Dani terkejut dan menyudahi makanannya lalu mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja makan. "Kabari aku kalau dia sudah kembali. Aku akan mencarinya di luar sana."
"Iya, Pak."
Dani segera memasuki mobil kemudian melajukan kendaraannya untuk mencari Alisha. Di sepanjang jalan tidak luput dari penglihatannya. Namun, sosok Alisha tidak terlihat olehnya. Dani menyesal karena tidak memiliki foto perempuan itu, sebab saat dia berhenti dan bertanya kepada salah seorang pejalan kaki di depan sebuah toko. Dani kebingungan untuk menjelaskan fisik Alisha. Ia hanya bisa mengatakan warna baju dan umur perempuan itu yang dikira-kiranya baru berumur 20 tahun.
***
Alisha berjalan di tengah keramaian kota Tenggarong sambil membayangkan kejadian pilu sebelum dirinya hamil. Seorang lelaki tiba-tiba memasuki kamarnya. Tepat di saat ayah dan ibunya sedang berada di luar kota karena mengunjungi rumah salah seorang keluarga ibu tirinya yang sedang mengadakan hajatan. Lampu kamar sengaja dipadamkan. Dirinya langsung terbangun ketika lelaki itu menindihnya. Ia berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya kalah kuat dari lelaki itu.
Alisha ingin menjerit, tetapi mulutnya dibungkam dengan kain. Sekuat tenaga berusaha untuk mempertahankan dirinya. Namun, nasib malang telah menimpanya. Malam itu segalanya telah terjadi. Perempuan itu kembali menangisi takdirnya. Sudahlah kejadian malam tadi membuatnya trauma, kini ia harus mengandung anak dari lelaki itu.
"Hei, kalau jalan lihat-lihat, dong," tegur seorang perempuan berpakaian gamis biru. Ia membawa tas belanjaan dan sedang menunggu angkutan umum untuk mengantarnya ke pasar.
Alisha terkejut, hampir saja ia menabrak perempuan berumur 35 tahun itu. "Maaf."
Perempuan itu tidak menanggapinya lagi. Ia hanya cemberut sambil melihat ke arah kanan untuk melihat angkutan umum yang akan melewati jalan itu.
Alisha kebingungan menentukan ke mana ia hendak pergi. Seorang lelaki tiba-tiba menyentuh pundaknya membuat Alisha terkejut dan segera berbalik untuk melihat ke belakang. "Anjas."
"Sedang apa kau di sini?" Anjas terlihat tenang padahal Alisha bersikap membencinya.
"Ke mana saja kamu? Aku mencarimu." Alisha masih menahan kemarahannya. Padahal ingin sekali rasanya ia menampar wajah lelaki itu.
"Tenanglah, Alisha. Aku nggak pergi ke mana-mana. Buktinya aku sekarang menemukanmu."
Alisha melirik ke samping kanan-kirinya. Setelah memastikan tidak ada yang akan melewatinya barulah ia bicara, "Kamu harus mengaku pada ibu tiriku bahwa anak di perut ini adalah anakmu."
Anjas tersenyum lalu menyentuh pundak kanan Alisha. "Tenang saja. Aku akan bertanggungjawab."
Alisha melirik pundaknya yang kini disentuh oleh Anjas. "Jangan sentuh aku."
"Ups, maaf." Anjas segera menjauh.
"Siapa perempuan yang bersamamu di mobil semalam?"
"Dia hanya teman."
"Teman tapi mesra maksudmu?" singgungnya. Ia sedikit kesal mendengar jawaban dan ekspresi wajah Anjas yang seolah menganggap remeh permasalahannya. "Aku tidak ingin perempuan itu dekat denganmu lagi."
"Iya," jawab Anjas sambil menarik tangan Alisha.
"Apakah kita akan pulang?" tanya Alisha sambil mengikuti Anjas.
"Iya. Aku mau melamarmu."
Alisha tersenyum. Wajahnya kembali ceria dan harapannya untuk hidup mulai bangkit.
Anjas meminta Alisha untuk ikut bersamanya dengan mengendarai motor. Alisha hanya menuruti permintaan Anjas. Di sepanjang perjalanan Alisha membayangkan bahwa dirinya dan Anjas akan menikah. Hingga dua puluh menit berlalu dalam perjalanan. Alisha terkejut saat Anjas menghentikan motornya di tempat yang sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melewati tempat itu. Jalanan itu nyaris tidak terurus. Terbukti masih banyak pohon-pohon besar dan rumput yang condong ke arah aspal.
