"Astaga, Mbak Ana. Kamu tahu gak berapa uang yang harus aku keluarkan buat perawatan tangan?" jerit Nila, wajahnya merah padam dengan kedua mata melotot tajam. Gadis itu kemudian mencuci tangannya pakai sabun sambil terus menghentakkan kakinya. Aku sendiri tertawa ketus.
"Aku tahu. Aku juga tahu kalau uang yang kamu pakai itu dari Mas Dimas, kan? Dasar gak tahu diri, udah menumpang hidup, ongkang kaki malah morotin duit Mas Dimas juga. Kamu gak ingat masmu udah punya istri? Umur segitu harusnya udah bisa nyari duit sendiri. Dibantu dikit mah gak masalah, lah ini kamu keenakan!" cibirku semakin kesal, tetapi mengakhiri kalimat dengan tawa menggelegar.Nila mungkin mengira aku ini sudah kehilangan akal sehat atau justru dianggap cemburu. Ya, aku memang iri karena seharusnya Mas Dimas memberiku jatah bulanan khusus untuk treatment. Namun, semua hanya sebatas angan, ketika Mas Dimas hendak mengeluarkan uang, ibunya pasti datang sebagai setan, melakukan segala cara demi mematahkan harapanku.Terlalu banyak alasan yang dia beri pada Mas Dimas. Misalkan saja menabung untuk umroh, beli mobil baru atau mungkin persiapan pernikahan Nila kelak yang akan dilangsungkan dengan sangat meriah dan mewah. Padahal, pacar Nila pun belum juga melamar, hanya berani membawa gadis itu keluar rumah dan pulang larut hampir tiap malam. Ketika aku menegur, ibu kembali mengadu yang tidak-tidak pada Mas Dimas."Yang perlu sadar diri itu kamu, Mbak. Selama ini kamu juga nikmatin hasil keringat Mas Dimas, kan? Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak? Aku ini adik kandungnya, tanggungjawabnya, kami sedarah, berasal dari rahim yang sama. Lah, Mbak Ana sendiri cuma orang asing, anak panti yang dipungut sama Mas Dimas karena kebaikan hatinya. Sekarang hidupmu terbilang layak karena beruntung doang, tapi aku nggak bakal biarin Mas Dimas diperalat sama anak panti jelek kayak Mbak Ana!"Jujur, aku tidak bisa berkutik sekarang. Ada perasaan ragu jika terus membalas perbuatan Nila dan juga ibu mertua. Bukan bagaimana, aku takut diceraikan, lalu diusir dari rumah ini. Selain Mas Dimas, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Lelaki itulah yang selama ini menjadi tempatku bersandar walau dalam beberapa bulan terakhir dia semakin berubah, alasannya adalah sibuk bekerja.Andai saja aku punya pekerjaan tetap, sudah sejak lama aku angkat kaki dari rumah ini. Sayang sekali karena dompet tidak punya isi. Biasanya si Miskin akan selalu kalah. Ingin balas dendam pun tidak berani karena berdiri sendiri. Mampukah aku melakukan semuanya nanti, Tuhan?"Kuperingatkan padamu untuk tidak pernah mengusik hidup aku lagi!" ancam Nila seolah usianya lebih tua dariku."Hei, siapa yang mengusik siapa? Kalau tahu malu, kamu pasti pergi dari si–"Belum selesai aku bicara, Nila dengan berani memukul pundakku, berulang kali. Kedua matanya semakin merah. Sial, aku sampai berteriak, meronta agar dilepas. Akan tetapi, semakin meronta, Nila justru mencengkram leherku."Aku adik Mas Dimas. Rumah Mas Dimas, berarti rumah aku juga. Paham?!""Suami mendirikan rumah itu untuk istrinya tinggali, bukan adik atau ibunya. Andai Mas Dimas tak menikah, rumah ini bisa kamu klaim milikmu. Enyah dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu, Nila!"Gadis itu tidak mau beranjak, jadi kuputuskan untuk melangkah ke luar lebih dulu. Sial, sekarang