Awalnya Serena memang berniat tidur. Tapi kemudian dia terjaga dan sulit memejamkan mata kembali. Kejadian hari itu, meski Al dan pamannya menunjukkan sikap bahwa semua baik-baik saja.Tetap saja Serena merasa terganggu. Dia tidak tahu bagaimana suasana di luar sana. Apa mereka masih menuduhnya sebagai pembunuh?Melihat ekspresi Al yang tenang macam biasa. Serena menduga kalau pria itu telah temukan jalan keluarnya. Namun Serena tetap tidak tenang.Pada akhirnya dia meraih jaket Al, memakainya lalu berjalan keluar kamar. Suasana The Palace sepi. Serena pikir sebab mereka pergi dinas bersama Al.Langkah Serena menuntunnya menuju rumah pohon. Tempat yang akhirnya Al bangun sedemikian rupa. Ada tangga yang memungkinkan Serena tak perlu memanjat kalau sedang malas.Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di atas rumah pohonnya. Ada lantai papan yang disediakan jika Serena ingin selonjoran di sana.Semua terlihat menyenangkan. Serena sesaat menutup mata. Dia nikmati semilir angin malam yan
Lisa pikir masih bisa menyelamatkan diri. Dia akan mencobanya. Tidak peduli Gaston hanya memanfaatkannya atau sungguh menyayanginya. Lisa akan urus nanti. Yang penting kabur dulu.Dia melihat celah saat semua orang orang fokus pada Serena. Istri Alterio? Ini di luar perkiraan. Gaston bilang, Serena hanya salah satu wanita yang sedang dekat dengan pria itu.Jadi Serena adalah target yang tepat jika ingin mengusik Al. Siapa sangka jika posisi Serena lebih dari itu.Serena masih sibuk berdebat dengan Al. Dua orang itu sepertinya punya hubungan rumit. Suami istri tapi kesannya jauh dari itu. Dalam pikiran Lisa, Serena adalah sasaran yang bisa mengacaukan konsentrasi Alterio dan yang lainnya.Maka ketika dia berhasil merebut senjata Felix. Benda itu langsung terarah pada Serena."Mati kau!" Letusan peluru terdengar. Serena ditarik menghindar. Gadis itu terkejut, dia pun menoleh. Serena langsung syok mendengar tembakan kembali terdengar. Lisa ambruk di tanah, dengan Beita menekan lengann
Serena kesal sekaligus sedih di waktu bersamaan. Fakta kalau Lisa adalah dalang dibalik kejadian beberapa waktu lalu, cukup memukul mentalnya.Padahal Lisa punya tempat tersendiri di hati Serena. Sekarang Lisa sudah tidak ada. Ada hampa juga kecewa yang Serena rasakan. Perempuan itu meringkuk di bantal besar yang terhampar di lantai.Serena tanpa Al duga pergi ke rumah pohon. Dia melamun sambil memandang ranting pohon yang jadi atap tempat itu.Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok. Apa mereka masih akan menghujatnya, atau semua sudah berhenti. Apa yang harus Serena lakukan.Haruskah dia pergi ke kantor atau tetap bersembunyi seperti hari ini. Helaan napas berat jadi hal terakhir yang Serena lakukan sebelum memejamkan mata.Dia berniat kabur dari Al malam ini. Dia marah pada sang suami. Namun rencana kabur Serena tinggal rencana saja. Sebab lima belas kemudian, suara langkah mendekat terdengar. Diikuti hembusan napas penuh kelegaan. Al menemukan Serena. Pria itu duduk bersila
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto
"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
Serena kesal sekaligus sedih di waktu bersamaan. Fakta kalau Lisa adalah dalang dibalik kejadian beberapa waktu lalu, cukup memukul mentalnya.Padahal Lisa punya tempat tersendiri di hati Serena. Sekarang Lisa sudah tidak ada. Ada hampa juga kecewa yang Serena rasakan. Perempuan itu meringkuk di bantal besar yang terhampar di lantai.Serena tanpa Al duga pergi ke rumah pohon. Dia melamun sambil memandang ranting pohon yang jadi atap tempat itu.Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok. Apa mereka masih akan menghujatnya, atau semua sudah berhenti. Apa yang harus Serena lakukan.Haruskah dia pergi ke kantor atau tetap bersembunyi seperti hari ini. Helaan napas berat jadi hal terakhir yang Serena lakukan sebelum memejamkan mata.Dia berniat kabur dari Al malam ini. Dia marah pada sang suami. Namun rencana kabur Serena tinggal rencana saja. Sebab lima belas kemudian, suara langkah mendekat terdengar. Diikuti hembusan napas penuh kelegaan. Al menemukan Serena. Pria itu duduk bersila