"Di mana ini?" tanya Alisha sambil memperhatikan sekitarnya.
"Motorku mogok, nih."
"Mogok?" Alisha mengalihkan perhatiannya ke arah motor.
"Iya, nih. Ban motorku kempes."
Alisha berjalan ke arah ban motor bagian depan. "Aku nggak lihat, tuh."
Anjas berjongkok sambil menekan-nekan bannya. "Perasaan tadi bannya kempes."
Alisha melihat ke atas lalu ke arah pepohonan. Hari menjelang sore. Diperkirakan waktu sudah melewati jam dua. "Aku takut di sini. Tempatnya sepi."
"Istrirahat di sini dulu, ya? Aku capek."
"Hem, okelah." Perempuan ini pasrah walau dalam hati ingin sekali mendesak Anjas agar segera meninggalkan tempat itu.
Ponsel Anjas berdering. Anjas terburu-buru menjauh dari Alisha. "Halo, Tante."
"Apa kamu sudah menemukan Alisha?" Suara ibu tirinya Alisha."Sudah. Dia bersamaku, tapi aku nggak lihat lelaki yang menjawab teleponku itu Tante."
"Kamu tahu, kan apa yang harus kamu lakukan kalau dia sampai membongkar kenakalanmu itu?"
Anjas melirik Alisha. Ia tersenyum di saat Alisha melihat ke arahnya. "Aku tahu, Tan. Tenang saja."
"Jangan sampai om kamu tahu kalau ini rencana kita untuk menutupi aibmu. Buat dia tidak berkutik ketika bertemu dengan bapaknya dan ingat, jangan sampai dia terluka. Atur semuanya seolah itu kesalahannya."
"Tante, tenang saja dan jangan khawatir. Aku sudah menyusun rencana pertama. Jika rencana pertama gagal maka aku akan menjalankan rencana kedua."
***
Dani masih mencari Alisha. Hari semakin gelap. Namun, ia belum menemukan keberadaan perempuan itu. "Ke mana dia?"
Dani mendadak menghentikan mobilnya saat melihat seorang perempuan sedang berlari ke arahnya. "Dia?"
Alisha berlari menuju ke pintu mobil Dani. Ia memohon agar Dani segera membukakannya pintu. "Tolong aku!"
Dani segera membuka pintu. "Lekas masuk!"
Alisha segera memasuki mobil. "Pergi dari sini!"
Tanpa bertanya walaupun masih penasaran dengan sikap panik Alisha. Namun, Dani mengabaikan perasaannya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu.
Alisha melihat ke belakang lalu kembali duduk dengan tenang. "Maaf, aku menyusahkanmu lagi."
"Kenapa kamu pergi dari rumahku lalu berakhir di jalanan sepi ini?" tanya Dani sambil melihat ke depan sana.
"Maaf, aku takut untuk pulang tanpa membawa seorang lelaki yang mau menikahiku."
Dani terdiam mendengar alasan Alisha. Sayup-sayup ia mendengar tangisan perempuan itu. Dalam hati ia merasa kasihan, tapi ia tidak ingin memberikan harapan kepada perempuan itu. Lelaki ini mengambil kotak tisu lalu memberikan kepada Alisha.
Alisha menerima tisu dan segera menghapus air matanya. "Kalau bisa aku nggak mau pulang. Aku mau hidup mandiri, tapi di mana aku bisa tinggal? Nggak ada yang mau memerkerjakan perempuan hamil sepertiku. Lagipula mereka akan menghinaku karena hamil tanpa suami."
"Di mana bapak dari bayimu itu tinggal? Biar aku yang mendatanginya."
"Dia tinggal bersama kami."
"What?" Dani sontak menghentikan mobilnya. Ia terkejut karena lelaki yang telah menghamili perempuan itu ternyata juga tinggal di tempat perempuan itu.
"Aku baru saja bertemu dengannya siang tadi, tapi sampai sekarang dia belum datang untuk menjemputku. Aku berpikir dia meninggalkanku di tempat tadi. Aku ketakutan sekali."
