Darah Al mendidih karena amarah bukan gairah. Waktu dia membuka pintu kamar, dia melihat Ara berbaring di atas ranjangnya, mengenakan lingerie seksi berwarna merah.Mata Al memerah. Dia emosi sampai ubun-ubun.Namun Ara sama sekali tidak menyadari hal itu. Dia justru bangun, berjalan ke arah Alterio dengan gerakan sensual nan menggoda."Aku sudah nunggu kamu lama. Bagaimana? Aku cantik tidak?"Rahang Al mengatup rapat. Tangannya terkepal. Tangan Ara melingkar di leher Al. Wanita itu menempelkan tubuhnya yang nyaris terekspose. Ara hampir mencium bibir Al ketika pria itu malah memandang tajam dirinya.Sudut bibir Ara tertarik, dia pikir Al pasti sedang menahan diri untuk tidak langsung menerkamnya.Trik ini selalu manjur pada Paul. Pria itu akan langsung membanting Ara ke ranjang, tiap kali dia berdandan seperti ini.Tapi Ara lupa. Al bukan Paul yang suka saat dia berpakaian seksi dan terbuka. Alterio suka seksi yang tertutup. Macam Serena yang kerap memakai kemejanya tanpa dalaman. D
Suara pukulan terdengar diikuti tubuh besar Alterio menubruk dinding. Pria itu diam saja saat Ravi mencengkeram kerah Al, menariknya lantas mencekiknya."Katakan sekali lagi!" Desis Ravi penuh amarah.Pria itu awalnya cemas saat Serena tak bisa dihubungi belakangan ini. Ravi mulai mencari, dari kantor RD mengatakan Serena sedang cuti panjang. Tapi yang membuat Ravi curiga, Serena tak pernah mengangkat panggilan. Kepanikan Ravi kian tinggi, hingga dia tanpa sadar mendengar dari Riva kalau dia juga sudah lama tidak bertemu Serena.Artinya ada sesuatu yang terjadi. Akhirnya jalan satu-satunya adalah bertanya pada Alterio sendiri. Ravi coba bersabar tapi begitu panggilannya diangkat, Ravi langsung emosi.Dan di sinilah dia berada. Sebuah ruangan VIP satu kafe ternama dekat kantor ED. Amarah Ravi langsung meledak begitu melihat Al. Tak pelak, satu pukulan menghantam Alterio."Dia hilang, aku koma seminggu setelah dia menembakku. Dan kami belum menemukannya sampai hari ini."Dari terkejut,
Sosok berhodie tadi langsung beranjak pergi begitu terdengar pergerakan di dapur. Bayangannya menghilang di tikungan jalan yang gelap.Jantung Serena masih berdebar, pertanyaan siapa dan mengapa orang tadi berdiri di depan rumahnya, terus mengudara.Setelah dia bisa menenangkan diri, juga memastikan semua pintu dan jendela terkunci, bumil itu lantas duduk termenung di meja makan cukup lama.Dia masih ketakutan, rasa laparnya mendadak hilang. Sup yang tadinya panas sampai berubah dingin tanpa Serena sentuh.Perempuan itu pikir, sepertinya dia harus memberitahu Rodrigo. Maka keesokan harinya, pagi waktu Gaby pergi sekolah. Serena pergi ke rumah sebelah. Dia bawakan bubur yang dia masak tadi.Pria itu sedang duduk di beranda menikmati kopi dan sarapan. Kedatangan Serena cukup mengejutkan Rodrigo.Ditambah laporan Serena yang seketika menarik perhatian pria tua itu."Akan aku bereskan. Jangan khawatir. Pikirkan saja kandunganmu, jangan sampai kenapa-kenapa."Senyum Serena mengembang. Dia
"Kenapa kalian tidak hentikan dia?!" Max berteriak marah begitu tahu Alterio mendatangi kelompok di bagian barat sendirian."Dia sedang cari pelampiasan. Lagian kelompok barat ini sejak kapan tahu memang suka mengacau. Ditambah sekarang mereka membawa nama Serena. Habislah mereka." Felix menjawab santai sambil mengisi amunisi senjatanya. "Tapi ya jangan dibiarkan sendiri. Luka di jantungnya baru mulai merapat. Kalau tekanan darahnya naik, bisa jebol lagi. Alahai Ren, Ren. Ngumpet di mana sih kamu. Baliklah, lakikmu gak marah meski kau sudah menembaknya," keluh Max bercampur cemas."Dia tidak pergi sendiri. Beita dan Sergie sudah mengejar. Tapi mereka tetap ketinggalan. Alterio benar-benar gila kali ini." Paul muncul sambil memegang tabletnya. Walau begitu dia pun tampaknya siap menyusul Al dan yang lainnya, melihat dari outfitnya.Dan benar saja. Pria itu mengekor langkah Felix lantas masuk ke dalam mobil yang seketika melaju meninggalkan The Palace.Baru tiga minggu Serena pergi, h
Serena muntah lagi pagi itu. Dia sudah mulai terbiasa meski tampak kepayahan. Walau lemas mendera, dia tetap beranjak pergi ke warung sayur. Dia harus masak, tidak mungkin mengandalkan Rodrigo tiap hari. Dia malu juga segan. Wanita itu telah membagi uang Beita. Untuk hidup sampai dia bisa menghasilkan uang sendiri. Uang sewa sudah ia bayar selama satu tahun. Sisa uang dia simpan untuk kontrol kehamilan juga persiapan persalinan meski masih kurang.Selain itu dia juga membeli laptop juga tablet second untuk bekerja. Serena benar-benar menggunakan uangnya dengan cermat.Sempat jadi orang kaya beberapa waktu tidak membuatnya lupa setelan jadi orang kere yang motto hidupnya cuma satu, ngirit alias hemat."Wah, si Eneng sudah mruput aja beli sayur. Mau masak apa Neng?"Si ibu tukang sayur menyapa Serena. "Enaknya masak apa, Bu?" Serena balik bertanya. Dia harus menyesuaikan lidahnya dengan sayur yang ada. Dia tidak mungkin mencari daging steak, atau salmon atau menu kelas atas di tempat
"Pergi sana!" Eva mendorong tubuh Felix yang sejak tadi menempel padanya."Aku kan suamimu, mana boleh jauh-jauh." Kata Felix sambil mengedipkan mata.Eva mendelik marah. Gegara ulah Felix yang mengaku suaminya, perjodohan Eva gagal total. Keluarganya marah sebab dia tidak memberitahu mereka kalau ia sudah menikah.Eva terus menyangkal kalau Felix adalah suaminya. Tapi tidak ada yang percaya. Apalagi keluarga Eva langsung terpesona melihat tampilan Felix.Aroma kaya dan uang tercium jelas dari arah Felix. Belum wajah tampan dan bodi seksi sang pria. Felix adalah pria idaman banyak wanita. Keluarga Eva jelas sangat menyukai Felix."Siapa suamiku?" Tantang Eva. Dia memicing tajam pada Felix yang berbaring santai di ranjang."Tentu saja aku.""Cih, suami apa. Cuma kelon saja tiap malam. Tidak ada status. Suami model apa itu?""Oh minta status? Mau jadi nyonya Giordano Felix?" Pria itu tampak santai waktu menawarkan status pada Eva.Eva langsung berdiri, tangannya terlipat di dada. Menamp