Lisa pikir masih bisa menyelamatkan diri. Dia akan mencobanya. Tidak peduli Gaston hanya memanfaatkannya atau sungguh menyayanginya. Lisa akan urus nanti. Yang penting kabur dulu.Dia melihat celah saat semua orang orang fokus pada Serena. Istri Alterio? Ini di luar perkiraan. Gaston bilang, Serena hanya salah satu wanita yang sedang dekat dengan pria itu.Jadi Serena adalah target yang tepat jika ingin mengusik Al. Siapa sangka jika posisi Serena lebih dari itu.Serena masih sibuk berdebat dengan Al. Dua orang itu sepertinya punya hubungan rumit. Suami istri tapi kesannya jauh dari itu. Dalam pikiran Lisa, Serena adalah sasaran yang bisa mengacaukan konsentrasi Alterio dan yang lainnya.Maka ketika dia berhasil merebut senjata Felix. Benda itu langsung terarah pada Serena."Mati kau!" Letusan peluru terdengar. Serena ditarik menghindar. Gadis itu terkejut, dia pun menoleh. Serena langsung syok mendengar tembakan kembali terdengar. Lisa ambruk di tanah, dengan Beita menekan lengann
Awalnya Serena memang berniat tidur. Tapi kemudian dia terjaga dan sulit memejamkan mata kembali. Kejadian hari itu, meski Al dan pamannya menunjukkan sikap bahwa semua baik-baik saja.Tetap saja Serena merasa terganggu. Dia tidak tahu bagaimana suasana di luar sana. Apa mereka masih menuduhnya sebagai pembunuh?Melihat ekspresi Al yang tenang macam biasa. Serena menduga kalau pria itu telah temukan jalan keluarnya. Namun Serena tetap tidak tenang.Pada akhirnya dia meraih jaket Al, memakainya lalu berjalan keluar kamar. Suasana The Palace sepi. Serena pikir sebab mereka pergi dinas bersama Al.Langkah Serena menuntunnya menuju rumah pohon. Tempat yang akhirnya Al bangun sedemikian rupa. Ada tangga yang memungkinkan Serena tak perlu memanjat kalau sedang malas.Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di atas rumah pohonnya. Ada lantai papan yang disediakan jika Serena ingin selonjoran di sana.Semua terlihat menyenangkan. Serena sesaat menutup mata. Dia nikmati semilir angin malam yan
"Tidurlah."Alterio mengusap punggung Serena yang terbaring di atas dadanya. Mereka sudah pulang dari mansion Alexander dua jam lalu.Keduanya menolak saat diminta untuk menginap. Alterio menjawab dengan santai kalau kewajibannya sebagai menantu keluarga Alexander setidaknya sudah dia penuhi.Jadi perkara menginap atau tidak akan diurus lain kali. Nandito tak bisa mencegah Alterio, terlebih pria itu berujar masih punya masalah yang harus diurus.Dari ekspresi Al, Nandito langsung tahu kalau persoalan yang harus dibereskan Al adalah perkara Thalia."Enggak bisa.""Masih mikirin Thalia. Dia sudah mati. Langsung dikubur tadi.""Ngapain mikirin mayat. Serem.""Lalu?" Al sejatinya sangat terganggu dengan tingkah Serena yang mendadak jadi kelinci imut yang menggemaskan.Serena yang biasanya tantrum kalau dia sentuh, kini tiba-tiba jadi pasrah. Diam saja saat pria itu menariknya dalam pelukan."Terima kasih buat dua triliun itu."Akhirnya Serena tahu kalau Al adalah orang yang membantu keuan
Ekspresi Elle berubah tegang. Sama halnya dengan Nandito. Bedanya pria itu dengan cepat bisa mengendalikan diri."Bukan hal besar. Hanya saja dulu ibumu sangat baik pada tantemu. Tapi dia justru berlaku buruk padamu. Om jadi malu."Serena mengulas. Dia sangat senang sikap Nandito tak berubah padanya. Meski di luaran sana banyak orang blak-blakan mencacinya."Kapan kamu datang? Kenapa tidak kasih tahu. Datang sama Lalita atau Sergie? Atau sama suamimu?"Pertanyaan beruntun Nandito berikan. Pria itu aslinya sangat cemas dengan pemberitaan soal Serena. Takut Serena terpengaruh lantas tak mampu bertahan."Aku datang sama Lalita. Sergie lagi ada urusan. Tahu sendirilah."Nandito tersenyum merespon jawaban Serena. Sang keponakan sengaja tak menjawab soalan seputar suaminya."Turunlah makan sebentar lagi. Tante siapkan makan malam." Elle pilih menghindar dari situasi yang menyudutkan dirinya. Serena mengangguk, tidak merespon berlebihan. Setelahnya suasana hening menyelimuti ruangan dengan
