Share

Seseorang dari Dunia Maya

Perempuan. Siapapun dia, berapapun usianya, bagaimanapun sifat dan apapun status sosialnya. Entah sadar atau tidak. Mengakui atau mengingkari. Pasti pernah luluh oleh satu hal yang bernama ... pujian.

Pujian. Darimanapun ia datang, siapapun dan dengan cara apapun disampaikan. Jangankan dari orang yang menarik baginya, dari orang yang ia benci sekalipun, pasti akan terasa juga dampaknya.

___________________

Sebuah lagu mengalun sendu dari panggung minimalis di pojok cafe. Kaff duduk di sana dengan gitar dalam petikan.

~~~~

Kau yang pernah singgah di sini

Dan cerita yang dulu kau ingatkan kembali

Tak mampu untukku mengenal lagi

Mengenal dirimu di awal dulu

Tak ada waktu kembali

Untuk mengulang lagi

Mengenal dirimu di awal dulu

Kutahu dirimu dulu

Hanya meluangkan waktu

Sekedar melepas rasa sedihmu

Mencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi

Yang harus kupendam dalam mengagumi dirimu

Melihatmu genggam tangannya 

Nyaman di dalam pelukannya

Yang mampu membuatku

Tersadar dan sedikit menepi

Tak ada waktu kembali

Untuk mengulang lagi

Mengenal dirimu di awal dulu

Kutau dirimu dulu

Hanya meluangkan waktu

Sekedar melepas kisah sedihmu

Mencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi

Yang harus ku pendam dalam mengagumi dirimu

Melihatmu genggam tangannya

Nyaman di dalam pelukannya 

Yang mampu membuatku

Tersadar dan sedikit menepi 

(Mencintai Dalam Sepi- Waton)

Aku cukup menikmatinya. Itu salah satu lagu favorit, apalagi saat Tri Suaka menyanyikannya dengan sangat manis, auto oleng seketika.

Kaff menyelesaikan lagunya, lalu memandang ke arahku. Tepukan lirih dari tangan di depan dada kalah oleh tepukan beberapa pasang tangan di ruang ini. Entah bagaimana caranya, Kaff bisa ada di sana. 

Kaffah Ar Rayyan. Ia nyaris sempurna sebagai seorang lelaki. Wajah menarik, pintar, romantis, dan dari cerita tentang kehidupan sehari-harinya, kusimpulkan kalau dia sudah cukup mandiri secara finansial. Di kota ini, Kaffah memiliki sebuah studio foto yang cukup dikenal. Di samping puisi, musik dan fotografi adalah hal yang paling ia sukai. Akan tetapi satu hal yang membuat nilai minus untuknya, yaitu kebiasaannya berpetualang. Dari satu hati ke hati lainnya, dari satu pelabuhan hasrat ke pelabuhan lainnya.

Bagiku, Kaff tak hanya seorang kawan dunia maya. Bukan hanya kekasih halu, teman bucin atau popcorn kriuk cemilan di waktu senggang. Dia sudah kuanggap adik kedua, sebagai pengobat rindu pada adik kandungku yang telah pergi jauh ke surga.

Perihal hobi petualangnya, aku cukup maklum karena dahulu sempat berada di posisi serupa. Terjerumus dosa berantai yang tak temu pangkal ujungnya. Lepas dari satu dosa ke dosa lainnya karena pernah merasakan teramat sakitnya kecewa.

"Suka lagunya?" Kaff kembali duduk di hadapanku.

"Apa'an, suaranya falls!" ujarku sambil menjulurkan lidah. Tentu saja aku bercanda, suara Kaff sesungguhnya begitu merdu di telinga.

"Tuh idungnya jadi panjang!"

Refleks tangan meraba hidungku sendiri. Lalu Kaff tertawa. Sial! Dia pikir aku pinokio yang hidungnya berubah kalau berbohong.

"Nggak lucu!" desisku.

"Jan jutek gitu lah, Na. Asli, kagak cocok buat muka sendu kek gitu!" katanya.

"Aku kan emang kek gini kalau di dunia nyata," jawabku ketus.

"Tapi kalau di maya, lembut dan bucinnya maksimal, ya?" Kaff menggodaku.