Dani semakin bertambah jengkel dengan pengakuan Alisha. Sudahnya lelaki itu tinggal bersama dengan Alisha, kini ia justru meninggalkan Alisha di jalanan sepi. "Siapa lelaki itu? Kakakmu atau bapakmu? Keterlaluan sekali."
"Dia sepupu tiriku," jawab Alisha sedikit ada rasa jengkel karena Dani sembarangan menuduh ayahnya.
Dani mengambil ponsel yang disimpannya di dalam laci dasboard lalu memberikan ponsel itu kepada Alisha. "Telepon sepupu kamu itu!"
Alisha mencoba untuk menelepon ke nomornya Anjas, tetapi nomor Anjas ternyata berada di luar jangkauan. Setelah mencoba lima kali barulah ia tersambung dengan Anjas. "Anjas."
"Halo, Alisha. Kamu di mana?"
"Kamu yang di mana? Aku sudah nunggu hampir tiga jam di sana, tapi kamu nggak datang juga. Ada beberapa lelaki tadi hampir aja melecehkanku. Untungnya ada yang menolongku." Alisha menangis tersedu-sedu. Meluapkan segala kemarahannya kepada Anjas yang tega meninggalkannya.
Dani terkejut mendengar cerita Alisha. "Jadi dia hampir saja dilecehkan?"
"Tenanglah, Alisha. Aku akan datang. Sekarang kamu di mana? Aku ke sana sekarang."
Alisha memperhatikan jalanan yang mereka lewati. "Aku---" Tiba-tiba Dani merampas ponsel itu. "Aku belum selesai ngomong sama dia."
Dani mengakhiri panggilan telepon. "Aku mau bicara sebentar sama kamu."
Dani menghentikan mobilnya di depan sebuah warung makan yang ramai. Ia sengaja memarkirkan mobilnya di parkiran warung tersebut.
"Mau ngomong apa?" tanya Alisha sambil menatap wajah tampan di sampingnya itu.
"Apa kamu yakin dia nggak akan ninggalin kamu lagi?"
"Aku nggak tahu, tapi cuma dia satu-satunya harapan aku."
"Dia sudah berani ninggalin kamu di jalanan sepi tadi. Dia juga nggak mikirin risikonya. Apa kamu masih mau percaya sama orang seperti itu?"
Alisha terdiam sambil memikirkan perkataan Dani. Memang benar ia harus selalu waspada terhadap Anjas karena bisa saja Anjas berniat untuk membuangnya.
"Apa kamu sekarang sudah paham?" tanya Dani.
"Aku nggak mungkin menutupi kehamilanku terus menerus. Lambat laun pasti akan ketahuan. Nggak ada cara lain untuk menutupi aib kecuali dengan menikah," ucapnya pelan. Berharap Dani mengerti dengan keputusannya.
"Perempuan ini!" keluh Dani dalam hati sambil mengusap kasar wajahnya.
"Antarkan saja aku padanya. Aku berjanji nggak akan mengganggumu lagi. Tolonglah!" Suara Alisha sedikit memelas.
"Hem, oke. Setelah ini aku nggak mau melihatmu lagi. Oke?"
Alisha mengangguk. Ia diizinkan kembali untuk menghubungi Anjas. "Halo, Anjas."
"Kenapa tadi diputus teleponnya? Siapa itu tadi?" tanya Anjas.
"Itu tadi orang yang menolongku."
"Sekarang kamu di mana?"
Alisha melihat ke arah warung makan untuk mencari nama warung makan di depannya, setelah dapat ia lalu menjawab, "Aku ada di depan warung makan Bu Siti."
"Oke, tunggu aku."
Alisha mengembalikan ponsel Dani. "Dia akan datang."
"Hem," jawab Dani sambil menghela napas panjang lalu dihembuskan perlahan. Ia kembali menyimpan ponselnya ke laci.
Satu jam menunggu, tapi Anjas tidak juga datang. Alisha mulai gelisah. Sesekali dia melihat ke arah luar. Berharap lelaki itu akan datang. Terus terang ia sangat malu kepada Dani.
Dani mulai memerlihatkan kebosanannya. Sudah tiga kali ia menguap sambil sesekali melihat arloji perak yang berada di lengan kirinya. "Di mana dia?"
"Aku akan keluar untuk melihatnya. Mungkin saja dia tersesat," kata Alisha sambil keluar dari mobil.
