Share

(Bukan) Selingkuh

(Bukan) Selingkuh

Jam empat sore, training usai dilakukan. Istirahat sejenak di kursi panjang depan ruangan. Berharap sedikit mengobat rasa letih akibat duduk delapan jam di suatu ruangan dan mendengarkan ceramah materi orang. Lebih enak di kantor, meskipun mumet mikir duit orang, tapi masih bisa bergosip dan becanda. Apalagi ... ada Bapak yang seger itu, yang selalu digosipkan oleh Mayang.

Ah, gadis itu, sedang apa ya dia sekarang. Jangan-jangan sedang bergosip tentangku.

Satu persatu peserta diklat berlalu meninggalkan gedung. Mungkin seru kalau jalan-jalan sebentar, eh tapi aku ada janji menemani Mas Ichsan main gitar. Ah biarlah, toh sore begini dia pasti sibuk dengan tanamannya. Kutelepon suamiku, namun tak ada jawaban. Kutelepon lagi, lamaaa sekali baru ada suara dari seberang.

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waalaikum salam, Mas lagi nyiram sayur, ya?" timpalku.

"Iya."

"Udah minum vitamin?"

"Udah."

"Aku mau jalan-jalan deket sini, boleh?" pamitku. Kemanapun hendak pergi, sebisa mungkin selalu meminta izinnya.

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Yaudah, hati-hati."

Telepon ditutup sesaat setelah berbasa-basi dan mengucap salam.

Aku kembali ke kamar, lalu mandi dan salat ashar. Kemudian mengambil dress katun selutut warna ungu muda, mengoles pelembab wajah dan sedikit lipcream nude, lalu bersiap jalan-jalan.

Dengan santai melangkahkan kaki perlahan. Mungkin semangkuk bakwan dan beberapa cemilan yang nanti bisa kubeli di depan sana bisa menemaniku menikmati suasana sore.

Seorang pengendara motor dengan helm fullface dari arah luar hotel sepertinya hendak menghampiri. Mungkin hanya perasaanku aja. Bukankah ketika berada di kota yang cukup asing harus selalu waspada? Kudekap tas di dada, untuk berjaga-jaga seandainya dia orang jahat.

Jarak kami semakin dekat, lebih dekat, lalu sejenak kutahan napas. Motor itu berhenti tepat di sampingku.

Jangan-jangan ... Kaff?!

Si pengendara membuka kaca helmnya.

Setelah beberapa detik kemudian kusadari ada aroma yang kukenal.

"Astagaaa, Bapak! Saya kira orang jahat!" pekikku seraya mengembalikan tas ke posisi semula, lalu memegang dada yang detaknya tak terarah.

Lelaki tersebut hanya tersenyum.

"Maaf, Bapak mau kemana?" tegurku.

"Kamu mau kemana?"

Hiss orang ini! Ditanya malah balik tanya! "Saya mau jalan-jalan, Pak," jawabku.

"Yaudah, saya mau ikut kamu!"

"Hah?!" celetukku sambil menutup mulut setelah menyadari kalau mulut jahanam ini beberapa detik lalu sukses melongo.

Rinda rinda rinda rindaaaa! Konslet lagi deh otakmuuu!

"Gimana?"

"Eh, apanya, Pak?"

"Apa saya boleh ikut?"

"Hah?"

Pak Afnan menaikkan alis, mungkin menunggu jawabanku.

"Ohh tentu, tapi saya jalan-jalannya cuma mau jajan bakwan di depan sana, Pak!" Jawabku, berharap dia mengurungkan niatnya untuk ikut.

"Yasudah, ayo naik!" perintahnya.

Aku melirik ke arah motornya. Jok belakangnya terlalu tinggi dan bentuknya pasti membuat penumpang sulit menjaga keseimbangan. Kulirik ke bawah, dress ini kurang cocok dipakai naik motor. Ya ... kecuali dibonceng Mas Ichsan pakai motor matic, kan bisa sambil pegangan, hi hi hi.

"Saya ... pingin jalan kaki aja, Pak, kan dekat. Namanya juga jalan-jalan, lebih afdol jalan kaki." terangku beralasan. Selain risih, rasanya kok nggak etis dibonceng seseorang yang berpotensi menimbulkan keolengan. Apalagi tanpa seijin suami!

Dia terdiam, sepertinya sedang berpikir.

Beberapa detik kemudian mulut manis itu berucap. "Oh okay, kamu tunggu bentar. Saya taruh motor dulu di parkiran."

Humfff ... kenapa dia mau ikut beneraaan!

