Share

DIAM DISANGKA BABU, BERGERAK JADI RATU
DIAM DISANGKA BABU, BERGERAK JADI RATU
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1. Aku Bukan Pembantu

"Ana, sini kamu!" Teriakan ibu mertua begitu memekakkan telinga. Aku yang baru saja keluar dari kamar kecil tersentak kaget dan hanya bisa mengelus dada. Wanita paruh baya itu berdiri di beranda pintu seraya melipat kedua tangan di perut, matanya melotot tajam.

"Iya, Bu. Ada apa? Kerjaan lagi?"

Ibu mertua memutar bola mata, lalu melangkah panjang untuk mengikis jarak di antara kami. Aku bisa menebak bahwa setelah ini hati pasti merasakan luka dalam lagi, seperti hari-hari sebelumnya. Aku menelan saliva lantas mengadu kesakitan ketika ibu begitu lancangnya menarik rambutku.

"Ada apa, ada apa. Ke mana saja kamu, hah? Di luar pekerjaan rumah masih banyak. Memangnya kamu mau ibu yang mengerjakan semua itu, Ana?!" bentak ibu mertua.

Sangat lancang, aku bahkan diseret keluar dari kamar menuju dapur. Seharusnya dulu aku mendengar nasihat tetangga agar tidak mengizinkan ibu dan adik suami tinggal di sini. Waktu itu aku mengira mereka berburuk sangka, ternyata semua kini menjadi penyesalan yang entah kapan akan usai.

Piring bekas sarapan tadi belum dicuci padahal di rumah ini ada dua perempuan yang bisa melakukannya selain aku. Melirik ke sudut kanan dekat kamar mandi, ada tiga rak pakaian kotor sudah menunggu. Aku menghela napas berat, mereka benar-benar keterlaluan. Selain hanya menumpang hidup, ibu sama adik suami tidak mau membantu aku membersihkan rumah, bahkan dua rak pakaian kotor itu milik mereka.

Haruskah aku melawan sekarang agar tetap waras? Ah, mungkin memang sebaiknya begitu. Sudut bibirku terangkat tipis. "Bu, Nila mana? Kenapa dia gak nyuci pakaiannya sendiri, sekaligus punya Ibu? Kenapa juga dia gak cuci piring kotor itu?"

"Kamu ini menantu durhaka, ya? Nila itu adik ipar kamu, bukan pembantu di rumah ini. Lagian tadi malam dia begadang, jadi sekarang harus tidur lagi. Kamu ini makin hari makin bandel aja!"

Sekali lagi aku menarik napas panjang. Dulu ibu sama Nila selalu bisa aku maklumi karena menganggap mereka keluarga sendiri. Akan tetapi, mereka justru memperlakukan aku seperti pembantu di sini. Jika meminta bantuan, ibu mertua pasti akan marah besar, lalu mengadu yang tidak-tidak pada suamiku.

"Lalu maksud Ibu menyuruh aku melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, sekaligus mencucikan pakaian kalian, apa? Aku juga bukan pembantu, Bu. Aku ini istri Mas Dimas, menantu Ibu!"

"Tidak ada bedanya antara menantu dan pembantu, mereka tugasnya melayani."

Amarahku memuncak sampai ke ubun-ubun, aliran darah seketika memanas. Mereka yang pada tahun pertama pernikahan begitu aku sayangi, sekarang tidak lagi. Justru aku berharap bisa melenyapkan ibu mertua dan juga adik ipar dari dunia ini. Kedua tangan terkepal kuat, tubuh pun sedikit gemetar karena amarah yang semakin menggebu.

Sialnya, belum saja aku bisa meluapkan kekesalan, ibu mertua sudah mendorongku lebih dulu hingga tubuh kurus ini jatuh ke belakang. Ya, aku mengalami banyak perubahan terutama bentuk tubuh. Bagaimana tidak jika selama dua tahun ini aku hanya dibolehkan makan sekali sehari, kecuali jika memakai uang hasil keringat sendiri.

"Berdiri, Mantu Durhaka!"

"Ibu selalu manggil aku Mantu Durhaka seolah aku ini emang durhaka. Apa baktiku selama ini tidak kalian anggap, hah?" sentakku semakin berani.