Dani mulai kegerahan padahal ia telah menyalakan AC mobil. Itu semua karena ia menahan kekesalannya pada Anjas yang tak kunjung datang sesuai janji, makanya Dani mulai merasa gelisah dan juga geram atas sikap tidak bertanggungjawab lelaki itu.
Alisha sedang melihat ke sekitarnya. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang, tetapi satu pun terlihat kehadiran Anjas. Mobil hitam kini menepi tepat di hadapan Alisha. Perempuan itu terkejut ketika dua orang lelaki bertubuh kurus sedang melihat kepadanya.
"Siapa kalian?" tanya Alisha sambil mencari keberadaan Anjas lewat matanya yang melirik ke arah mobil. Berharap Anjas juga berada di sana.
"Dia nggak bisa datang ke sini, tapi dia minta tolong sama kami untuk menjemputmu," jawab lelaki berbaju ungu.
"Tadi, kan dia bilang mau ke sini?" tanya Alisha. Ia sedikit khawatir dengan keberadaan dua lelaki yang tidak dikenalinya itu.
"Iya, tapi tiba-tiba ada urusan mendadak," jawab lelaki berbaju putih.
Alisha melihat ke arah mobil Dani. Berharap Dani akan mendatanginya. "Aku nggak mau pergi kalau bukan dia sendiri yang datang."
"Kamu boleh ngomong langsung sama dia kalau nggak percaya sama kami," usul lelaki baju ungu, sambil meminjamkan ponselnya kepada Alisha.
Alisha tampak ragu menerima ponsel itu, beruntung Dani segera merebut ponsel lelaki baju biru kemudian mulai berbicara.
"Di mana kamu?" tanya Dani dengan suara tegas.
"Aku sedang sibuk, jadi aku menyuruh dua temanku untuk menjemputnya," jawab Anjas.
Dani langsung menatap dua lelaki kurus di hadapannya. "Dia sudah menunggumu terlalu lama dan kamu malah menyuruh kedua lelaki jelalatan ini untuk menjemputnya. Di mana akalmu, Bro? Punya otak tolong dipakai!"
Alisha terkejut mendengar bentakan Dani. Begitupula dengan kedua lelaki yang berada di hadapannya.
"Kamu siapa, sih? Calon bapaknya juga, ya?" sindir Anjas.
"Sudah kubilang kalau otak itu dipakai. Kamu yang berbuat, tapi kamu malah menelantarkan cewek seperti ini. Malah sekarang menuduhku."
"Ah, sudahlah. Aku nggak mau berdebat. Suruh Alisha pulang sama mereka!"
Dani belum selesai bicara, tapi Anjas sudah mengakhiri panggilan teleponnya. "Sial sekali."
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau ikut sama kami?" tanya lelaki baju kuning.
Alisha terdiam bingung karena meragukan mereka, tapi juga tidak berani untuk meminta Dani untuk menemaninya."Tunggu dulu!" cegah Dani sambil menarik tangan Alisha agar tidak dibawa oleh mereka. "Apaan, sih, kamu sudah dengar tadi, kan?" tanya lelaki baju putih."Aku ikut sama kalian untuk memastikan kalau cewek ini nggak sedang kalian tipu," jawab Dani."Astaga, Bro. Kami serius mau bawa dia ketemu sama, Anjas," keluh lelaki baju ungu dengan sikapnya yang terlihat serba salah."Aku akan pulang kalau sudah melihat lelaki itu langsung," kata Dani.Kedua lelaki itu saling melirik. Mereka memberikan isyarat yang sulit dimengerti oleh Dani, tetapi Dani tidaklah bodoh, sebab ia memiliki firasat buruk dengan kedua lelaki itu."Aku cuma mau pergi kalau dia ikut denganku," sela Alisha.Dani melirik Alisha lalu tersenyum. Merasa jika dirinya telah menang karena Alisha berpihak kepadanya. "Oke. Ayo, berangkat!" ajak lelaki baju biru.Alisha dan Dani segera memasuki mobil Dani sedangkan kedua