Kejadiannya persis seperti Nereida. Serena merekam dengan apik di benaknya. Seperti apa ibunya saat terjatuh dari tangga, lalu berhenti dengan kepala terus mengucurkan darah.Akibatnya, tak lama kemudian Nereida meninggal. Serena mematung di tempatnya berdiri, menyaksikan beberapa orang mulai berdatangan memberi pertolongan pada Thalia.Jiwa Serena serasa terhisap kembali ke masa itu. Saat dia menangis histeris saat Lalita dan Sergie mencoba menyelamatkan ibunya. Namun gagal."Ibu, mereka sudah mendapat balasannya. Ibu bisa tenang di sana.""Dia yang mendorongnya!" Suara itu membuat Serena tersadar. Saat itu Serena merasa ada tangan yang menyentuh bahunya. Lalita ada di sana. Jelas untuk melindunginya."Jangan sembarangan menuduh. Memangnya kamu lihat kejadiannya?" Seru yang lain. Tubuh Thalia sudah diangkut menuju rumah sakit. Yang tersisa di sana tinggal staf umum RD. Kenapa disebut umum, sebab mereka murni karyawan biasa.Kalau mereka merangkap anggota Black Diamond. Mana berani
Paras Serena berubah pucat begitu dia ditarik ke atas. Al sungguh berniat ingin membunuhnya. Jantungnya serasa lepas dari tempatnya. Pun dengan tubuhnya mendadak kaku, tidak bisa bergerak. Ditambah dia sempat sesak napas.Al sempat terbahak sebelum memeluk erat tubuh Serena yang terasa dingin. "Mati aku, mati aku," gumam Serena tiada henti."Belum," kata Al singkat.Serena lekas mendorong tubuh sang suami menjauh. Dia duduk selonjor dengan tubuh terasa lemas.Keadaannya lumayan membaik saat Jeff mengulurkan air untuk Serena minum. Rona merah lekas mewarnai paras sosok yang kecantikannya Jeff akui di atas rata-rata.Pantas saja si kutub utara sampai meleleh karenanya. Premium punya dan pasti limited edition alias langka. "Kau keterlaluan!" Maki Serena seketika.Tapi yang dimaki cuma diam saja. Tidak membantah atau membela diri. Al bergeming memandang Serena yang mengomel panjang lebar, tak peduli tempat. Bahkan Jeff sampai geleng kepala melihat tingkah Serena. Dalam keadaan biasa, Al
"Edgar Martinez punya putra? Tidak masuk akal!" Max berkomentar sambil memasukkan cairan hijau bening ke tabung reaksi berisi cairan berwarna transparan.Desis lirih terdengar sebagai reaksi pertemuan antara dua cairan beda jenis itu. Max menunggu sejenak, mengamati perubahannya sebelum tersenyum tipis.Tangan dan otaknya benar-benar jenius. Dari proses awal sudah terlihat kalau percobaannya bakal berhasil. Perhatian Max kembali teralihkan ketika dia memandang berkas kesehatan Edgar yang tergeletak di meja. Dia amati tulisan di dalamnya, kemudian dia membuat panggilan.Max bicara dengan seseorang di ujung sana. "Jadwalkan pemeriksaan ulang untuk Edgar Martinez. Komplit."Awalnya Max tidak tertarik dengan urusan Edgar. Mengingat pria itu cukup merepotkan Al selama ini. Jadi Max juga menaruh rasa tidak suka pada pria itu.Namun melihat kejanggalan dalam laporan kesehatan Edgar, hatinya tergerak untuk mencari tahu. Bagaimanapun Max punya basic dokter, yang mana tugasnya menolong tanpa p
Max menerima panggilan dengan dahi berkerut dalam. Tidak pernah dia duga kalau Edgar akan menghubunginya. "Siapa?" Paul bertanya. Tangannya selalu sibuk dengan benda persegi pipih nan canggih. Kalau tidak tablet ya laptop."Edgar, dia bilang ingin bertemu. Urusan apa ya?" Max jarang bersentuhan dengan dunia luar. Dia benar-benar suka mengurung diri di lab.Berkutat dengan rumus, formula dan berbagai percobaan. Entah berhasil atau tidak, Max tidak peduli. Yang penting dia nyaman dengan dunianya. Soal hasil pikir nanti."Apa dia berubah pikiran mau menjodohkanmu dengan Vasti, setelah Al menolak terus-terusan. Siapa tahu dia berminat dengan pembunuh tanpa rasa sakit." Paul mulai memprovokasi."Kalau dia berani melakukannya, akan kuhabisi dia dengan racun terbaruku. Tidak terdeteksi.""Pantas namanya Invinsible."Max membusungkan dada, jumawa dengan pencapaiannya. Dua pria itu berhenti berbincang ketika Al keluar dengan Serena setengah terpejam dalam gendongan sang suami."Sudah lebih ba