Harga diri yang sudah lama ibu mertua injak harus aku pertahankan. Lagi pula, sejak awal aku memang tidak disukai karena dianggap sebagai perempuan pembawa sial. Saat itu, Mas Dimas memperkenalkan aku pada ibu dan mengatakan semuanya dengan jujur bahwa kami bertemu di panti asuhan, tempat tinggalku setahun sebelum bertemu dengan suami.

Sejak saat itulah, ibu mertua semakin benci padaku. Semula dia pura-pura baik, tetapi mungkin karena sudah muak melihat kasih sayang Mas Dimas padaku bahkan sampai membeli rumah baru agar kami leluasa membuat ibu mertua menjual rumah sendiri agar bisa menumpang pada kami. Sampai sekarang, perlakuan ibu semakin tidak bisa dimaklumi.

"Awas, ya. Ibu bakal lapor ke Dimas supaya kamu pergi dari sini!" Jari telunjuknya mengarah tepat pada wajahku.

"Aku tidak takut, silakan saja. Bukannya sejak dulu Ibu ingin aku pergi dan mencari menantu yang jauh lebih cantik dan kaya? Ibu pikir aku nggak tahu kalau Ibu berulang kali menghasut Mas Dimas supaya aku dicerai?"

Ketika aku mengikis jarak sambil menyeringai tipis, ibu mertua justru melangkah mundur. Setelah itu berlari cepat masuk kamar dan menutup pintu rapat. Dia ketakutan, aku senang melihatnya. Ini baru pemanasan, esok akan semakin mengejutkan. Rasa sabar memiliki batas karena diri ini bukanlah makhluk sempurna.

Piring kotor segera aku cuci karena tidak mungkin mengharapkan Nila. Gadis pengangguran itu hanya tahu makan, tidur, main HP dan jalan-jalan saja. Berulang kali aku tegur, tetapi selalu berujung perdebatan dengan Mas Dimas dengan alasan umurnya masih dua puluh tahun dan belum diwajibkan mencari pekerjaan. Padahal di luar sana anak SD pun ada yang pandai meringankan beban orang tua.

***

"Ana!" Sekali lagi teriakan ibu menggema di seluruh ruangan. Apa dia tidak sakit tenggorokan jika tiap hari teriak begitu?

Aku mendengkus kesal, tanpa mengalihkan pandangan dari layar kaca. "Apa lagi, sih, Bu? Nggak capek ganggu aku? Nggak senang ngeliat mantu sendiri nyantai dikit?"

Tak berselang lama, ibu mertua sudah berdiri di depanku, sengaja menghalangi agar tidak bisa menonton televisi. Amarah kembali memuncak, aku melempar remote ke sembarang arah, segera berdiri untuk membalas tatapan tajam itu.

"Ada masalah lagi? Siang-siang gini harusnya tidur di kamar, kalau gak cuci piring!" lanjutku berkacak pinggang.

Mulai detik ini aku memutuskan untuk selalu melawan mertua. Dia yang memukul genderang perang terlebih dahulu dan aku harus bisa keluar sebagai pemenang. Persetan dengan dosa, aku sudah tidak memikirkan itu. Tidak mungkin selalu sabar dan mengalah sementara batin terluka begitu dalam.

Aku sudah lelah, menelan segala kepahitan dalam hidup. Hinaan dari keluarga suami selalu bisa aku maafkan, tetapi kali ini tidak. Sekecil apa pun tingkah mereka jika berhasil mengusik, aku pasti akan mengamuk, membalas tanpa ampun. Lagi pula, kenapa hanya aku yang direpotkan jika Nila pun masih bisa disuruh? Ah, anak itu pasti masih tidur di kamar.

"Ibu gak tahu apa yang mengubah kamu, Ana. Ibu gak akan mencari tahu. Kamu boleh marah, tapi tetap lakukan pekerjaanmu. Piring itu akan Nila cuci kalau dia sudah makan, hanya saja–"

"Hanya saja apa?"

"Kenapa kamu gak cuci dua rak pakaian itu? Kamu lupa kalau anak aku ngasih kamu uang bulanan selama ini? Harusnya kamu tahu berterima kasih!" Detik selanjutnya, tamparan mendarat bebas di pipi kananku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bintu Hasan
maafkan jika ceritanya tidak sesuai harapan, lebay atau justru ambigu, saya masih belajar dan akan terus belajar :) :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status