Nila dengan berani menarik bajuku, lalu mendorong sampai kepala menabrak dinding. Aku meringis menahan sakit, tetapi adik ipar sialan itu tidak peduli. Aku ditendang, diserang habis-habisan dalam keadaan lemah.Baru saja aku ingin membalas dengan melayangkan tamparan pada wajahnya, ibu mertua datang, menangkis tangan kiriku dengan gerakan cepat. Kami saling beradu pandang untuk beberapa saat saja karena setelah itu aku memejamkan mata setelah dijitak tiga kali. Penderitaanku terus berlanjut, bahkan lebih parah dari hari sebelumnya."Makanya jangan sok berani kalau tidak punya kuasa. Sekarang itu kamu kaya, kamu aman. Bercermin dulu dong sebelum menyerang aku sama ibu. Kamu pikir aku gak dengar tadi kamu berusaha melawan ibuku?" Nila kembali menendang perutku sekuat tenaga."Udahlah, Nil. Jangan terlalu disiksa, tuh mukanya ada lebam. Kalau Dimas marah gimana?" Ibu mertua melebarkan senyuman. "Eh, tapi ibu bercanda. Lanjutkan saja, Nil. Ibu yang bakal jelasin ke Dimas biar kamu gak kena marah. Tuh perempuan emang wajib dikasih pelajaran!"Nila memekakkan tawa. Aku berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba teringat masa kecil dulu. Ya, aku adalah gadis manja, di mana keinginannya selalu dikabulkan oleh mama dan papa. Apa pun bahkan jika mereka semua menganggap itu sesuatu mustahil, papa dan mama akan berusaha mengabulkan. Sekarang tidak lagi, karena sebuah kesalahan aku harus hidup sendiri dan sekarang aku menyesali keputusan itu."Aku akan membuat hidupmu seperti dalam ner–""Diam!" Aku membentak, memejamkan mata seraya menarik napas panjang. "Salah. Aku yang kelak akan membuat hidupmu dalam neraka!"Ibu mertua yang baru saja melangkah pergi mendadak menoleh. Dia menganga ketika melihat putrinya kuhajar habis-habisan. Rambut kutarik lebih kasar dari perlakuannya padaku, kemudian menendang perut itu dan terakhir memberi pukulan di pelipis kanannya sampai mengeluarkan darah segar. Dia meraung kesakitan, meminta tolong tanpa suara.Secepat kilat ibu mertua memeluk anak gadis kesayangannya. Mengusap kepala dengan lembut untuk menenangkan hati Nila. Aku tertawa geli, meski sebenarnya merasa sedih juga karena rindu pada mama."Kamu jangan keterlaluan, Ana. Ibu bisa laporin kamu ke polisi!" teriak ibu mertua, tetapi aku tidak takut sama sekali."Kalian boleh mengirim aku ke penjara, tetapi sebelum itu aku harus mengirim kalian ke neraka. Hari ini, akan menjadi hari terakhir kalian menatap dunia!"Ibu mertua gelagapan, dia mendorong Nila menuju kamar, lalu berpesan padanya untuk meminta Mas Dimas segera pulang. Apakah mereka ketakutan? Aku senang dengan hal itu dan akan membuat mereka gemetaran. Siapa yang memulai seharusnya mengakhiri. Namun, cerita kami berbeda. Akan kubuat kedua perempuan hina itu bertekuk lutut meminta maaf atau justru meregang nyawa dengan sadis."Jangan mendekat. Ana, ingat siapa dirimu!""Memangnya aku siapa, Bu?""Ana, kamu itu menantu ibu. Kenapa kamu menatap ibu seolah musuh yang hendak kamu bunuh? Jangan bergerak dan tetap di tempatmu, Dimas akan pulang." Lihat saja, bibir ibu mertua gemetaran, aku mengembangkan senyum melihatnya.Menantu? Jadi, sekarang tua bangka itu menganggap aku seorang menantu? Bukankah ibu bilang aku adalah babu di rumah ini? Lucu sekali, semua bisa berubah dalam waktu singkat setelah melihat amarah yang aku tampakkan. Tentu saja Mas Dimas