"Ibu gak ada hak buat nampar aku! Uang bulanan yang Mas Dimas kasih itu sudah menjadi haknya. Aku dinikahi bukan untuk dijadikan babu. Ibu juga seorang menantu, harusnya tahu cara memperlakukan aku!"
"Kamu mencoba mengajari ibu, ya? Dimas itu anak ibu, sudah sepantasnya dia berbakti pada orang tua tunggalnya ini. Sejak lahir, Dimas sudah sama ibu, dia dikandung, dilahirkan, dirawat, disekolahkan sampai bisa sukses seperti sekarang. Sementara istri, kamu cuma menikmati hasil dari Dimas, tidak merasakan perjuangannya. Jadi, apa salah kalau ibu menganggap kamu babu? Udahlah burik, gak punya pekerjaan lagi!"Hinaan itu terus saja menghujam dadaku, menyisakan perih yang tidak pernah menemukan penawar. Ibu mertua sudah sangat keterlaluan, sayang sekali aku masih punya hati. Jika saja tidak, sejak dulu nyawanya melayang di tanganku. Namun, kesabaran ini tidak akan bertahan lama, bukankah tadi sudah berjanji untuk melawan?"Oke, kalau pendapat Ibu kayak gitu. Berarti kalau nanti Nila punya suami, lalu nasibnya sama kayak aku, Ibu gak bakal marah, kan?"Lagi dan lagi, ibu mertua mendorong bahu ini. Kalau saja tidak berusaha menjaga keseimbangan, aku pasti jatuh ke lantai lagi. Apa dia sudah hilang kewarasan? Mungkinkah ibu melakukan semua ini karena dulu saat tinggal dengan keluarga suaminya, dia mendapat perlakuan yang sama? Namun, kenapa dendam itu dilampiaskan padaku?Kalian tidak tahu saja bahwa aku pun selalu dipaksa untuk mencari uang sendiri sebagai tambahan jatah bulanan. Baru tiga hari ini aku libur jualan kue kering di jalanan karena bahan habis. Uang hasil jualan akan dipegang oleh ibu karena aku disebut sebagai perempuan yang tidak pandai mengolah keuangan. Sering kali aku bertanya pada diri sendiri, apakah di luar sana semua menantu merasakan hal yang sama denganku?"Kenapa Ibu diam saja? Jangan-jangan Ibu ini ngarep nanti Nila bakal nikah saka orang tajir melintir, lalu dianggap sebagai ratu? Kalau benar Ibu memimpikan hal itu, harusnya bersikap baik sama menantu sendiri. Karma itu ada, Bu!" lanjutku lagi berusaha menyembunyikan kesedihan."Ana, sejak awal ibu sudah mengingatkan kamu untuk selalu patuh pada suami dan mertuamu. Mertua adalah orang tua kamu. Jadi, apa pun yang ibu perintahkan itu harus dituruti, kalau tidak, sama saja dengan durhaka. Kamu itu anak panti, artinya tidak punya orang tua atau keluarga lagi. Jadi, sebagai gantinya, kamu harus menganggap ibu ini ibu kandung kamu. Menurut kalau disuruh!"Betul, aku memang anak panti setahun sebelum menikah dengan Mas Dimas. Namun, sebelum itu aku juga punya keluarga. Sayang sekali karena ada satu masalah sehingga aku tidak lagi dianggap ada. Ah, terlalu perih jika kembali mengungkit masa lalu. Sampai sekarang pun luka itu selalu ada."Jadi, sekarang lakukan pekerjaanmu seperti biasa. Kamu juga belum punya anak, tidak ada alasan lain, kan? Anggap saja sebagai bentuk baktimu pada Dimas. Dimas itu surganya ada pada ibu, jadi kamu harus mendukungnya. Masih baik ibu mengizinkan Dimas ngasih kamu uang bulanan."Uang bulanan? Diam-diam aku tertawa geli mendengar penuturan ibu mertua. Gaji suami memang terbilang lumayan, tetapi untuk kebutuhan dapur hanya dijatah satu juta dengan catatan makan tiga kali, setiap hari harus berbeda menunya. Satu lagi, aku dituntut