Beberapa menit kemudian, kami duduk di sebuah bangku kayu panjang dengan meja panjang berlapis plastik tebal bergambar teh botol. Ini semua ide Pak Afnan, katanya, ini salah satu bakwan terenak di kota ini.

Pak Afnan memesan dua mangkuk bakwan dan es teh untuk kami.

"Sing siji ndak usah gubis, Cak!" ucapnya dengan bahasa jawa yang artinya, satunya nggak pakai sayur kol.

Aku terkikik.

"Kenapa ketawa?" tanyanya dengan wajah kaku.

"Hehe nggak nggak papa, Pak!" elakku.

Lucu juga kalau dia bicara bahasa jawa. Sudah lama tak mendengarnya. Namun semenjak mengenalnya di kantor sebagai sosok tegas dan dingin, entah mengapa rasanya begitu asing.

Kang Bakwan menaruh pesanan di hadapan kami. Tanpa dikomando, tiba-tiba Pak Afnan menukar mangkuknya dengan yang ada di hadapanku.

"Kamu nggak pakai sayur, kan," ujarnya. Lebih kepada ucapan memastikan, bukan sebuah pertanyaan.

"Iya," jawabku singkat.

Lelaki yang selalu terlihat rapi dengan pakaian apapun tersebut segera menyantap bakwannya, tanpa menambahakan apapun di sana. Sementara aku mengambil kecap, sambal dan terakhir saus berwarna merona.

"Jangan banyak-banyak!" cegahnya saat akan kutuang lagi saus itu.

Aku meringis, mengurungkan niat.

Kami berdua menikmatinya dengan diam. Entah menikmati enaknya bakwan Malang, atau karena canggung karena menikmati kebersamaan yang beberapa tahun lalu pernah menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang kemudian terkikis karena satu hal yang tak masuk akal.

Kebersamaan yang harus berakhir ketika kami memilih menjauh sebelum masing-masing merasa tersakiti. Untuk apa tetap bertahan jika pada akhirnya tak ada jalan untuk bersama.

"Rin!"

"Eh, iya, Pak!"

"Sudah selesai?"

"Iya sudah."

Pak Afnan mengulurkan tisu kepadaku. "Kebiasaan!"

Aku meringis malu, pasti sekarang bibirku sedang merah merekah dan sedikit memble akibat kepedasan.

***

Dering panggilan telepon menjeda aktivitas menyisir rambutku yang masih basah. Panggilan video dari Mas Ichsan. Segara menekan tombol terima, jangan sampai suamiku menunggu lama.

"Assalamualaikum," salamku. Lalu menyandarkan HP di bantal, sementara tangan kembali pada altivitas semula.

"Waalaikum salam. Baru mandi?" tanya Mas Ichsan.

"Enggak, udah sejak tadi," jawabku.

"Kok keramas malem-malem, 'kan di situ dingin?" selidiknya.

Memang cuaca sangat dingin, apalagi tadi hujan. Aku menyesal kenapa kemarin tak membawa alat pengering rambut.

"Iya, lepek rambutnya. Tapi pakai air anget, kok, Mas," terangku beralasan. Padahal tadi sengaja keramas untuk membersihkan diri dan menormalkan otak yang sempat oleng.

Hampirrr saja! Andai Tuhan tak sayang padaku, mungkin detik ini sudah berurai air mata. Air mata sesal dan pengakuan dosa.

"Tumbenan, biasanya malas keramas. Kan emang kemprus (jorok), apalagi malam-malam. Kalo wajib aja, baru deh kamu keramas!" Dia tertawa, mengejekku.

Aku melotot pura-pura, lalu detik berikutnya ikut tertawa. Tumben suamiku tak pelit kata. Kata-katanya barusan hanya bercanda, kutahu itu. Namun ada rasa sesak menelusup di dalam dada.

Aku duduk bersila, mengambil bantal untuk menekan dada, agar rasa bersalah tak menjelma air mata.

Maafkan aku, Mas! Hampir saja kubuat dosa.

"Dah Isya'an?" tanyanya.

"Udah," jawabku. "Oya, katanya mo ditemenin nyanyi?" Aku balik bertanya.

"Nggak wes, besok aja. Aku dah ngantuk."

"Lhaa, emang habis ngapain?"

"Bebersih rumah sama Mama."

"Ohh tumben, hi hi hi."

"Biar nggak ada zombie, zombie kan suka tempat berantakan dan kotor." jawabnya.

