Ada luka menyekat di sudut hati terdalam, tetapi tidak sampai membuat aku menitikkan air mata di hadapan mereka. Untuk apa menangis jika pada akhirnya aku tetap dianggap bersalah? Mas Dimas terlalu ceroboh, dia sangat bodoh sehingga enggan berpikir panjang. Baktiku selama ini ternyata tidak berarti apa-apa di matanya.
Senyum kemenangan terukir indah di bibir ibu mertua dan juga Nila. Mereka pasti mengadakan pesta untuk merayakan kepergianku. Kesal, sayang sekali hanya bisa mengepalkan tangan. Kedua iblis itu kembali menghasut Mas Dimas untuk segera mengusir aku tanpa memberi bekal."Pake nanya alasan lagi. Toh, dia nggak punya anak, Dimas. Ngapain dikasih ongkos pulang? Lagian mau pulang ke mana dia? Biarin hidup mandiri, selama ini terlalu ongkang kaki seolah dia itu ratu.""Betul kata ibu, Mas. Kalau mau pulang juga paling dia ke panti tempat kalian bertemu dulu. Sekali-kali biarin Mbak Ana tahu gimana susahnya nyari duit, bukan ngabisin doang!" timpal Nila lagi. Gadis itu semakin tidak bisa mem-filter omongannya.Aku bisa memaklumi. Kata orang, buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Jadi, kelakuan Nila sekarang memang menggambarkan bagaimana sosok ibu mereka. Ah, persetan dengan itu, aku sudah tidak peduli. Mumpung masih sore, sebaiknya memang segera pergi dari neraka ini."Ana, kamu mau ke mana?!" teriak Mas Dimas ketika aku melangkah cepat menuju kamar.Apa maksudnya menanyakan itu? Mungkinkah dia mengira aku akan menetap di sini setelah diceraikan atau justru melakukan hal lain? Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Seorang lelaki yang membuat aku menyesal menikah dengannya. Beruntung belum ada anak di antara kami sehingga tidak perlu memikirkan hak asuh.Gegas aku mengambil koper besar berwarna hitam, meski sudah usang, tetapi masih bisa digunakan. Semua pakaian aku masukkan ke dalam koper. Namun, sialnya karena tangan kembali dicekal oleh Mas Dimas. Kami beradu pandang untuk beberapa saat. Di manik mata itu tidak terpancar rasa bersalah sama sekali. Sepasang mata yang dulu selalu membuatku salah tingkah jika bertemu pandang dengannya."Ada apa, Mas? Belum cukup luka yang kamu beri?""Luka apa, Ana? Andai saja kamu mau nurut apa kata ibu, mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengomel, gak akan ada kejadian seperti ini. Ada atau tidak adanya ibu sama Nila emang berpengaruh? Istri atau menantu memang tugasnya ya begitu. Ibu itu ibu kamu juga, masa kamu tega kalau semua dikerjakan sama ibu?"Aku mendengkus kesal, percuma berdebat sekarang karena aku tidak akan diberi kesempatan menjelaskan. Mas Dimas selalu saja membela ibunya tanpa mau memikirkan perasaan istri sendiri. Andai saja Tuhan mengabulkan keinginan aku untuk menjadi lelaki, lalu Mas Dimas menjadi perempuan, mungkin akan sangat menyenangkan."Ana ...."Setelah mengikat rambut dengan baik, aku meraih koper itu tanpa menyahut lagi ketika Mas Dimas panggil berulang kali. Sekarang sepasang kaki telah berdiri di depan mantan ibu mertua dan juga Nila. Tersenyum hangat, gadis itu memelukku sambil mengusap punggung ini.Dia berbisik, memintaku untuk bersabar dan nanti akan bertemu dengan lelaki yang memang selevel denganku. Bukankah keterlaluan? Segera kudorong gadis sialan itu sekuat tenaga. Beruntung sekali karena ibunya bergerak cepat membantu agar tidak sampai menyentuh lantai."Apa-apaan, sih, kamu, Mbak? Padahal aku cuma mengucapkan terima kasih malah didorong!" sungut Nila