Serene mengerjap tidak percaya, melihat Ravi Alexander berdiri di depannya. Pria tampan yang selalu membuat Serena tersenyum."Kak Ravi," pekik Serena senang. Ravi sendiri tak pernah menyangka akan benar-benar melihat Serena di Royal Diamond. Jadi Felix berhasil menemukan Serena, pemilik nama samaran Valen."Kamu sungguh lolos kompetensi? Maaf, boleh bergabung?"Karena kursi masih kosong satu, yang lain mengizinkan Ravi duduk di meja mereka. Lagi pula, bisa kenal dengan senior adalah hal bagus."Iya, aku. Al maksudku mereka menemukanku," jawab Serena kelabakan."Caranya?" Ravi kepo, sebab dia sudah mencari Serena ke mana-mana tapi tak menemukan keberadaan putri Nereida saat itu."Rahasia. Yang penting aku ada di sini. Aku bisa mengasah kemampuan juga mengumpulkan uang untuk beli obat ibu."Sendu mewarnai wajah Serena yang kini tampak lebih cantik dalam pandangan Ravi."Bibi akan baik-baik saja. Jangan cemas.""Kamu tahu keadaan ibu?"Ravi mengangguk. Keduanya sedang bicara berdua di
Al sendiri tidak tahu kenapa moodnya berubah drastis sejak makan siang selesai. Mood biasa saja sering membuat Max dan yang lainnya kewalahan. Apalagi bad mood begini. Bisa tambah runyam semua."Dia minum hasil percobaan kamu yang mana? Kenapa mukanya tambah psiko begitu?"Felix si ceplas ceplos langsung komen begitu Al mengakhiri rapat yamg dihadiri Beita by live streaming. Beita sendiri baru mengabarkan kalau Vasti nekad jalan-jalan ke lantai sepuluh."Enggak ya. Aku gak punya jadwal nguji hasil percobaan. Kecuali untuk Anthony. Obyek penelitiannya tidak cocok jika Al yang jadi bahan uji cobanya. Soalnya efeknya ngarah ke situ.""Ada juga yang seperti itu," Paul turut berkomentar."Apa karena Vasti?"Nah, kali ini semua setuju. Vasti memang perusak mood Al yang paling handal. Namun tebakan tiga sekawan itu meleset. Saat Serena pulang, Al masih mengantar. Tapi aura Al makin lama makin menyeramkan. Puncaknya ketika Al menyuruh Serena minum sup.Serena menolak dan malah nantangin Al.
Serena melengos saat dia bertemu Al waktu gadis itu membuka pintu kamar. Pagi hari sebelum dia pergi bekerja. Pria itu macam biasa, cuek dan terlihat tak peduli pada Serena.Al berjalan mendahului Serena, membiarkan sang istri menikmati penampakan punggungnya yang kokoh, juga bentuk tubuhnya yang sempurna dari belakang. Jika gadis lain, mereka sudah pasti histeris, tapi ini Serena. Wanita yang menganggap ketampanan Al biasa saja. Masih kalah dibanding kak Ravi-nya. Rona merah menyebar cepat di pipi Serena begitu wajah Ravi terlintas di kepalanya.Putri Nereida sebenarnya masih sangat marah atas perbuatan Al semalam. Lancang sekali Al waktu menciumnya. Padahal kalau diingat-ingat, tidak ada yang salah dengan perbuatan mereka. Al dan Serena adalah sepasang suami istri yang sah.Ciuman hal wajar, bahkan kalau sampai ke tahap bercinta pun, tetap oke-oke wae. Namun Serena justru ngamuk. Di era ini, Al baru nemu model wanita macam Serena. Sampai di meja makan. Seperti biasa, Al akan mend
"Serius Al aku harus me-nem-bak mereka?"Serena mengejar Al yang mulai mengisi amunisi pada pistol jenis Glock. Serena setengah ngeri sekaligus takjub melihat cepatnya tangan Al bekerja.Pria itu menoleh, lantas memberikan sepucuk senjata pada Serena. "Kamu harus mulai terbiasa. Ingat, tidak ada perceraian dalam pernikahan kita. Pelan tapi pasti kamu harus tahu, inilah kehidupanku, dan kamu sudah terlanjur masuk di dalamnya."Serena menelan ludah. Senjata ada di depannya, pun dengan musuh mulai mendekat ke dinding transparan yang melindungi mereka."Kalau kau tidak melawan, mereka akan menghabisimu. Itu rule-nya. Dan catatannya, kamu harus menang."Al berbisik, setelah Serena menerima senjatanya. Al dengan cepat menyingkir. "Aku akan meng-covermu jika kamu kewalahan.""Tidak ada waktu untuk mundur, Rena."Al benar, sejak dia setuju dengan pernikahan ini. Dia tidak bisa mundur lagi. Dia sudah terlibat dengan kehidupan pria yang kini tak terlihat keberadaannya.Maka setelahnya, Serena