Astagaaa kumat lagi olengnya! Itu zombie atau kuman sih, yang dia maksud.

"Ohh ... yaudah. Kalo ngantuk, Mas istirahat aja," suruhku.

Panggilan diakhiri dengan saling mengucap rindu.

Selama tiga setengah tahun pernikahan, baru kali ini kami berjauhan, meskipun hanya untuk urusan pekerjaan.

Ah, Mas Ichsan. Padahal malam ini aku butuh teman ngobrol, untuk sekadar membunuh waktu dan meredam kegelisahan.

Kejadian sore tadi tak bisa hilang begitu saja dari otakku. Timbul tenggelam membuat rasa bersalah ini makin mengental.

Sadar sadar sadaaar, Rinda! Ingat! Kamu seorang istri terhormat, bukan lagi seorang perempuan tak bermartabat.

Memang cukup sulit mengubah kebiasaan. Apalagi yang di dalamnya membekas kesakitan teramat sangat. Akan selalu ada cobaan ketika berusaha menjadi lebih baik. Perjalanan kami tak akan mudah, itu yang selalu Mas Ichsan katakan dulu sebelum kami menikah. Dan aku benar-benar merasakannya.

Mengetik sebuah kombinasi password untuk membuka akun fake milikku. Mas Ichsan tak tahu akun ini. Lagipula sejak sakit, dia tak pernah lagi membuka semua akun sosmed miliknya.

Sudah kuhapus semua aplikasi di handphone miliknya. Hanya menyisakan whatssap dan beberapa game favorit. Kubilang, semua aplikasi itu sudah kuno, tak laku, dan dia percaya begitu saja. Padahal itu untuk mencegahnya dari memposting hal-hal tak wajar ketika kondisinya sedang tak stabil.

Setelah beberapa waktu scroll beranda, muncul satu postingan dari Kaff.

"Kamu tahu, tapi berpura-pura. Kamu tak tahu, tapi menerka-nerka."

Kuberi tanggapan wow untuk postingan tersebut. Menit berikutnya, muncul notifikasi panggilan video WA.

Ragu antara harus menerima atau menolaknya. Panggilan dimatikan oleh si empunya. Alhamdulillah ... Lalu muncul lagi panggilan suara.

Kebiasaan! Kaff akan terus memaksa jika aku tak menuruti apa maunya.

"Hallo!" ketusku.

"Aku ganggu?"

"Pikir aja ndiri!" geramku.

"Ha ha ha pasti lagi cemberut."

Dia malah tertawa. Tak kusahuti obrolannya.

"Masih di Malang, kan?"

"Iya."

"Nggak pingin ketemu?"

"Ogah!"

"Ha ha ha mode singa!" kelakarnya. "Tau aja kalo singa lebih menantang ketimbang kucing," imbuhnya.

"Helehhh!"

"Ati-ati aja!"

"Kenapa?"

"Tar susah kalo aku jatuh cinta," gumamnya dengan sedikit berbisik. Namun tak ada tawa di akhir kalimatnya.

Hissh apa sih. Dasar Kaaaff!

Niat hati kan ingin bersikap cuek, tapi tetap saja muncul lengkungan di bibir ini.

Dialah Kaffah, Si Bunglon tengil yang bisa menyaru menjadi apa saja. Kadang dingin, kadang ramah, kadang perhatian, kadang cueknya naudzubillah.

"Na?"

"Apa?!"

"Wuisshhh juteknyaaa kumat! Masih di sana, kan?"

"Iya lah!"

"Kirain lagi ngacain pipi merona." Tawanya terdengar lagi di seberang sana.

Kaffaaah! Bener-bener ni bocah!

"Ngapa sih telpon-telpon?!" dengusku.

"Salah sapa copot messenger!"

"Hisssh malesin! Dah lah, mo tidur!"

"Oke tunggu di sana!"

"Maksudnya?"

"Mo ikut tidur juga!"

Obrolan kuakhiri secara paksa agar tak melebar ke mana-mana. Dasar bocah, ganggu aja! Padahal aku sedang ingin becanda dengan teman-teman dunia maya.

Hiss Kaffaaah! Nyebelin! Gak paham banget kalo di sini lagi gelisah. Ehh mana dia tahu ya, kan aku belum cerita.

Kaffah, mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Kimia di salah satu universitas ternama di kota ini. Usianya sekitar dua puluh dua, lima tahun di bawahku. Entah asalnya dari mana, aku lupa. Yang pasti jauh di Pulau Sumatera sana.

