celananya.
"Aku tahu," jawab Alisha pelan. Nyaris tak terdengar oleh Dani.
"Apa kamu yakin mau menikah dengannya?"
"Nggak ada pilihan lain, kan? Aku nggak mungkin hamil tanpa suami."
Dani diam sejenak untuk melihat wajah murung Alisha. Sungguh kasihan melihat perempuan itu, tetapi ia menyadari bahwa dirinya tidak seharusnya terlibat dalam permasalahan mereka. "Maaf, aku nggak akan bertanya lagi."
***
Alisha dan Dani berada dalam satu mobil sedangkan Anjas hanya sendiri di mobilnya.
Alisha meremas genggamannya. Berulang-ulang sehingga Dani mulai memperhatikannya.
Dani mengambil dua lembar tisu lalu menyerahkan kepada Alisha. "Telapak tanganmu berkeringat."
Alisha memaksakan senyumnya agar terlihat tenang. "Ini karena aku gugup."
"Hem," gumam Dani sambil menatap lurus ke depan.
Sesekali Alisha melirik Dani. Ia ingin menceritakan kesedihannya kepada lelaki itu, tetapi setiap kali ia akan berkata seolah bibirnya sulit untuk digerakkan.
"Sepertinya kamu ingin bercerita?" singgung Dani tanpa melihat ke arah Alisha.
"Ha? Apa?" Alisha terkejut. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tidak mendengar dengan jelas perkataan Dani.
"Lupakan," jawab Dani sambil mendesah jengkel.
"Oh, hem," gumam Alisha sambil meluruskan duduknya.
Mobil yang dikendarai Anjas melewati mereka. Dani yang memang tidak mempercayai lelaki itu segera menyusul agar tidak kehilangan jejaknya.
Anjas melirik ke spion kiri. Terlihat mobil Dani yang sekarang berada tidak jauh di belakangnya. Sebenarnya bisa saja ia meninggalkan mereka, tapi Anjas justru sengaja ingin bermain culas sesuai perintah tantenya. Ia tersenyum licik sambil meraih ponsel dari saku kemeja merahnya. "Halo, Tante."
"Bagaimana sekarang? Apa semuanya aman terkendali seperti rencana kita?" Suara ibu tirinya Alisha di telepon.
"Tante Nadya, nggak perlu khawatir. Semalam aku sudah melakukan apa yang, Tante, suruh."
"Sekarang kamu berada di mana?"
"Kami dalam perjalanan menuju ke rumah. Dua jam lagi kami sampai."
"Baiklah, aku tunggu."
Pembicaraan di telepon berakhir. Anjas melirik spion di hadapannya lalu kembali fokus mengemudi.
***
Dua jam berlalu. Mereka tiba di rumah sederhana. Bercat biru muda, memiliki sedikit taman bunga di sebelah kiri halaman rumah itu.Dani membuka pintu untuk Alisha. Setelah perempuan itu keluar dari mobil, ia kembali memasuki mobilnya.
"Ayo!" ajak Anjas sambil memegang tangan Alisha.
"Tunggu dulu. Aku belum berterima kasih," kata Alisha sambil melepaskan tangan Anjas.
Anjas berdehem jengkel sambil menjauh sedikit.
Alisha membungkuk untuk melihat Dani di dalam mobil. "Terima kasih, karena sudah membantuku."
Dani hanya mengangguk. Setelah itu ia segera meninggalkan tempat itu.
Alisha merasa sedikit kehilangan saat melihat mobil lelaki itu menjauh.
"Alisha," panggil ibu tirinya. Ia mendatangi Alisha.
Alisha sengaja mengabaikan ibu tirinya. Ia muak dengan sikap manis palsu yang ditunjukkan perempuan itu di hadapan ayahnya.
"Dari mana saja kamu?" tanya seorang lelaki berumur 50 tahun. Bertubuh sedikit gemuk. Mengenakan kemeja abu-abu dan celana cokelat. Terlihat marah ketika tadi melihat Dani membuka pintu untuk putrinya.
"Sebaiknya kita masuk dulu, Om. Nanti aku akan ceritakan," bujuk Anjas.
Nadya ibu tirinya Alisha sempat memberikan lirikan licik kepada Anjas. Kedua orang itu sempat diperhatikan oleh Alisha. Nadya duduk di samping suaminya sedangkan Anjas di samping Alisha.
"Begini, Om. Aku mau ngomong serius tentang Alisha," kata Anjas.
Alisha hanya menunduk sambil berharap agar ayahnya tidak marah dan mau merestui dirinya bersama Anjas.
"Hem," jawab ayahnya Alisha.
"Alisha, saat ini sedang hamil, Om."