menatap kesal penuh kebencian padaku."Lihat perangai mantan istri kamu, kan? Makanya ibu selalu menyarankan untuk kalian cerai saja daripada membahayakan nyawa ibu sama Nila. Perempuan kok tempramental gitu, gak tahu terima kasih udah dipungut sama Dimas juga!"Aku mengatup bibir rapat, menatap sinis pada Mas Dimas yang juga diam. Untuk apa melawan mereka dengan kata-kata dalam keadaan aku tidak punya apa-apa untuk diandalkan? Biasanya si Miskin akan selalu kalah karena mereka hanya bisa hormat pada uang saja.Namun, aku bersumpah akan kembali membalaskan dendam suatu hari nanti. Untuk itu aku akan mencari pekerjaan setelah pergi dari sini, tidak peduli jika harus lelah dan kurang tidur. Segala sesuatu bisa menjadi halal dalam kacamataku jika sudah sangat terdesak. Dendam yang bisa membawa diri ini pada lembah kehinaan. Biar saja asalkan aku memiliki banyak uang."Ana ...." Mas Dimas kembali memanggil saat aku melangkahkan kaki hendak pergi dari sini.Tanpa menoleh, aku menyahut, "Ada apa lagi, Mas? Tidak ada yang perlu kita selesaikan lagi. Semua sudah selesai saat kamu menjatuhkan talak tadi dan ...." Aku menarik napas dalam. "Aku menunggu surat cerai.""Buat apa ada surat cerai kalau gak digunakan? Siapa yang mau menikah sama dia, Mas? Aku aja sebagai perempuan ngerasa risih, apalagi laki-laki. Menurut kamu gimana, Mas?"Tidak terdengar jawaban atas pertanyaan Nila. Bodoh amat, sekarang aku memang harus pergi. Namun, baru tiga kali kaki melangkah, Mas Dimas sudah menarik kembali tangan ini bahkan menyeret koper masuk ke kamar. Aku semakin bingung, hanya bisa mengerutkan kening."Tetap di sini, besok baru pergi. Ada sesuatu yang harus kamu tahu, Ana. Aku tidak mau kamu merasa bimbang atau berat hati.""Tapi, Mas!"Aku tidak melanjutkan ucapan. Bibir kembali mengatup rapat dan hanya mengangguk pasrah ketika Mas Dimas memberi isyarat untuk diam. Dia pergi, tentu setelah mengunci rapat pintu bernuansa cokelat itu. Sementara aku hanya bisa termenung, memikirkan apa saja kemungkinan yang akan terjadi nanti.***Pukul tujuh pagi aku membuka mata ketika sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi. Mandi dan berganti pakaian aku habiskan kurang dari setengah jam. Setelah itu, kaki menuntun keluar kamar sambil membawa koper kemarin.Ternyata di luar kamar sudah ada mereka yang menyambut. Aku tertegun, menatap sosok perempuan dengan penampilan yang sangat berkelas. Jika dibandingkan, kami ibarat langit dan bumi. Kulit seputih pualam, bibir merah merekah. Siapa dia?"Kenalkan, calon menantu kami, namanya Sandra." Mantan ibu mertua menjelaskan. Terlihat binar kebahagiaan di matanya.Aku mendengkus kesal, tepatnya demi menyembunyikan kesedihan. Tentu saja sejumput nyeri merebak cepat di dalam dada. Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskan perlahan. Bibir gemetar, sementara tangan dan kaki menjadi dingin karena emosi meluap."Sandra!" Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya."Zanna." Aku membalas, tetapi sekilas dan tidak mau menggenggam terlalu erat. Angkuh? Ya, memang dulu sedikit angkuh sebelum bertemu Mas Dimas dan berakhir di panti asuhan."Ternyata benar kata Nila kalau kamu itu kumal. Gak pernah pakai skincare pasti, kan? Terus jadi istri itu harus bisa menjaga penampilan kalau gak mau mata suaminya jelalatan!"Hinaan yang keluar dari mulut Sandra tidak aku indahkan. Percuma saja. Dia di rumah ini bagai seorang ratu, di mana ketika melakukan