harus segera pulang jika ingin melihat ibu dan adiknya meregang nyawa."Tidak, jangan mendekat, Ana. Ibu minta maaf, ibu tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi!" Sekarang ibu mertua bertekuk lutut. Air mata itu mengalir deras, tetapi aku sama sekali tidak tersentuh. Sekarang dia berteriak ketika aku mendorong tubuhnya.Cukup lama kami bersitegang. Aku senang melihat raut wajah ibu dan Nila yang tampak pucat. Apa sungguh dia ketakutan melihat aku yang mulai berani setelah hampir tiga tahun menjadi babu di rumah suami sendiri? Cuih, sekalipun mereka menangis darah, aku tidak akan pernah memberi maaf.Luka yang digores dalam hati kecil ini sudah terlalu menganga. Disebabkan perlakuan mereka, aku sudah melakukan percobaan bunuh diri hampir empat kali dalam dua tahun terakhir. Lucunya, Mas Dimas selalu berhasil mencegah, walau tetap saja berujung perdebatan panjang di mana aku dianggap salah karena tidak mampu bersabar.Sabar seperti apa yang mereka inginkan? Pertanyaan itu selalu hadir dalam benak, setiap malam sebelum aku kembali memejamkan mata."Apa-apaan ini?!"Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Aku segera menyambut Mas Dimas yang berdiri di beranda pintu dengan kedua mata menatap penuh kebencian pada istri sendiri. Namun, semua itu bukan masalah lagi karena aku sudah sering menerima perlakuan bur
Ada luka menyekat di sudut hati terdalam, tetapi tidak sampai membuat aku menitikkan air mata di hadapan mereka. Untuk apa menangis jika pada akhirnya aku tetap dianggap bersalah? Mas Dimas terlalu ceroboh, dia sangat bodoh sehingga enggan berpikir panjang. Baktiku selama ini ternyata tidak berarti apa-apa di matanya.Senyum kemenangan terukir indah di bibir ibu mertua dan juga Nila. Mereka pasti mengadakan pesta untuk merayakan kepergianku. Kesal, sayang sekali hanya bisa mengepalkan tangan. Kedua iblis itu kembali menghasut Mas Dimas untuk segera mengusir aku tanpa memberi bekal."Pake nanya alasan lagi. Toh, dia nggak punya anak, Dimas. Ngapain dikasih ongkos pulang? Lagian mau pulang ke mana dia? Biarin hidup mandiri, selama ini terlalu ongkang kaki seolah dia itu ratu.""Betul kata ibu, Mas. Kalau mau pulang juga paling dia ke panti tempat kalian bertemu dulu. Sekali-kali biarin Mbak Ana tahu gimana susahnya nyari duit, bukan ngabisin doang!" timpal Nila lagi. Gadis itu semakin ti
"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri."Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondan
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos. Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan. "Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi. Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pa
"Apa? Membunuh?!" Aku memekik kaget karena tidak menduga rencana yang Kak Alyssa katakan. Selama hidup di dunia, jangankan membunuh orang, balas memukul saja aku tidak pernah. Ada rasa iba ketika hendak membalas perbuatan mereka. Namun, bukan berarti lemah juga. Aku hanya tidak suka keributan. "Ya, membunuh mereka." Kak Alyssa menjawab santai. Perangai kami memang sedikit berbeda, dia kerap terlibat perkelahian saat masih duduk di bangku sekolah dulu. Teman-temannya pun mayoritas laki-laki yang tidak takut membela di garda depan ketika Kak Alyssa butuh bantuan. "Kenapa tidak dipenjarakan saja, Kak?" "Aku tidak mau cerita kehidupanmu tersebar di telinga orang-orang bodoh, Za." "Lantas apa bedanya kalau aku sudah membunuh mereka?" Mungkin memang pantas disebut sebagai pengecut. Aku terlalu penakut, apalagi dengan penampilan sekarang. Semua orang mungkin akan balik menyalahkan seandainya aku menyerang Mas Dimas dengan selingkuhannya. Bukankah sekarang ada slogan 'kamu cantik, kamu a