Alisha berteriak seraya mencoba untuk mengambil ponsel dari ayahnya. Namun, Anjas segera menangkap tubuhnya sehingga ia tidak dapat mencegah kemarahan ayahnya. "Ayah, ini tidak seperti yang kau---" Plak! Penjelasan gadis ini terhenti mana kala ayahnya menampar keras wajah kirinya. Gadis ini merasakan sakit dan tiba-tiba merasakan pusing. "Dasar anak durhaka! Inikah balasanku selama ini?" Indra membentak sambil memperlihatkan rekaman video Alisha sedang tidur bersama tiga orang lelaki di kamar hotel. Alisha terkejut karena ia mengenali bahwa kamar itu adalah kamar yang semalam ditempatinya. "Nggak, itu bukan aku, Pak!" "Ini jelas-jelas kamu.'' Nadya mengambil alih ponsel Anjas dari tangan suaminya lalu memaksa Alisha untuk memperhatikan video itu. "Anjas, bela aku!" desak Alisha. "Aku awalnya nggak nyangka, tapi itulah kenyataannya,'' jawab Anjas dengan wajah lesu dan kecewa. Alisha tidak menyangka bahwa ibunya dan Anjas akan merencanakan neraka untuknya. Gadis ini menangis hi
Alisha terdiam saat ia melihat rumah kosong yang sepi jauh dari rumah penduduk sekitar. "Ini rumah, Om?" "Iya. Masuklah!" Madin masuk lebih dahulu. Alisha tampak ragu melangkah masuk ke rumah itu. "Masuklah." "Apa tidak ada tempat lain, Om? Terus terang saya takut di sini. Gelap dan sepi." Ia melihat ke sekitarnya."Bermalam dulu di sini. Besok aku akan antar kamu ke tempat kerja lalu kita akan mencari tempat tinggal untukmu."Luna mengusap perutnya yang mulai bergerak. Nyawa bayi dalam perutnya berdenyut. "Apa kamu lapar? Kita sudah makan tadi." Madin heran melihat Luna yang kini menyentuh perutnya."Nggak, Om. Saya cuma kekenyangan." "Oh, kukira tadi kamu lapar lagi." Madin tertawa. "Ayo, masuk." Alisha memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu. Tidak buruk juga seperti yang ia pikirkan beberapa menit yang lalu. Rumah itu terlihat nyaman ditempati walaupun dinding rumahnya tidak diberi cat. Ia meletakkan tas berisi pakaiannya di atas ranjang. "Tidurlah. Aku harus pergi untu
Madin bingung melihat reaksi Alisha yang tiba-tiba menangis ketika melihat Deni."Kamu kenapa?" tanya Madin.Alisha menggelengkan kepalanya, tidak ingin menceritakan tentang dirinya dan Deni bertemu beberapa hari yang lalu."Dia teman lama, Pak. Mungkin kangen sama sekolah dulu," kata Deni.Madin tertawa, merasa lucu karena seharusnya reaksi Alisha tidak begitu saat bertemu teman lama. "Kupikir tadi apa?""Kami sempat musuhan dulu, pas ketemu sayanya sukses. Mungkin dia malu." Alisha tertawa sambil mengusap air matanya. "Astaga, cuma itu saja," kata Madin sambil melirik Alisha."Berhubung saya dan dia sudah saling kenal, Bapak nggak perlu khawatir. Dia akan saya beri tempat tinggal."Madin menatap Luna. "Baik-baik bekerjanya, ya?"Luna menganggukkan kepala. "Terima kasih.""Sama-sama. Saya masih ada kerjaan. Permisi." Setelah berkata, Madin segera pergi.Alisha itu kini hanya berdua dengan Deni. Alisha hanya berdiri mematung. Dalam hati ia sangat malu karena telah mengabaikan nasiha
"Aduh, sakit," rengek Alisha, sambil menutupi lukanya."Apa ini?" Deni melihat jari telunjuk Alisha yang terluka. Ia lalu melihat pisau yang digunakan oleh perempuan itu. "Kamu ngapain, sih? Sini jarimu!""Aku mencoba membantumu." Ia meringis sambil menyerahkan tangannya untuk dirawat oleh Deni."Ayo, duduk dulu!" Deni mengajak Alisha duduk di kursi dekat pintu menuju ruang makan. "Tunggu sebentar." Alisha menyedot darah di jarinya, kemudian ia melihat jarinya yang masih mengeluarkan darah. "Ish..."Deni datang dengan kotak obat. Ia menyeret kursi lalu duduk di hadapan Alisha. "Tahan, rasanya agak perih.""Auh!" Deni menatap Alisha saat perempuan itu menjerit. Ia tersenyum, kemudian berkata, "Kamu cantik bila sedang meringis."Alisha merenggut karena itu artinya Deni tengah mengejeknya. "Kamu suka seperti itu, ya? Suka bila aku sakit.""Maaf-maaf. Aku cuma bercanda." Deni tertawa.Alisha sejenak terpesona menatap wajah bahagia Deni. Deni segera menghentikan tawanya, kemudian menaik
