Share

Bab 2. Hinaan dari Mertua

"Ibu gak ada hak buat nampar aku! Uang bulanan yang Mas Dimas kasih itu sudah menjadi haknya. Aku dinikahi bukan untuk dijadikan babu. Ibu juga seorang menantu, harusnya tahu cara memperlakukan aku!"

"Kamu mencoba mengajari ibu, ya? Dimas itu anak ibu, sudah sepantasnya dia berbakti pada orang tua tunggalnya ini. Sejak lahir, Dimas sudah sama ibu, dia dikandung, dilahirkan, dirawat, disekolahkan sampai bisa sukses seperti sekarang. Sementara istri, kamu cuma menikmati hasil dari Dimas, tidak merasakan perjuangannya. Jadi, apa salah kalau ibu menganggap kamu babu? Udahlah burik, gak punya pekerjaan lagi!"

Hinaan itu terus saja menghujam dadaku, menyisakan perih yang tidak pernah menemukan penawar. Ibu mertua sudah sangat keterlaluan, sayang sekali aku masih punya hati. Jika saja tidak, sejak dulu nyawanya melayang di tanganku. Namun, kesabaran ini tidak akan bertahan lama, bukankah tadi sudah berjanji untuk melawan?

"Oke, kalau pendapat Ibu kayak gitu. Berarti kalau nanti Nila punya suami, lalu nasibnya sama kayak aku, Ibu gak bakal marah, kan?"

Lagi dan lagi, ibu mertua mendorong bahu ini. Kalau saja tidak berusaha menjaga keseimbangan, aku pasti jatuh ke lantai lagi. Apa dia sudah hilang kewarasan? Mungkinkah ibu melakukan semua ini karena dulu saat tinggal dengan keluarga suaminya, dia mendapat perlakuan yang sama? Namun, kenapa dendam itu dilampiaskan padaku?

Kalian tidak tahu saja bahwa aku pun selalu dipaksa untuk mencari uang sendiri sebagai tambahan jatah bulanan. Baru tiga hari ini aku libur jualan kue kering di jalanan karena bahan habis. Uang hasil jualan akan dipegang oleh ibu karena aku disebut sebagai perempuan yang tidak pandai mengolah keuangan. Sering kali aku bertanya pada diri sendiri, apakah di luar sana semua menantu merasakan hal yang sama denganku?

"Kenapa Ibu diam saja? Jangan-jangan Ibu ini ngarep nanti Nila bakal nikah saka orang tajir melintir, lalu dianggap sebagai ratu? Kalau benar Ibu memimpikan hal itu, harusnya bersikap baik sama menantu sendiri. Karma itu ada, Bu!" lanjutku lagi berusaha menyembunyikan kesedihan.

"Ana, sejak awal ibu sudah mengingatkan kamu untuk selalu patuh pada suami dan mertuamu. Mertua adalah orang tua kamu. Jadi, apa pun yang ibu perintahkan itu harus dituruti, kalau tidak, sama saja dengan durhaka. Kamu itu anak panti, artinya tidak punya orang tua atau keluarga lagi. Jadi, sebagai gantinya, kamu harus menganggap ibu ini ibu kandung kamu. Menurut kalau disuruh!"

Betul, aku memang anak panti setahun sebelum menikah dengan Mas Dimas. Namun, sebelum itu aku juga punya keluarga. Sayang sekali karena ada satu masalah sehingga aku tidak lagi dianggap ada. Ah, terlalu perih jika kembali mengungkit masa lalu. Sampai sekarang pun luka itu selalu ada.

"Jadi, sekarang lakukan pekerjaanmu seperti biasa. Kamu juga belum punya anak, tidak ada alasan lain, kan? Anggap saja sebagai bentuk baktimu pada Dimas. Dimas itu surganya ada pada ibu, jadi kamu harus mendukungnya. Masih baik ibu mengizinkan Dimas ngasih kamu uang bulanan."

Uang bulanan? Diam-diam aku tertawa geli mendengar penuturan ibu mertua. Gaji suami memang terbilang lumayan, tetapi untuk kebutuhan dapur hanya dijatah satu juta dengan catatan makan tiga kali, setiap hari harus berbeda menunya. Satu lagi, aku dituntut menghidangkan ayam setiap makan.