Setelah menghabiskan waktu treatment wajah di salah satu klinik terbesar di kota ini, kami lanjut pada perawatan badan dan rambut. Pada intinya, full perawatan bersama Kak Alyssa untuk mempercantik diri tanpa peduli berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan. Kami memakai kartu ATM masing-masing.Kak Alyssa begitu perhatian, membeli vitamin dan susu yang direkomendasikan untuk menambah berat badan. Aku pun dianjurkan rutin berolahraga atas bimbingan teman Kak Alyssa yang memang ahli di bidangnya. Memang seperti itulah, kita semua cantik, hanya kekurangan uang saja. Sekarang aku kembali menjadi orang kaya, mudah saja mendapatkan kulit sehat terawat seperti dulu.Teringat dua bulan silam ketika Mas Dimas pulang dari kantor. Aku yang baru selesai memasak bergegas ke depan untuk menyambut seperti biasa. Namun, ketika itu Mas Dimas langsung memberi tatapan ketus. "Mau nyambut suami, kok, bau bawang begitu?!" katanya tanpa memikirkan perasaanku.Memangnya kenapa kalau bau bawang? Aku belum
"Ya jelaslah hasil minjam. Tahu sendiri kan kalau Ana itu tinggal di panti." Mas Dimas menimpali, menatap jijik padaku."Keliatan gak cocok aja tuh baju di badannya. Baju bagus, body sama muka jelek. Pinjam di mana? Kalaupun punya sendiri paling dapat dari jemuran orang." Sandra tersenyum kecut, tetapi aku tetap tanpa ekspresi.Sepasang kekasih hina itu terus saja mengutarakan kebenciannya. Memandang remeh padaku sambil terus berdoa agar kelak aku mendapat azab karena mencoba terlihat kaya di depan semua orang. Sungguh aneh, jelas sekali mereka cemburu.Melihat reaksi mereka bahkan sebelum aku menjadi cantik membangkitkan rasa semangat. Aku akan menuruti semua keinginan Kak Alyssa agar dendam bisa terbalaskan dan bukan sebatas rencana. Penyesalan tidak boleh datang membelenggu untuk kali ke dua."Lagian kamu ngapain ke sini, Ana? Mau maling, ya?" tuduh Mas Dimas lagi begitu lancang.Menyadari Kak Alyssa marah, aku langsung maju selangkah mendekati keduanya. Sengaja memberi tatapan taj
Sampai dua minggu berlalu, Kak Alyssa belum juga menjawab bagaimana kabar papa, terutama di mana dia sekarang. Aku semakin merasa rindu juga bersalah karena tinggal di sini menikmati semua fasilitas yang ada, tetapi belum juga menjalani bakti seperti semula.Aku terlalu banyak melakukan dosa selama ini yang bermula pada kata durhaka karena membangkang orang tua. Memilih meninggalkan rumah dan keluarga demi Mas Dimas yang belum tentu bisa tulus mencintai. Bodoh, seharusnya julukan itu tersemat padaku. Padahal saat mama masih hidup, dia selalu mengingatkan bahwa harta paling berharga adalah keluarga.Jalan yang aku tempuh salah, mungkin itu menjadi sebab kenapa pernikahan aku tidak bahagia. Terlebih karena belum pernah merasakan menjadi ibu. Aku mendesah pelan, menatap pantulan diri di dalam cermin. Sudah banyak perubahan yang terjadi padaku termasuk body, mulai terbentuk seperti dulu lagi.Hari ini Kak Alyssa harus ke luar rumah karena ada urusan di kantor, padahal sekarang weekend. Ak