Alisha tidak dapat tidur. Ia mengalami mimpi buruk. Di dalam mimpinya ia mendapatkan perlakuan buruk dari ibunya Deni. Perempuan ini terbangun ketika ibunya Deni akan menampar wajahnya. Keringat mengalir deras dari pelipis kiri hingga ke dagunya. Ia menelan ludah sambil menggosok wajah. Kilatan cahaya petir tanpa suara kini menerobos masuk dari celah ventilasi di atas jendela. Rupanya tengah ada pemadaman listrik bergilir. Ia mencari sesuatu di laci meja. "Alisha," panggil Deni.Alisha menoleh ke arah pintu." Ya.""Aku membawa lilin." Alisha melihat dengan memanfaatkan penerangan dari cahaya kilatan yang memasuki ventilasi. Ia membuka pintu dan melihat wajah Deni yang diterangi oleh lilin. "Ini lilin untukmu." Deni memberikan lilin yang sudah menyala. "Terima kasih. Em, apa kamu ada? "Aku ada. Pakai saja lilin itu." "Hem, oke." Hatinya berdenyut ketika tidak sengaja menyentuh tangan Deni. "Kamu nggak papa, kan?" Deni heran melihat Alisha yang sepertinya salah tingkah padanya.
Plak! Alisha menampar wajah Dani, setelah itu berlari ke kamarnya. "Kamu salah paham!" Dani berseru sambil menyusul Alisha, tapi perempuan itu telah mengunci pintu sehingga ia hanya dapat terdiam di depan pintu sambil berupaya menjelaskan kesalahpahaman mereka."Aku nggak sengaja, Lis? Aku nggak tahu apa-apa."Alisha menutup kedua kupingnya dengan bantal. Ia sangat kecewa dengan Dani.Dani menghela napas sedalam-dalamnya. Mencoba bersabar dengan sikap Alisha yang enggan mendengar penjelasannya. "Maaf, Alisha. Aku nggak pernah bermaksud merendahkanmu."Alisha terdiam mendengar keputusasaan Dani. Perlahan ia meletakkan bantal sambil merenung. ***Semalam Alisha tidak dapat tidur, jadi ia memutuskan untuk memasak. Meski sangat marah pada Dani, tapi ia tidak mungkin melupakan kebaikan lelaki itu.Dani menatap Alisha, tapi tidak berani menyapanya. Ia makan tanpa bicara sepatah kata pun. Begitupun Alisha, bahkan perempuan itu tidak makan. Sampai pada mereka akan berangkat ke kantor. Alis
Alisha terkejut, buru-buru masuk lagi ke kamar Yeni. "Kamu kenapa?" tanya Yeni. Ia begitu heran saat melihat Alisha yang hampir tersandung saat memasuki kamarnya."Aku nggak sengaja ngelihatin orang di depan kamar ini. Dia marah." Ia melirik ke arah pintu untuk memastikan bahwa orang yang baru saja menegurnya tadi tidak mendatanginya."Mungkin kamu melihatnya tengah marahan sama suaminya. Dia sering begitu." "Aku nggak merasa melihat siapa pun. Bahkan perempuan yang marah tadi. Aneh aja dia bisa lihat aku." "Em, mungkin dia melihatmu di tempat yang kau nggak bisa jangkau," terkanya. Ia sempat berhenti mengemas pakaiannya ketika menjawab pertanyaan Alisha.Alisha memperhatikan pakaian Yeni yang berada di tas dan tas itu belum dikunci oleh Yeni. "Menurutmu ... Dani itu bagaimana?"Yeni menutup tasnya, kemudian meletakkan di lantai, siap untuk dibawa ke hotel. "Baik dan tegas. Kenapa kamu bertanya?" "Aku cuma mau tahu aja.""Loh, bukannya kalian saudara tiri, ya? Masa, nggak tahu?""