Share

Bab 3. Istri vs Adik Ipar

"Astaga, Mbak Ana. Kamu tahu gak berapa uang yang harus aku keluarkan buat perawatan tangan?" jerit Nila, wajahnya merah padam dengan kedua mata melotot tajam. Gadis itu kemudian mencuci tangannya pakai sabun sambil terus menghentakkan kakinya. Aku sendiri tertawa ketus.

"Aku tahu. Aku juga tahu kalau uang yang kamu pakai itu dari Mas Dimas, kan? Dasar gak tahu diri, udah menumpang hidup, ongkang kaki malah morotin duit Mas Dimas juga. Kamu gak ingat masmu udah punya istri? Umur segitu harusnya udah bisa nyari duit sendiri. Dibantu dikit mah gak masalah, lah ini kamu keenakan!" cibirku semakin kesal, tetapi mengakhiri kalimat dengan tawa menggelegar.

Nila mungkin mengira aku ini sudah kehilangan akal sehat atau justru dianggap cemburu. Ya, aku memang iri karena seharusnya Mas Dimas memberiku jatah bulanan khusus untuk treatment. Namun, semua hanya sebatas angan, ketika Mas Dimas hendak mengeluarkan uang, ibunya pasti datang sebagai setan, melakukan segala cara demi mematahkan harapanku.

Terlalu banyak alasan yang dia beri pada Mas Dimas. Misalkan saja menabung untuk umroh, beli mobil baru atau mungkin persiapan pernikahan Nila kelak yang akan dilangsungkan dengan sangat meriah dan mewah. Padahal, pacar Nila pun belum juga melamar, hanya berani membawa gadis itu keluar rumah dan pulang larut hampir tiap malam. Ketika aku menegur, ibu kembali mengadu yang tidak-tidak pada Mas Dimas.

"Yang perlu sadar diri itu kamu, Mbak. Selama ini kamu juga nikmatin hasil keringat Mas Dimas, kan? Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak? Aku ini adik kandungnya, tanggungjawabnya, kami sedarah, berasal dari rahim yang sama. Lah, Mbak Ana sendiri cuma orang asing, anak panti yang dipungut sama Mas Dimas karena kebaikan hatinya. Sekarang hidupmu terbilang layak karena beruntung doang, tapi aku nggak bakal biarin Mas Dimas diperalat sama anak panti jelek kayak Mbak Ana!"

Jujur, aku tidak bisa berkutik sekarang. Ada perasaan ragu jika terus membalas perbuatan Nila dan juga ibu mertua. Bukan bagaimana, aku takut diceraikan, lalu diusir dari rumah ini. Selain Mas Dimas, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Lelaki itulah yang selama ini menjadi tempatku bersandar walau dalam beberapa bulan terakhir dia semakin berubah, alasannya adalah sibuk bekerja.

Andai saja aku punya pekerjaan tetap, sudah sejak lama aku angkat kaki dari rumah ini. Sayang sekali karena dompet tidak punya isi. Biasanya si Miskin akan selalu kalah. Ingin balas dendam pun tidak berani karena berdiri sendiri. Mampukah aku melakukan semuanya nanti, Tuhan?

"Kuperingatkan padamu untuk tidak pernah mengusik hidup aku lagi!" ancam Nila seolah usianya lebih tua dariku.

"Hei, siapa yang mengusik siapa? Kalau tahu malu, kamu pasti pergi dari si–"

Belum selesai aku bicara, Nila dengan berani memukul pundakku, berulang kali. Kedua matanya semakin merah. Sial, aku sampai berteriak, meronta agar dilepas. Akan tetapi, semakin meronta, Nila justru mencengkram leherku.

"Aku adik Mas Dimas. Rumah Mas Dimas, berarti rumah aku juga. Paham?!"

"Suami mendirikan rumah itu untuk istrinya tinggali, bukan adik atau ibunya. Andai Mas Dimas tak menikah, rumah ini bisa kamu klaim milikmu. Enyah dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu, Nila!"

Gadis itu tidak mau beranjak, jadi kuputuskan untuk melangkah ke luar lebih dulu. Sial, sekarang Nila dengan berani menarik bajuku, lalu mendorong sampai kepala menabrak dinding. Aku meringis menahan sakit, tetapi adik ipar sialan itu tidak peduli. Aku ditendang, diserang habis-habisan dalam keadaan lemah.

