Share

Bab 5. Mengejutkan

Ada luka menyekat di sudut hati terdalam, tetapi tidak sampai membuat aku menitikkan air mata di hadapan mereka. Untuk apa menangis jika pada akhirnya aku tetap dianggap bersalah? Mas Dimas terlalu ceroboh, dia sangat bodoh sehingga enggan berpikir panjang. Baktiku selama ini ternyata tidak berarti apa-apa di matanya.

Senyum kemenangan terukir indah di bibir ibu mertua dan juga Nila. Mereka pasti mengadakan pesta untuk merayakan kepergianku. Kesal, sayang sekali hanya bisa mengepalkan tangan. Kedua iblis itu kembali menghasut Mas Dimas untuk segera mengusir aku tanpa memberi bekal.

"Pake nanya alasan lagi. Toh, dia nggak punya anak, Dimas. Ngapain dikasih ongkos pulang? Lagian mau pulang ke mana dia? Biarin hidup mandiri, selama ini terlalu ongkang kaki seolah dia itu ratu."

"Betul kata ibu, Mas. Kalau mau pulang juga paling dia ke panti tempat kalian bertemu dulu. Sekali-kali biarin Mbak Ana tahu gimana susahnya nyari duit, bukan ngabisin doang!" timpal Nila lagi. Gadis itu semakin tidak bisa mem-filter omongannya.

Aku bisa memaklumi. Kata orang, buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Jadi, kelakuan Nila sekarang memang menggambarkan bagaimana sosok ibu mereka. Ah, persetan dengan itu, aku sudah tidak peduli. Mumpung masih sore, sebaiknya memang segera pergi dari neraka ini.

"Ana, kamu mau ke mana?!" teriak Mas Dimas ketika aku melangkah cepat menuju kamar.

Apa maksudnya menanyakan itu? Mungkinkah dia mengira aku akan menetap di sini setelah diceraikan atau justru melakukan hal lain? Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Seorang lelaki yang membuat aku menyesal menikah dengannya. Beruntung belum ada anak di antara kami sehingga tidak perlu memikirkan hak asuh.

Gegas aku mengambil koper besar berwarna hitam, meski sudah usang, tetapi masih bisa digunakan. Semua pakaian aku masukkan ke dalam koper. Namun, sialnya karena tangan kembali dicekal oleh Mas Dimas. Kami beradu pandang untuk beberapa saat. Di manik mata itu tidak terpancar rasa bersalah sama sekali. Sepasang mata yang dulu selalu membuatku salah tingkah jika bertemu pandang dengannya.

"Ada apa, Mas? Belum cukup luka yang kamu beri?"

"Luka apa, Ana? Andai saja kamu mau nurut apa kata ibu, mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengomel, gak akan ada kejadian seperti ini. Ada atau tidak adanya ibu sama Nila emang berpengaruh? Istri atau menantu memang tugasnya ya begitu. Ibu itu ibu kamu juga, masa kamu tega kalau semua dikerjakan sama ibu?"

Aku mendengkus kesal, percuma berdebat sekarang karena aku tidak akan diberi kesempatan menjelaskan. Mas Dimas selalu saja membela ibunya tanpa mau memikirkan perasaan istri sendiri. Andai saja Tuhan mengabulkan keinginan aku untuk menjadi lelaki, lalu Mas Dimas menjadi perempuan, mungkin akan sangat menyenangkan.

"Ana ...."

Setelah mengikat rambut dengan baik, aku meraih koper itu tanpa menyahut lagi ketika Mas Dimas panggil berulang kali. Sekarang sepasang kaki telah berdiri di depan mantan ibu mertua dan juga Nila. Tersenyum hangat, gadis itu memelukku sambil mengusap punggung ini.

Dia berbisik, memintaku untuk bersabar dan nanti akan bertemu dengan lelaki yang memang selevel denganku. Bukankah keterlaluan? Segera kudorong gadis sialan itu sekuat tenaga. Beruntung sekali karena ibunya bergerak cepat membantu agar tidak sampai menyentuh lantai.

"Apa-apaan, sih, kamu, Mbak? Padahal aku cuma mengucapkan terima kasih malah didorong!" sungut Nila menatap kesal penuh kebencian padaku.

"Lihat perangai mantan istri kamu, kan? Makanya ibu selalu menyarankan untuk kalian cerai saja daripada membahayakan nyawa ibu sama Nila. Perempuan kok tempramental gitu, gak tahu terima kasih udah dipungut sama Dimas juga!"