"Apa?!" Ia terkejut dan langsung berdiri. Kini tatapannya mengarah langsung ke perut Alisha yang masih rata. "Siapa yang menghamiliku?"
Alisha terkejut, ia mundur lalu berlindung di belakang Anjas.
"Ngomong!" bentak ayahnya.
"Sabar, Pak. Tenang dulu agar Alisha bisa menjawab pertanyaan kita," bujuk Nadya sambil mengusap lengan kanan suaminya.
"Om, membuat Alisha takut," sela Anjas.
"Hem." Lelaki ini kembali duduk. Walau kini ia murka, tetapi mencoba menahan amarahnya.
"Alisha, ayo, duduk sama mama," bujuk Nadya.
Alisha tidak berani berpindah dari tempatnya. Ia makin merapat pada Anjas.
"Alisha kemarin bersamaku di hotel," kata Anjas.
"Langsung saja bilang!" perintah ayahnya Alisha.
"Om Indra, tenang dulu. Aku ada bukti supaya kalian tenang," kata Anjas.
"Bukti?" gumam heran Alisha. Ada rasa tidak nyaman ketika mendengar Anjas memiliki bukti. Seketika ia menjadi curiga dan merasa Anjas memiliki sesuatu yang akan membuatnya menderita.
"Bukti apa?" tanya Nadya.
Anjas mengambil ponsel dari saku kemejanya. Bermaksud akan menyerahkan ponsel itu kepada Nadya, tapi Alisha segera mencegahnya. "Ini hanya bukti laporan kehamilanmu saja, kok. Nggak usah cemas."
Walaupun telah dijelaskan, tetapi perasaan Alisha tetap saja gelisah. "Semoga saja dia nggak mempermainkan aku kali ini," batinnya.
Nadya melihat rekaman di ponsel Anjas. Ia terkejut dan langsung melihat pada Alisha.
Alisha terkejut melihat tatapan ibu tirinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak cepat. Hatinya berdenyut sakit. Ia tahu akan ada hal buruk yang akan terjadi padanya.
"Mana buktinya aku mau lihat?" tanya Ayahnya.
"Jangan, Pak!" cegah Alisha.
Pintu terkunci ketika Alisha akan masuk ke kamar. Cukup dua ketukan dan sekali dorongan saja, ia sudah sadar diri bahwa dirinya telah membuat malu dan marah Dani. Perempuan ini hanya mampu meneteskan air mata. "Sini kamu!" Tiba-tiba Ibunya Dani menyeret Alisha menjauh dari kamar itu. "Mau ke mana, Ma?" Alisha tak berani melawan."Jangan berisik!" Alisha menatap pintu kamarnya yang telah jauh. Ia berharap Dani keluar dari kamar dan langsung menyelamatkannya dari perempuan itu."Sini!" Ia menempatkan Alisha di depan pintu utama.Alisha terkejut, dan langsung menatap ke luar. "Apa ini, Ma?" "Nggak sudi aku dipanggil mama olehmu. Sekarang keluar dari rumah ini atau aku akan mendorongmu!" Alisha menggeleng sambil mencoba menerobos pertahanan mertuanya. "Eh, mau ke mana? Keluar kataku!" Ia merentang kedua tangan, mencegah Alisha melewatinya."Dani harus tahu!" teriak Alisha. "Diam!" Ia membentak, tapi tidak berani lantang sebab Dani akan mendengar keributan itu. "Pergi kamu!" Ia beru
Segepok uang telah diterima, hanya tinggal menjalankan perintah dari calon mertua idamannya saja. Ya, Delia, perempuan licik penuh muslihat ini tengah memikirkan cara agar Dani tidak mencurigainya sebagai penyebab insiden yang akan terjadi beberapa jam nanti.Sedangkan kini, Dani dan Alisha tengah keluar dari supermaket. Tak sengaja mereka berpapasan langsung dengan pacarnya Anjas. Perempuan itu langsung menatap ke arah perut Alisha. "Kamu yang di... ah, aku lupa." Ia menekan keningnya dengan tangan kanan sambil mengingat-ingat Alisha. "Oh, iya. Kamu yang pernah ada di Rumah sakit itu, kan?" Alisha melirik Dani. Ia tidak ingin berurusan dengan perempuan yang memiliki hubungan dengan Anjas.Dani rupanya mengerti, ia segera menjawab pertanyaan perempuan itu. "Iya, memangnya ada apa, ya?" "Kenal sama yang namanya Anjas?" tanya perempuan itu."Gak." Dani dengan tegas menggelengkan kepala."Oh, maaf. Kukira kalian saling kenal." Ia tertawa malu, kemudian pergi."Kalau dia di sini berart