Baru saja aku ingin membalas dengan melayangkan tamparan pada wajahnya, ibu mertua datang, menangkis tangan kiriku dengan gerakan cepat. Kami saling beradu pandang untuk beberapa saat saja karena setelah itu aku memejamkan mata setelah dijitak tiga kali. Penderitaanku terus berlanjut, bahkan lebih parah dari hari sebelumnya.

"Makanya jangan sok berani kalau tidak punya kuasa. Sekarang itu kamu kaya, kamu aman. Bercermin dulu dong sebelum menyerang aku sama ibu. Kamu pikir aku gak dengar tadi kamu berusaha melawan ibuku?" Nila kembali menendang perutku sekuat tenaga.

"Udahlah, Nil. Jangan terlalu disiksa, tuh mukanya ada lebam. Kalau Dimas marah gimana?" Ibu mertua melebarkan senyuman. "Eh, tapi ibu bercanda. Lanjutkan saja, Nil. Ibu yang bakal jelasin ke Dimas biar kamu gak kena marah. Tuh perempuan emang wajib dikasih pelajaran!"

Nila memekakkan tawa. Aku berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba teringat masa kecil dulu. Ya, aku adalah gadis manja, di mana keinginannya selalu dikabulkan oleh mama dan papa. Apa pun bahkan jika mereka semua menganggap itu sesuatu mustahil, papa dan mama akan berusaha mengabulkan. Sekarang tidak lagi, karena sebuah kesalahan aku harus hidup sendiri dan sekarang aku menyesali keputusan itu.

"Aku akan membuat hidupmu seperti dalam ner–"

"Diam!" Aku membentak, memejamkan mata seraya menarik napas panjang. "Salah. Aku yang kelak akan membuat hidupmu dalam neraka!"

Ibu mertua yang baru saja melangkah pergi mendadak menoleh. Dia menganga ketika melihat putrinya kuhajar habis-habisan. Rambut kutarik lebih kasar dari perlakuannya padaku, kemudian menendang perut itu dan terakhir memberi pukulan di pelipis kanannya sampai mengeluarkan darah segar. Dia meraung kesakitan, meminta tolong tanpa suara.

Secepat kilat ibu mertua memeluk anak gadis kesayangannya. Mengusap kepala dengan lembut untuk menenangkan hati Nila. Aku tertawa geli, meski sebenarnya merasa sedih juga karena rindu pada mama.

"Kamu jangan keterlaluan, Ana. Ibu bisa laporin kamu ke polisi!" teriak ibu mertua, tetapi aku tidak takut sama sekali.

"Kalian boleh mengirim aku ke penjara, tetapi sebelum itu aku harus mengirim kalian ke neraka. Hari ini, akan menjadi hari terakhir kalian menatap dunia!"

Ibu mertua gelagapan, dia mendorong Nila menuju kamar, lalu berpesan padanya untuk meminta Mas Dimas segera pulang. Apakah mereka ketakutan? Aku senang dengan hal itu dan akan membuat mereka gemetaran. Siapa yang memulai seharusnya mengakhiri. Namun, cerita kami berbeda. Akan kubuat kedua perempuan hina itu bertekuk lutut meminta maaf atau justru meregang nyawa dengan sadis.

"Jangan mendekat. Ana, ingat siapa dirimu!"

"Memangnya aku siapa, Bu?"

"Ana, kamu itu menantu ibu. Kenapa kamu menatap ibu seolah musuh yang hendak kamu bunuh? Jangan bergerak dan tetap di tempatmu, Dimas akan pulang." Lihat saja, bibir ibu mertua gemetaran, aku mengembangkan senyum melihatnya.

Menantu? Jadi, sekarang tua bangka itu menganggap aku seorang menantu? Bukankah ibu bilang aku adalah babu di rumah ini? Lucu sekali, semua bisa berubah dalam waktu singkat setelah melihat amarah yang aku tampakkan. Tentu saja Mas Dimas harus segera pulang jika ingin melihat ibu dan adiknya meregang nyawa.

"Tidak, jangan mendekat, Ana. Ibu minta maaf, ibu tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi!" Sekarang ibu mertua bertekuk lutut. Air mata itu mengalir deras, tetapi aku sama sekali tidak tersentuh. Sekarang dia berteriak ketika aku mendorong tubuhnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Khotipah
bodoh banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status