menghidangkan ayam setiap makan.Kalau saja ada satu keinginan yang pasti dan langsung Tuhan kabulkan, maka aku ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Terutama ketika jatuh cinta, percaya pada semua janji dari Mas Dimas sampai rela menikah dengannya. Tidak ada yang peduli dengan perasaan ini, sekalipun letih harus tetap dipaksa bekerja. Sungguh, aku merasa hidup dalam neraka."Kenapa diam? Cepat tuh pakaian kotor dicuci, pakai tangan jangan mesin. Listrik mahal, nyari duit itu susah. Sekalian cuci piring juga, kelamaan kalau nunggu Nila!" Ibu mertua kembali memberi perintah."Bu, bisa nggak, sih, aku istirahat barang sehari gitu? Aku juga capek gini terus, butuh refreshing. Lihat aku yang sekarang, Bu, sangat beda waktu sebelum menikah sama Mas Dimas. Udahlah kurus, dekil–""Emang kamu punya duit buat treatment? Jangan ngimpi deh, Ana. Kamu itu cuma anak panti, miskin dan melarat. Sekarang lebih baik kerjakan semuanya, ngomong doang gak bakal bikin tuh pakaian sama piring kecuci sendiri. Ibu mau tidur siang dulu, kamu jangan berisik, ya. Dan ingat!" Ibu mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah ini lagi. "Jangan makan dua kali!"Entahlah, aku hanya bisa mengangguk sambil melangkah malas menuju belakang untuk mencuci baju. Bukan tidak kuat melawan seperti janji sebelumnya, tetapi tiba-tiba saja ada rasa kasihan. Ibu sudah setengah abad, tetapi masih kuat seolah baru berusia tiga puluh tahun dan yang membuat aku mengalah kali ini adalah ingin mendapat simpati dari suami. Aku sangat mencintai Mas Dimas, berharap setelah pulang, kami bisa bicara empat mata.Ya, tentu saja aku ingin menghasut suami sendiri agar memberi pengertian pada ibu dan adiknya untuk bersikap baik padaku atau mencarikan mereka berdua kontrakan serta memaksa Nila bekerja. Gadis itu sudah pantas untuk membantu keuangan keluarga, bukan? Jangan mentang-mentang tidak sarjana, lalu dijadikan alasan sulit menemukan pekerjaan. Toh, salah dia sendiri menolak tawaran Mas Dimas untuk dikuliahkan.***Pukul empat sore aku menyelesaikan semua pekerjaan tadi. Lumayan lama karena mencuci pakai tangan. Ibu sudah sering berpesan agar membilas pakaian yang sudah dicuci tadi sebanyak tujuh kali meski tidak terkena najis. Entahlah, mungkin ada baut yang longgar di kepalanya."Ambilin makan!"Baru saja aku merebahkan diri di kamar sebelum mandi, Nila sudah berdiri di beranda pintu. Tatapannya selalu sama, ketus dengan ekspresi wajah sangat menyebalkan. Aku menggertakkan gigi, mengepal kedua tangan, lalu bangkit mendekat padanya."Kamu gak punya tangan, ya, sampai harus aku ambilkan?""Ya, punya. Cuman sayang banget kalau harus ngambil makanan sendiri. Jangan sampai tangan yang abis di-manicure malah lecet lagi. Kan, gak pantes buat aku!" jawab Nila tersenyum nakal sambil menunjukkan kedua tangan yang dipasangi kuku palsu berwarna merah muda.Dia berlagak seperti orang kaya, padahal dompet pun kering kalau saja Mas Dimas tidak pernah memberinya uang. Sebenarnya Nila ini ibarat sampah dunia, sama sekali tidak ada manfaatnya. Selain sebagai beban keluarga, dia juga selalu merepotkan teman-temannya."Kok, diem? Ambilin dong. Mbak Ana juga mau ke dapur, kan, masak buat makan malam nanti. Jadi sekalian aja!" lanjut Nila lagi."Aku? Boleh." Aku tersenyum