kesalahan akan dibela oleh para dayangnya. Terutama mantan ibu mertua, dia pasti suka rela berdebat demi melindungi Sandra.Pantas saja Mas Dimas mudah menjatuhkan talak. Ternyata dia telah menemukan pengganti yang entah sejak kapan. Baktiku selama ini memang benar, tidak berarti apa-apa di mata mereka. Namun, setelah menikah, apakah Sandra akan diperlakukan sama sepertiku selama ini?"Aku pamit!""Tunggu dulu, kamu harus kenalan sama Sandra. Minimal mengobrol kecil sebelum benar-benar pergi, Ana." Mas Dimas mencegah, untuk apa?"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri."Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondan
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos. Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan. "Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi. Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pa
"Apa? Membunuh?!" Aku memekik kaget karena tidak menduga rencana yang Kak Alyssa katakan. Selama hidup di dunia, jangankan membunuh orang, balas memukul saja aku tidak pernah. Ada rasa iba ketika hendak membalas perbuatan mereka. Namun, bukan berarti lemah juga. Aku hanya tidak suka keributan. "Ya, membunuh mereka." Kak Alyssa menjawab santai. Perangai kami memang sedikit berbeda, dia kerap terlibat perkelahian saat masih duduk di bangku sekolah dulu. Teman-temannya pun mayoritas laki-laki yang tidak takut membela di garda depan ketika Kak Alyssa butuh bantuan. "Kenapa tidak dipenjarakan saja, Kak?" "Aku tidak mau cerita kehidupanmu tersebar di telinga orang-orang bodoh, Za." "Lantas apa bedanya kalau aku sudah membunuh mereka?" Mungkin memang pantas disebut sebagai pengecut. Aku terlalu penakut, apalagi dengan penampilan sekarang. Semua orang mungkin akan balik menyalahkan seandainya aku menyerang Mas Dimas dengan selingkuhannya. Bukankah sekarang ada slogan 'kamu cantik, kamu a
Setelah menghabiskan waktu treatment wajah di salah satu klinik terbesar di kota ini, kami lanjut pada perawatan badan dan rambut. Pada intinya, full perawatan bersama Kak Alyssa untuk mempercantik diri tanpa peduli berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan. Kami memakai kartu ATM masing-masing.Kak Alyssa begitu perhatian, membeli vitamin dan susu yang direkomendasikan untuk menambah berat badan. Aku pun dianjurkan rutin berolahraga atas bimbingan teman Kak Alyssa yang memang ahli di bidangnya. Memang seperti itulah, kita semua cantik, hanya kekurangan uang saja. Sekarang aku kembali menjadi orang kaya, mudah saja mendapatkan kulit sehat terawat seperti dulu.Teringat dua bulan silam ketika Mas Dimas pulang dari kantor. Aku yang baru selesai memasak bergegas ke depan untuk menyambut seperti biasa. Namun, ketika itu Mas Dimas langsung memberi tatapan ketus. "Mau nyambut suami, kok, bau bawang begitu?!" katanya tanpa memikirkan perasaanku.Memangnya kenapa kalau bau bawang? Aku belum
"Ya jelaslah hasil minjam. Tahu sendiri kan kalau Ana itu tinggal di panti." Mas Dimas menimpali, menatap jijik padaku."Keliatan gak cocok aja tuh baju di badannya. Baju bagus, body sama muka jelek. Pinjam di mana? Kalaupun punya sendiri paling dapat dari jemuran orang." Sandra tersenyum kecut, tetapi aku tetap tanpa ekspresi.Sepasang kekasih hina itu terus saja mengutarakan kebenciannya. Memandang remeh padaku sambil terus berdoa agar kelak aku mendapat azab karena mencoba terlihat kaya di depan semua orang. Sungguh aneh, jelas sekali mereka cemburu.Melihat reaksi mereka bahkan sebelum aku menjadi cantik membangkitkan rasa semangat. Aku akan menuruti semua keinginan Kak Alyssa agar dendam bisa terbalaskan dan bukan sebatas rencana. Penyesalan tidak boleh datang membelenggu untuk kali ke dua."Lagian kamu ngapain ke sini, Ana? Mau maling, ya?" tuduh Mas Dimas lagi begitu lancang.Menyadari Kak Alyssa marah, aku langsung maju selangkah mendekati keduanya. Sengaja memberi tatapan taj