Deli cemberut sambil memakan makanan yang ia masak tadi siang. Sedikitpun Alisha belum juga memintanya untuk menyajikan makanan. Perempuan itu beralasan bahwa sudah kenyang makan masakan yang dibuatnya sendiri tadi pagi, dan sambil membayangkan betapa mesra dan romantisnya sikap Dani kepada majikan perempuannya itu, ia menggerutu juga. Tak ayal juga nasi terkadang terkeluar dari mulutnya tanpa ia sadari, dan setelah melihat itu semua, ia segera menghentikan makannya, lalu kembali menggerutu."Nungguin dia makan, dan aku makan sisanya, itu bisa bikin aku mati kelaparan. Huh, dasar, perempuan pucat!" Tidak lama terdengar suara seorang perempuan dari ruang tamu, dan dengan tergesa-gesa Delia membersihkan meja makan, lalu mencuci piring bekasnya tadi. Ia segera mendatangi suara perempuan tadi. Ternyata Dani datang bersama ibunya. "Ini ibuku, Delia." Dani memerkenalkan ibunya pada Delia yang sedikit bingung dengan status perempuan itu."Iya, saya Delia, Bu." Delia tersenyum manis, tetapi
Alisha BlmSudah dua hari Alisha tidak berselera makan. Ia hanya terus merenungi nasibnya. Terutama Dani yang masih belum menegurnya sejak kejadian itu (saat menemukan fakta Riski berkhianat). Perempuan itu melirik suaminya yang tengah berjalan di belakangnya. Memang posisinya saat ini alisha tengah berbaring membelakangi Dani dan lelaki itu sedari tadi hanya bolak-balik di kamar itu. Tak berani juga ia menegur kecuali lelaki itu datang untuk menyapa lebih dahulu."Halo, Pak." Terdengar suara Dani tengah menelepon. Alisha jadi penasaran dan menoleh. "Iya, Pak. Saya akan datang besok." Alisha kembali seperti tadi saat tatapan Dani tertuju padanya. Merasa seperti maling yang tertangkap basah, perempuan itu pejamkan mata dan pura-pura tertidur. Dani mendatangi istrinya kemudian menyentuh pundak kirinya. Alisha merasa inilah yang ditunggu sedari tadi. Diperlakukan seperti biasanya. "Iya, ada apa?" "Mama akan bebas."Alisha terkejut, dan segera bangkit. "Tapi kita?" "Tenang dulu." "M
Alisha dipaksa membuat pilihan. Merupakan dilema baginya. Jika dituruti ia akan terhina dan jika menolak, ia akan memermalukan Dani dan dirinya sendiri. "Jangan lama-lama mikirnya," bisik Riski yang tiba-tiba saja membuat Alisha merinding karena lelaki itu hampir menempelkan bibirnya ke pipi kanan perempuan ini. "Jangan dekat-dekat!" "Jangan jauh-jauh!" Ia segera menahan lengan kanan Alisha, sebelum perempuan itu menjauh darinya."Tolong jangan seperti ini," mohonnya, sambil meronta."Sebelum dia pulang, kita masih sempat main." "Aku dijebak oleh mereka. Aku gak salah dan gak pernah mau punya nasib seperti ini. Tolong jangan buat aku memilih." "Aku gak mau tahu!" desisnya sambil menekan lengan Alisha sehingga perempuan itu merintih sakit. "Kamu gak punya pilihan. Ayo!" "Aku gak mau!" Ia diseret ke kamar. Perempuan ini meronta, tetapi ia segera digendong dan mulutnya dibungkam oleh lelaki itu. Pintu kamar langsung dikunci setelah ia melempar Alisha ke ranjang. Alisha segera berl
Alisha terdiam malu ketika Dani membelai rambutnya. Ia pasrah jika Dani memang menginginkan malam pertama dengannya, tetapi Dani justru menghentikan sikap romantis itu ketika mendengar suara dari luar. "Siapa?" tanya Dani. Ia melihat bayangan seseorang dari sela bawah pintu. "Siapa?" bisik Alisha."Biar kulihat," kata Dani yang segera menuju ke luar kamar. Lelaki itu tidak menemukan siapa-siapa di rumahnya. "Ada siapa, Dani?" tanya Alisha yang ingin beranjak keluar kamar juga."Gak tahu siapa itu," kata Dani yang mengejutkan Alisha dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Aku udah memeriksa semuanya, tapi gak ada siapapun. Bahkan semua jendela dan pintu sudah dikunci." "Atau mungkin cuma perasaan kita aja, soalnya Anwar belum ketangkap oleh polisi," kata Alisha. "Hem, mungkin." Dani menggaruk kepalanya. "Oh, ya, aku mau ngambil sesuatu di rambutmu." Dani mengambil benang putih di antara rambut Alisha. Rupanya benang itu tadi yang selalu membuat Dani menaruh perhatian lebih pada Ali