manis, kemudian menyeret tangan gadis sialan itu ke dapur tepatnya kamar mandi. Shower kunyalakan sebelum mendorong Nila. "Ups, maaf, sengaja. Tangan kamu kotor ya nyentuh lubang closet?""Astaga, Mbak Ana. Kamu tahu gak berapa uang yang harus aku keluarkan buat perawatan tangan?" jerit Nila, wajahnya merah padam dengan kedua mata melotot tajam. Gadis itu kemudian mencuci tangannya pakai sabun sambil terus menghentakkan kakinya. Aku sendiri tertawa ketus."Aku tahu. Aku juga tahu kalau uang yang kamu pakai itu dari Mas Dimas, kan? Dasar gak tahu diri, udah menumpang hidup, ongkang kaki malah morotin duit Mas Dimas juga. Kamu gak ingat masmu udah punya istri? Umur segitu harusnya udah bisa nyari duit sendiri. Dibantu dikit mah gak masalah, lah ini kamu keenakan!" cibirku semakin kesal, tetapi mengakhiri kalimat dengan tawa menggelegar.Nila mungkin mengira aku ini sudah kehilangan akal sehat atau justru dianggap cemburu. Ya, aku memang iri karena seharusnya Mas Dimas memberiku jatah bulanan khusus untuk treatment. Namun, semua hanya sebatas angan, ketika Mas Dimas hendak mengeluarkan uang, ibunya pasti datang sebagai setan, melakukan segala cara demi mematahkan harapanku
Cukup lama kami bersitegang. Aku senang melihat raut wajah ibu dan Nila yang tampak pucat. Apa sungguh dia ketakutan melihat aku yang mulai berani setelah hampir tiga tahun menjadi babu di rumah suami sendiri? Cuih, sekalipun mereka menangis darah, aku tidak akan pernah memberi maaf.Luka yang digores dalam hati kecil ini sudah terlalu menganga. Disebabkan perlakuan mereka, aku sudah melakukan percobaan bunuh diri hampir empat kali dalam dua tahun terakhir. Lucunya, Mas Dimas selalu berhasil mencegah, walau tetap saja berujung perdebatan panjang di mana aku dianggap salah karena tidak mampu bersabar.Sabar seperti apa yang mereka inginkan? Pertanyaan itu selalu hadir dalam benak, setiap malam sebelum aku kembali memejamkan mata."Apa-apaan ini?!"Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Aku segera menyambut Mas Dimas yang berdiri di beranda pintu dengan kedua mata menatap penuh kebencian pada istri sendiri. Namun, semua itu bukan masalah lagi karena aku sudah sering menerima perlakuan bur
Ada luka menyekat di sudut hati terdalam, tetapi tidak sampai membuat aku menitikkan air mata di hadapan mereka. Untuk apa menangis jika pada akhirnya aku tetap dianggap bersalah? Mas Dimas terlalu ceroboh, dia sangat bodoh sehingga enggan berpikir panjang. Baktiku selama ini ternyata tidak berarti apa-apa di matanya.Senyum kemenangan terukir indah di bibir ibu mertua dan juga Nila. Mereka pasti mengadakan pesta untuk merayakan kepergianku. Kesal, sayang sekali hanya bisa mengepalkan tangan. Kedua iblis itu kembali menghasut Mas Dimas untuk segera mengusir aku tanpa memberi bekal."Pake nanya alasan lagi. Toh, dia nggak punya anak, Dimas. Ngapain dikasih ongkos pulang? Lagian mau pulang ke mana dia? Biarin hidup mandiri, selama ini terlalu ongkang kaki seolah dia itu ratu.""Betul kata ibu, Mas. Kalau mau pulang juga paling dia ke panti tempat kalian bertemu dulu. Sekali-kali biarin Mbak Ana tahu gimana susahnya nyari duit, bukan ngabisin doang!" timpal Nila lagi. Gadis itu semakin ti
"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri."Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondan
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos. Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan. "Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi. Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pa
"Apa? Membunuh?!" Aku memekik kaget karena tidak menduga rencana yang Kak Alyssa katakan. Selama hidup di dunia, jangankan membunuh orang, balas memukul saja aku tidak pernah. Ada rasa iba ketika hendak membalas perbuatan mereka. Namun, bukan berarti lemah juga. Aku hanya tidak suka keributan. "Ya, membunuh mereka." Kak Alyssa menjawab santai. Perangai kami memang sedikit berbeda, dia kerap terlibat perkelahian saat masih duduk di bangku sekolah dulu. Teman-temannya pun mayoritas laki-laki yang tidak takut membela di garda depan ketika Kak Alyssa butuh bantuan. "Kenapa tidak dipenjarakan saja, Kak?" "Aku tidak mau cerita kehidupanmu tersebar di telinga orang-orang bodoh, Za." "Lantas apa bedanya kalau aku sudah membunuh mereka?" Mungkin memang pantas disebut sebagai pengecut. Aku terlalu penakut, apalagi dengan penampilan sekarang. Semua orang mungkin akan balik menyalahkan seandainya aku menyerang Mas Dimas dengan selingkuhannya. Bukankah sekarang ada slogan 'kamu cantik, kamu a
Setelah menghabiskan waktu treatment wajah di salah satu klinik terbesar di kota ini, kami lanjut pada perawatan badan dan rambut. Pada intinya, full perawatan bersama Kak Alyssa untuk mempercantik diri tanpa peduli berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan. Kami memakai kartu ATM masing-masing.Kak Alyssa begitu perhatian, membeli vitamin dan susu yang direkomendasikan untuk menambah berat badan. Aku pun dianjurkan rutin berolahraga atas bimbingan teman Kak Alyssa yang memang ahli di bidangnya. Memang seperti itulah, kita semua cantik, hanya kekurangan uang saja. Sekarang aku kembali menjadi orang kaya, mudah saja mendapatkan kulit sehat terawat seperti dulu.Teringat dua bulan silam ketika Mas Dimas pulang dari kantor. Aku yang baru selesai memasak bergegas ke depan untuk menyambut seperti biasa. Namun, ketika itu Mas Dimas langsung memberi tatapan ketus. "Mau nyambut suami, kok, bau bawang begitu?!" katanya tanpa memikirkan perasaanku.Memangnya kenapa kalau bau bawang? Aku belum
"Ya jelaslah hasil minjam. Tahu sendiri kan kalau Ana itu tinggal di panti." Mas Dimas menimpali, menatap jijik padaku."Keliatan gak cocok aja tuh baju di badannya. Baju bagus, body sama muka jelek. Pinjam di mana? Kalaupun punya sendiri paling dapat dari jemuran orang." Sandra tersenyum kecut, tetapi aku tetap tanpa ekspresi.Sepasang kekasih hina itu terus saja mengutarakan kebenciannya. Memandang remeh padaku sambil terus berdoa agar kelak aku mendapat azab karena mencoba terlihat kaya di depan semua orang. Sungguh aneh, jelas sekali mereka cemburu.Melihat reaksi mereka bahkan sebelum aku menjadi cantik membangkitkan rasa semangat. Aku akan menuruti semua keinginan Kak Alyssa agar dendam bisa terbalaskan dan bukan sebatas rencana. Penyesalan tidak boleh datang membelenggu untuk kali ke dua."Lagian kamu ngapain ke sini, Ana? Mau maling, ya?" tuduh Mas Dimas lagi begitu lancang.Menyadari Kak Alyssa marah, aku langsung maju selangkah mendekati keduanya. Sengaja memberi tatapan taj