Larut dalam candaan di dunia maya membuatku sejenak melupakan Afnan bersama perlakuannya sore tadi. Entah bagaimana awalnya, tangan lembut itu menangkup pipiku, hembus napasnya terasa hangat di wajah mengalahkan dinginnya udara. Lalu detik jarum jam seakan kehilangan detaknya saat bibir itu menempel lembut di ... punggung tanganku.

Untung saja Tuhan masih memberiku sedikit kesadaran di saat-saat seperti itu.

Bukankah tak beradab ketika dua orang berlainan jenis, dengan masing-masing cincin di jari manisnya, nyaris menghapus jarak di antara dua bibir mereka. Bahkan diam berdua di ruang private seperti ini tanpa alasan darurat takkan mungkin dilakukan oleh seorang perempuan terhormat.

***

Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku bergeming.

Suara ketukan terulang. "Permisiii ... room serviiice!"

Mana ada room service jam setengah sepuluh malam. Pura-pura tidur sajalah, toh aku tak memesan apapun.

Urung memejamkan mata saat terdengar panggilan video dari Kaff.

Hisss mau apalagi dia!

Panggilan diterima, namun kuarahkan layar handphone ke bantal.

Hanya terdengar suara tawa dari seberang sana. Kulirik layar, di sana malah terlihat pintu kayu berwarna cokelat muda. Aku ikut tertawa. Ternyata Kaff masih ingat kebiasaanku, aku sering bercerita padanya perihal kebiasaanku ketika ada panggilan video dari orang tak dikenal, maka layar ponsel akan kuarahkan ke tembok, kasur, atau bantal.

Waiiiit, pintu cokelat muda? Benar dugaanku.

"Bukain pintu, atau kugedor nih!" Suara Kaff seolah menggema.

"Haishh halu! Coba aja!"

Di layar handphone, tampak sebuah tangan kokoh nyaris menyentuh pintu.

"Iya iyaaa ... tunggu di sana!"

Ya Tuhaaan, jangan sampai kedatangannya menimbulkan keributan. Dia kan manusia bunglon yang bisa berbuat apa saja.

Aku mengganti baju tidur dengan celana jeans dan sweater lengan panjang. Menguncir rambut asal, mengambil beberapa uang dan menaruhnya di saku bersama handphone, lalu keluar tanpa riasan apapun di wajah. Jangan sampai menjadi tak beradab lagi karena menerima tamu asing di dalam kamar.

Perlahan pintu terbuka. Laki-laki di depanku tersenyum dengan menaikkan satu alisnya.

"Ganggu banget!" geramku.

Dia tertawa lirih.

"Ayo keluar, jangan sampai tar dikira aku bawa cowok ke kamar!"

"Mang napa?" tanyanya.

"Menurunkan harga diri!" jawabku sambil berlalu meninggalkannya. Sementara bibir ini tersenyum miris, menyadari jika harga diriku telah ternoda.

Kaff mengikutiku yang melangkah cepat di depannya. Entah bagaimana caranya ia bisa menemukanku di sini. Ah entahlah, mungkin uang memang bisa mempermudah segala urusan pemiliknya.

Sesampainya kami di lantai dasar, kulangkahkan kaki memasuki sebuah cafe bernuansa cokelat muda dengan suasana tradisional yang terletak beberapa puluh meter di samping lobi.

Menyelipkan diri diantara sebuah meja dengan empat buah kursi kayu mengelilinginya. Kuambil tempat favorit di pojok ruangan. Sementara Kaff baru saja kembali setelah memesan minuman untuk kami berdua.

"Jan cemberut mulu, Na!" ujarnya membuka percakapan.

"Ganggu orang mau istirahat aja!"

"Istirahat atau mau ngebucin author pemes di grup sebelah?" Ada nada mengejek pada kalimatnya.

"Sembarangan!"

Tanpa sengaja senyum terkembang di bibir. Kaff tahu benar kebiasaanku. Cepat-cepat menormalkan mimik wajah.

"Gitu donk, kan manis kalo lagi senyum," godanya.

Aku pura-pura mendelik. Dasar playboy cap bunglon! Baru ketemu aja udah berani gombal.

"Gosah dibesar-besarin tuh mata, sipit ya sipit aja!" Kaff tertawa mengejek.

Aku menjulurkan lidah. "Dasar mata belo'!"

"Tapi 'kan memesona?" ujarnya sambil menaik turunkan sebelah alisnya.

Pemuda jangkung berkulit coklat bersih dengan mata besar dan bulu mata panjang. Kuakui senyumnya memang cukup menawan.

__________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status