"Terserahlah, aku mo balik. Dah malam. Tar dikira selingkuh sama brondong! Gak level!"

"Trus kalau bukan brondong, mau?"

"Ogah, lah! Aku kan setia!" jawabku sambil menjulurkan lidah.

Kamipun tertawa bersama. Tentu dia sudah tau bagaimana sifat, kisah hidup dan rumahtanggaku. Kecuali satu hal, masa laluku.

Syukurlah, pertemuan kali ini terjadi sesuai rencana, rencanaku. Akhirnya lunas sudah hutang pada si bocah manis itu.

Aku pernah bertaruh dengan Kaff dalam sebuah kompetisi Puisi. Jika dia menang, aku harus menuruti satu permintaannya, apapun itu, entah dunia nyata ataupun maya. Dan jika sebaliknya, maka dia akan menuruti apapun permintaanku. Apapun itu. Tentu dengan rambu-rambu norma dan logika. Kaff memenangkan kompetisi. Sebagai gantinya, aku harus mendengarkannya bernyanyi secara live jika kami memiliki kesempatan untuk bertemu.

Suatu ketika kami pernah bersitegang, saling mengunggulkan suara. Lalu bertukar voice record. Di situ, suaraku lebih bagus. Tentu saja, kuedit dengan aplikasi karaoke online. Hi hi hi. Kaff tak percaya begitu saja, lalu muncul ide konyolnya itu. Bernyanyi live di hadapanku.

***

Berada di sebuah cafe dengan seorang lelaki baru dikenal-meski sebenarnya sudah cukup kenal di dunia maya- tentu bukan hal yang bisa dibenarkan,-apalagi tanpa seizin suami.

Maafkan istrimu yang nakal ini, Mas. Hanya sekali, kok, tak akan kuulang lagi. Tadi sebenarnya ingin memonta izin, namun Mas Ichsan sempat pamit kalau hendak tidur, maka kuurungkan untuk meneleponnya. Membuatnya terbangun sama halnya membuatnya tak bisa tidur hingga esok tiba.

Selalu kuingat penjelasan dokter kala itu. Bagi ODS, tidur nyenyak adalah suatu kemewahan. Ketika telah divonis skizofrenia, maka tidur nyenyak dan teratur adalah hal yang kecil kemungkinannya bisa dinikmati seumur hidup. Untuk itu, ODS perlu mengkonsumsi obat sepanjang hidupnya. Tentu, dengan dosis yang lebih kecil, mungkin sama seperti vitamin. Namanya dosis maintenance atau dosis pemeliharaan.

Dulu, waktu Mas Ichsan baru beberapa kali berkunjung ke psikiater, dia langsung ambruk beberapa menit setelah injeksi pertama. Kami langsung panik karena mengira bahwa dia pingsan, namun ternyata hanya tertidur kelewat nyenyak. Sebelumnya, mungkin sekitar enam bulan lamanya dia hampir tak pernah tidur malam karena matanya sulit terpejam.

Salah satu tanda awal skizofrenia adalah gangguan tidur. Bisa berupa insomnia atau mungkin tidur tak nyenyak karena sering terbangun akibat mimpi buruk. Sebenarnya itu bukanlah mimpi, melainkan halusinasi. Setelah kunjungan ke psikiater kala itu, Mas Ichsan tertidur hampir dua hari. Nyenyak sekali, hampir seperti mati suri. Berbagai cara kami lakukan untuk membangunkannya, namun tak berhasil, ia tetap nyenyak dengan napas teratur.

Pihak keluarga sempat khawatir, namun setelah berkonsultasi dengan psikiater yang menangani dan juga mencari second opinion, akhirnya kami mengerti bahwa ODS perlu istirahat total ketika masa penyembuhan. Oleh karena itu, beberapa jenis obat memang menyebabkan kantuk yang mungkin tak biasa. Hari-hari berikutnya, Mas Ichsan masih bisa dibangunkan ketika waktunya makan, mandi atau buang hajat. Tentu dengan berbagai macam cara dan perlu kesabaran ekstra.

Aku harus bersyukur karena di luar sana masih banyak caregiver yang harus berjuang dan menahan kesabaran lebih banyak daripadaku. Beberapa ODS bahkan tak bisa bangun saat awal-awal pengobatan, jadi untuk urusan buang hajat, ia lakukan di tempat tidur.