Kalau saja ada satu keinginan yang pasti dan langsung Tuhan kabulkan, maka aku ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Terutama ketika jatuh cinta, percaya pada semua janji dari Mas Dimas sampai rela menikah dengannya. Tidak ada yang peduli dengan perasaan ini, sekalipun letih harus tetap dipaksa bekerja. Sungguh, aku merasa hidup dalam neraka.

"Kenapa diam? Cepat tuh pakaian kotor dicuci, pakai tangan jangan mesin. Listrik mahal, nyari duit itu susah. Sekalian cuci piring juga, kelamaan kalau nunggu Nila!" Ibu mertua kembali memberi perintah.

"Bu, bisa nggak, sih, aku istirahat barang sehari gitu? Aku juga capek gini terus, butuh refreshing. Lihat aku yang sekarang, Bu, sangat beda waktu sebelum menikah sama Mas Dimas. Udahlah kurus, dekil–"

"Emang kamu punya duit buat treatment? Jangan ngimpi deh, Ana. Kamu itu cuma anak panti, miskin dan melarat. Sekarang lebih baik kerjakan semuanya, ngomong doang gak bakal bikin tuh pakaian sama piring kecuci sendiri. Ibu mau tidur siang dulu, kamu jangan berisik, ya. Dan ingat!" Ibu mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah ini lagi. "Jangan makan dua kali!"

Entahlah, aku hanya bisa mengangguk sambil melangkah malas menuju belakang untuk mencuci baju. Bukan tidak kuat melawan seperti janji sebelumnya, tetapi tiba-tiba saja ada rasa kasihan. Ibu sudah setengah abad, tetapi masih kuat seolah baru berusia tiga puluh tahun dan yang membuat aku mengalah kali ini adalah ingin mendapat simpati dari suami. Aku sangat mencintai Mas Dimas, berharap setelah pulang, kami bisa bicara empat mata.

Ya, tentu saja aku ingin menghasut suami sendiri agar memberi pengertian pada ibu dan adiknya untuk bersikap baik padaku atau mencarikan mereka berdua kontrakan serta memaksa Nila bekerja. Gadis itu sudah pantas untuk membantu keuangan keluarga, bukan? Jangan mentang-mentang tidak sarjana, lalu dijadikan alasan sulit menemukan pekerjaan. Toh, salah dia sendiri menolak tawaran Mas Dimas untuk dikuliahkan.

***

Pukul empat sore aku menyelesaikan semua pekerjaan tadi. Lumayan lama karena mencuci pakai tangan. Ibu sudah sering berpesan agar membilas pakaian yang sudah dicuci tadi sebanyak tujuh kali meski tidak terkena najis. Entahlah, mungkin ada baut yang longgar di kepalanya.

"Ambilin makan!"

Baru saja aku merebahkan diri di kamar sebelum mandi, Nila sudah berdiri di beranda pintu. Tatapannya selalu sama, ketus dengan ekspresi wajah sangat menyebalkan. Aku menggertakkan gigi, mengepal kedua tangan, lalu bangkit mendekat padanya.

"Kamu gak punya tangan, ya, sampai harus aku ambilkan?"

"Ya, punya. Cuman sayang banget kalau harus ngambil makanan sendiri. Jangan sampai tangan yang abis di-manicure malah lecet lagi. Kan, gak pantes buat aku!" jawab Nila tersenyum nakal sambil menunjukkan kedua tangan yang dipasangi kuku palsu berwarna merah muda.

Dia berlagak seperti orang kaya, padahal dompet pun kering kalau saja Mas Dimas tidak pernah memberinya uang. Sebenarnya Nila ini ibarat sampah dunia, sama sekali tidak ada manfaatnya. Selain sebagai beban keluarga, dia juga selalu merepotkan teman-temannya.

"Kok, diem? Ambilin dong. Mbak Ana juga mau ke dapur, kan, masak buat makan malam nanti. Jadi sekalian aja!" lanjut Nila lagi.

"Aku? Boleh." Aku tersenyum manis, kemudian menyeret tangan gadis sialan itu ke dapur tepatnya kamar mandi. Shower kunyalakan sebelum mendorong Nila. "Ups, maaf, sengaja. Tangan kamu kotor ya nyentuh lubang closet?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status