Aku mengatup bibir rapat, menatap sinis pada Mas Dimas yang juga diam. Untuk apa melawan mereka dengan kata-kata dalam keadaan aku tidak punya apa-apa untuk diandalkan? Biasanya si Miskin akan selalu kalah karena mereka hanya bisa hormat pada uang saja.

Namun, aku bersumpah akan kembali membalaskan dendam suatu hari nanti. Untuk itu aku akan mencari pekerjaan setelah pergi dari sini, tidak peduli jika harus lelah dan kurang tidur. Segala sesuatu bisa menjadi halal dalam kacamataku jika sudah sangat terdesak. Dendam yang bisa membawa diri ini pada lembah kehinaan. Biar saja asalkan aku memiliki banyak uang.

"Ana ...." Mas Dimas kembali memanggil saat aku melangkahkan kaki hendak pergi dari sini.

Tanpa menoleh, aku menyahut, "Ada apa lagi, Mas? Tidak ada yang perlu kita selesaikan lagi. Semua sudah selesai saat kamu menjatuhkan talak tadi dan ...." Aku menarik napas dalam. "Aku menunggu surat cerai."

"Buat apa ada surat cerai kalau gak digunakan? Siapa yang mau menikah sama dia, Mas? Aku aja sebagai perempuan ngerasa risih, apalagi laki-laki. Menurut kamu gimana, Mas?"

Tidak terdengar jawaban atas pertanyaan Nila. Bodoh amat, sekarang aku memang harus pergi. Namun, baru tiga kali kaki melangkah, Mas Dimas sudah menarik kembali tangan ini bahkan menyeret koper masuk ke kamar. Aku semakin bingung, hanya bisa mengerutkan kening.

"Tetap di sini, besok baru pergi. Ada sesuatu yang harus kamu tahu, Ana. Aku tidak mau kamu merasa bimbang atau berat hati."

"Tapi, Mas!"

Aku tidak melanjutkan ucapan. Bibir kembali mengatup rapat dan hanya mengangguk pasrah ketika Mas Dimas memberi isyarat untuk diam. Dia pergi, tentu setelah mengunci rapat pintu bernuansa cokelat itu. Sementara aku hanya bisa termenung, memikirkan apa saja kemungkinan yang akan terjadi nanti.

***

Pukul tujuh pagi aku membuka mata ketika sinar mentari menembus kamar melalui celah ventilasi. Mandi dan berganti pakaian aku habiskan kurang dari setengah jam. Setelah itu, kaki menuntun keluar kamar sambil membawa koper kemarin.

Ternyata di luar kamar sudah ada mereka yang menyambut. Aku tertegun, menatap sosok perempuan dengan penampilan yang sangat berkelas. Jika dibandingkan, kami ibarat langit dan bumi. Kulit seputih pualam, bibir merah merekah. Siapa dia?

"Kenalkan, calon menantu kami, namanya Sandra." Mantan ibu mertua menjelaskan. Terlihat binar kebahagiaan di matanya.

Aku mendengkus kesal, tepatnya demi menyembunyikan kesedihan. Tentu saja sejumput nyeri merebak cepat di dalam dada. Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskan perlahan. Bibir gemetar, sementara tangan dan kaki menjadi dingin karena emosi meluap.

"Sandra!" Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya.

"Zanna." Aku membalas, tetapi sekilas dan tidak mau menggenggam terlalu erat. Angkuh? Ya, memang dulu sedikit angkuh sebelum bertemu Mas Dimas dan berakhir di panti asuhan.

"Ternyata benar kata Nila kalau kamu itu kumal. Gak pernah pakai skincare pasti, kan? Terus jadi istri itu harus bisa menjaga penampilan kalau gak mau mata suaminya jelalatan!"

Hinaan yang keluar dari mulut Sandra tidak aku indahkan. Percuma saja. Dia di rumah ini bagai seorang ratu, di mana ketika melakukan kesalahan akan dibela oleh para dayangnya. Terutama mantan ibu mertua, dia pasti suka rela berdebat demi melindungi Sandra.

Pantas saja Mas Dimas mudah menjatuhkan talak. Ternyata dia telah menemukan pengganti yang entah sejak kapan. Baktiku selama ini memang benar, tidak berarti apa-apa di mata mereka. Namun, setelah menikah, apakah Sandra akan diperlakukan sama sepertiku selama ini?

"Aku pamit!"

"Tunggu dulu, kamu harus kenalan sama Sandra. Minimal mengobrol kecil sebelum benar-benar pergi, Ana." Mas Dimas mencegah, untuk apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status