Beberapa saat setelah Kaff menyelesaikan lagunya, kuputuskan untuk pamit dan membuat perjanjian untuk tak lagi bertemu di dunia nyata. Sudah kucukupkan dia hanya sebagai teman maya. Ada satu nasihat yang kupegang teguh, bahwa takkan ada persahabatan yang murni diantara dua orang berlainan jenis. Aku percaya, kebanyakan yang terjadi memang begitu. Salah satu pihak pasti ada yang terbawa perasaan. Jika gayung bersambut, akan ada ikatan lain di atas persahabatan. Tak hanya di dunia nyata, pun dunia maya. Seperti aku dan Kaff, tak ada jaminan bisa tetap patuh pada koridor ini. Menjaga jarak tanpa se-inchi pun kulit tersentuh.

***

Training hari kedua berjalan sesuai harapan. Banyak pengetahuan baru yang kuperoleh di sini.

Setelah acara usai, bergegas kembali ke kamar dan berkutat dengan gawai untuk memeriksa notifikasi yang sedari tadi kuabaikan. Beberapa pesan dari Bunda, satu dari Mayang, satu dari Kaff dan sebuah panggilan video dari nomor tak dikenal.

Siapa lagi ini?

Sebuah panggilan suara masuk, saat aku sedang bergosip via chat dengan Mayang. Dari nomor tak dikenal dan tanpa foto. Siapa lagi sih, ini?!

Setelah mengamati sejenak, ternyata nomor itu yang tadi meminta video call. Karena penasaran, akhirnya kujawab saja. Nanti kalau ternyata orang iseng, langsung saja blokir, beresss, kan?

"Hallo!" Sengaja kukeraskan suara.

"Hallooo," jawab orang di seberang sana. Suaranya aneh, agak sengau. Tapi kuyakin kalau ini lelaki.

"Siapa sih, ni?!" ketusku.

"Hayoo ... siapa? Coba tebak!" Orang di seberang sana malah balik bertanya.

"Siapa? Saya matikan, nih, kalau gaje!" ancamku.

"Oke oke oke, ini aku," jawabnya. Masih terdengar sengau.

"Sapa? Kaff?" tebakku. Biasanya memang Kaff yang sering gaje begini.

"Kaff siapa?" Suara di seberang terdengar jelas dan aku hapal betul itu milik siapa.

Astagaaa, mampus kau, Rin!

"Hoalaaah ... he he he. Kirain sapa. Mas pake nomer siapa sih, ini?" Aku tertawa berusaha mengalihkan pembicaraan. Sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya.

Salah satu gejala yang dialami oleh pengidap Skizofrenia Paranoid adalah waham curiga yang berlebihan. Maka membiarkan berlarut dalam kecurigaan sangat tak baik untuk kesehatan jiwanya.

"Kaff ... siapa?"  cecarnya.

"Kaffana, temen baru di sini," jelasku. Lalu menggigit bibir yang telah sedikit berbohong. Hanya dua huruf saja kan bohongnya. Hi hi hi.

"Laki-laki?" selidik Mas Ichsan. Sepertinya dia penasaran.

"Bukan gitu. Suaranya kalo di telepon agak sengau, mirip Mas barusan itu dah," elakku. Berusaha memainkan kata supaya tak harus menjawab jenis kelaminnya. See? Sekali kamu berbohong, maka harus ada lagi kebohongan-kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertama. Dosa, kamu, Rinda! Dosaaa.

Astagfirullah ....

"Mas kok pakai nomor baru?"

"Punya Mama, jarang dipakai," jawabnya.

"Kok bisa pakai dua WA?" tanyaku penasaran.

"Pakai HP lain," terangnya. Lalu terdengar suara aktivitas keypad di ujung sana. Pasti Mas Ichsan sedang mengutak-atik handphonenya.

"Hape Mama?" selidikku.

"Bukan, dapet nemu waktu bersih-bersih kemarin," jelasnya sambil tetap memencet keypad di seberang sana.

"Oalaaah, yang warna putih, ya?" tebakku.

"He'em, di sini banyak foto-foto. Mulai zaman sekolah sampe kuliah dulu. Gak taulah sapa aja," jawab Mas Ichsan.