Sampai dua minggu berlalu, Kak Alyssa belum juga menjawab bagaimana kabar papa, terutama di mana dia sekarang. Aku semakin merasa rindu juga bersalah karena tinggal di sini menikmati semua fasilitas yang ada, tetapi belum juga menjalani bakti seperti semula.Aku terlalu banyak melakukan dosa selama ini yang bermula pada kata durhaka karena membangkang orang tua. Memilih meninggalkan rumah dan keluarga demi Mas Dimas yang belum tentu bisa tulus mencintai. Bodoh, seharusnya julukan itu tersemat padaku. Padahal saat mama masih hidup, dia selalu mengingatkan bahwa harta paling berharga adalah keluarga.Jalan yang aku tempuh salah, mungkin itu menjadi sebab kenapa pernikahan aku tidak bahagia. Terlebih karena belum pernah merasakan menjadi ibu. Aku mendesah pelan, menatap pantulan diri di dalam cermin. Sudah banyak perubahan yang terjadi padaku termasuk body, mulai terbentuk seperti dulu lagi.Hari ini Kak Alyssa harus ke luar rumah karena ada urusan di kantor, padahal sekarang weekend. Ak
Mas Dimas membulatkan kedua mata, tidak sampai berteriak. Aku tahu dia menahan diri karena menyadari kami berada di tempat umum. Kalau saja dia berani mengangkat tangan untuk memukul, maka harga dirinya seketika jatuh."Itu tidak sepadan dengan perlakuan ibu kamu sama aku, Mas. Disiram sambel pedas, air panas. Kamu pikir aku lupa?""Karena kesalahan kamu sendiri, Ana. Seandainya kamu mau akur sama ibu, nggak bakal kayak gini.""Bagaimana dengan Nila?"Mas Dimas tidak langsung menjawab. Dia sibuk mengambil tisu dalam tas kerjanya, lalu melap sambil terus menggerutu dengan suara pelan. Aku tersenyum menang, padahal perang belum dimulai. Mas Dimas sekeluarga harus membayar semua kesalahannya di masa lalu.Aku sudah cantik dan memiliki banyak uang, orang-orang yang melihat pasti takut menyalahkan aku meskipun seandainya sekarang menelanjangi Mas Dimas. Mudah saja menjatuhkan lelaki bajingan itu, cukup mengatakan pada mereka kalau aku adalah istri yang diperlakukan seperti babu, kemudian d
"Jangankan iPhone, harga dirimu sekeluarga aja mampu aku beli, Mas!" Aku menjawab penuh penekanan, memberi tatapan tajam karena amarah sudah mendarah daging dalam jiwa.Kulihat Mas Dimas mengangkat tangan kanan, hendak menampar. Aku tidak secupu dulu, dalam seminggu terakhir sudah melatih diri agar bisa meniru Kak Alyssa yang berani pada siapa saja asal dirinya berdiri dalam kebenaran. Dan sekarang, aku mulai menangkis tangannya. Seorang lelaki berkacamata hitam mendekati kami."Bro, kalau kamu laki, jangan memukul perempuan.""Dia ini istri saya, kamu jangan ikut campur.""Mau istri atau bukan, tetap saja tidak dibenarkan memukul perempuan. Mentang dia istri, kamu mau seenaknya menyiksa mbak ini?"Mas Dimas terlihat semakin marah, dia menarik kasar kerah baju lelaki itu. Namun, ternyata Mas Dimas kalah kuat. Lelaki tadi melepas kacamata hitamnya. Dia tampan dan juga berkarisma. Paling penting karena mengerti bahwa perempuan ada bukan untuk disakiti."Lagian kami sudah cerai, kok, Mas