"Nanti kalau aku pulang, kita lihat sama-sama ya," tawarku. Mungkin dengan begitu ia bisa sepenuhnya kembali ke kehidupan nyata dan beraktifitas normal seperti sebelumnya.

Sejak sakit, beberapa barang elektronik miliknya memang kusimpan di dalam kardus dan terbungkus rapi. Takut ia tak sengaja merusakkannya dengan dalih sedang memperbaiki. Satu unit komputer beserta seperangkat asesoris dan sebuah handphone yang sudah jarang ia pakai. Tersimpan di kamar belakang yang kufungsikan sebagai ruang kerja dan ruang begadang.

"Rin!" panggil Mas Ichsan.

"Ya, Mas?" jawabku

"Kapan pulang?" lirihnya.

"Besok penutupan acaranya jam dua belas, habis tu aku langsung pulang," jelasku.

"Ohh ... yaudah kalau gitu."

"Uda kangen, ya? Hi hi hi." Godaku sambil tertawa.

"Kamu enggak?" Mas Ichsan balas bertanya.

"Nggak laah!" Aku terkikik sendiri. "Nggak kuat nahan kangennya," jawabku sambil tertawa. Kudengar di seberang sana ia juga tertawa.

"Kirain dah nemu yang lain di sana," gumanya lirih, namun masih terdengar jelas olehku.

"Kenapa, Mas?" tanyaku memastikan.

"Nggak, nggak papa," elaknya.

Tak terasa setetes bening menetes dari ujung mata. Maafkan aku, Mas. Tak pernah sedikitpun ada niat menghianatimu.

***

Perjalanan pulang yang kulalui terasa begitu panjang. Kali ini menggunakan jasa bus kota, meskipun sebenarnya ada sedikit takut dan ragu. Bepergian seorang diri dengan kereta memang lebih terjamin keamanannya ketimbang dengan bus. Akan tetapi rindu yang berkecamuk membuatku tak sabar ingin cepat sampai di rumah. Memasang headphone, lalu memutar beberapa lagu di playlist. Beberapa lagu favoritku dan Mas Ichsan ada di sana. Dulu saat semua masih berjalan normal, kami sering berbagi earphone di malam hari dan duduk di dekat jendela. Mendengar beberapa lagu favorit sambil melihat langit malam. Bagiku ... itu romantis dan membahagiakan.

Ketika tengah asik menikmati lagu-lagu favorit, sebuah rekaman suara bekas salah satu lomba baca puisi nyasar di playlist, mengganggu lamunan yang sedang melankolis. Karena malas mengambil handphone di dalam tas, kubiarkan saja suara itu mengalun tenang.

KENANG LUKA

Oleh: Pesona Senja

________

Kaukah yang bersembunyi sewindu penuh

Menyaru bayang terasa candu

Laksana api berkobar tanpa membakar

Senyap padam terhempas keputusasaan

Lagi-lagi rasaku tumbuh

Serupa pucuk kentang di musim hujan

Leleh meleleh bulir bening

Kenang rindu tanpa berujung temu

Kaukah anila sepoi penggetar jiwa

Padamu ... pernah kugantung cita cinta

Berharap takdir menulis lembar buku garuda

Khayal tinggal angan lumur jelaga

Padamu ... restu bagaikan simalakama

Kau rengkuh atma, lepas permata jiwa

Merengkuh ia relakan cinta

Tolong ... jangan kau pilih jalan durhaka

Mengapa takdir sebercanda ini

Memberi pilih serupa jarum jerami

Antara badai atau kilat menyambar

Antara banjir atau longsor bukitan

Antara kobar api atau bumi bergetar

Antara meremas wanita yang padanya kau taruh cinta

Atau meretas ia yang susunya terbalas tuba

Jangan lagi memilih!

Cintaku tak sekadar manja

Kasih tak sebatas peluk mesra

Pada doaku muara rasa

Aku memilih pergi

Sendiri memeluk luka

Daripada seumur hidup rasa bersalah

Andai durhakamu karena cinta

__________________

Ah puisi ini, membuat moodku berubah seketika.

Puisi tentang seseorang yang pernah memberi warna pada hidupku di masa lalu.

Next

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status