"Jangan mudah percaya."Suara Al terdengar lagi. Serena jadi sadar kalau Al terus mengawasinya."I-itu. Bagaimana ya, aku sendiri juga menumpang," balas Serena tidak enak.Paras Lisa makin muram. Serena bisa melihat sang teman menggeret koper."Rumah sewamu dekat sini?""Tidak juga. Aku ke sini, cari makan yang ... murah." Lisa menjawab seraya melirik kiri dan kanan yang penuh stand makanan.Serena membenarkan. Tempat itu adalah surga bagi mereka yang ingin makan dengan harga ramah di kantong. Namun bisa memanjakan lambung."Aku tidak tahu harus tinggal di mana malam ini. Uangku habis dan gajian masih lama."Sebagai trainee mereka memang digaji meski belum penuh. Tapi jumlah itu bisa dibilang wow untuk pemula. Dibanding perusahaan lain yang sejenis, RD punya standar gaji lebih tinggi.Serena bingung. Dia harus bagaimana. Dia ingin menolong, tapi soal rumah dia tidak bisa ikut campur. Dia saja cuma menumpang di rumah Al. Bagaimana bisa dia membawa orang lain masuk ke sana."Em, sebenta
"Hubungan kalian sepertinya tambah baik." Al hanya menarik sudut bibirnya mendengar komentar Max. Al akui Serena mampu mengimbangi dirinya. Yang jelas otak gadis itu tidak sekosong gadis lain. Wanita yang pernah Al hadapi kebanyakan hanya mengutamakan fisik saja. Namun Serena mampu menyediakan keduanya. Baik fisik maupun otak. Ehem! Al berdehem, dia teringat bagaimana rasa bibir Serena. Sial! Mendadak Al jadi ingin melihat Serena. Max sudah keluar dari ruangan setelah meletakkan laporan di meja. Jika Al tidak merespon ucapannya satu kali, artinya pria itu tidak akan mendengar lagi. Namun rahang Al mengetat melihat apa yang dia lihat melalui kamera pengawas. "Bengal juga dia ini rupanya." Sedangkan yang diawasi Al saat ini sedang asyik menggerakkan tangan di atas tablet. Tidak peduli pada Lisa yang terus menempel padanya. Serena jelas sedang bahagia level akut. Sebab saat dia makan tadi pagi satu paper bag diberikan Ara padanya. Kantong berisi Ipad dan laptop yang bisa dia gunak
"Aku gak bermaksud begitu, Al. Apa aku harus diam saja saat melihat dia mau ngambil dompet orang itu."Serena mengkeret melihat tatapan tajam Al padanya. Gadis itu dicecar oleh Al begitu sampai di rumah. Setelah dia dijemput Max di halte yang entah ada di mana.Serena asal saja turun, sebab dia tidak mungkin menunjukkan rumahnya pada Lisa. Pun di tidak tahu alamat The Pallace.Al sendiri memang tidak bisa menjemput Serena kemarin, dia utus Max tapi pria itu bilang kalau sang istri pulang dengan Lisa naik bus. Al yang sudah illfeel dengan nama Lisa makin geram di buatnya.Lebih jengkel lagi kala Serena tak menuruti sarannya untuk menjaga jarak dengan Lisa. Bukannya manut Serena malah iya iya saja naik bus bareng Lisa."Aku beri tahu. Itu bukan urusanmu. Jangan berlagak kau bisa membantu semua orang yang mengalami kesulitan.""Enggak semua Al, cuma kebetulan aku melihatnya. Apa salahnya aku nolong.""Lalu kamu yang ganti jadi sasaran mereka. Mikir, Ren! Kamu mengganggu lahan bisnis mere
"Sepertinya kita salah. Dia bukan anak emas RD." Vasti muncul dengan gengnya. Seperti biasa, gadis itu datang untuk mengganggu Serena. Sejauh ini, Serena bisa menahan diri untuk tidak melayan tingkah Vasti, seperti saran Felix. "Nah sekarang kalian tahu kan, siapa anak emasnya," balas Serena seraya mengulas senyum. Meski kepalanya keliyengan, tapi dia suka melihat Vasti kembali tertohok ucapannya. "Kau!" Vasti mendengus geram. Terlebih beberapa orang kini terang-terangan memandang rendah padanya. Namun bukan Vasti namanya jika kalah oleh intimidasi mereka yang dia nilai tidak lebih baik darinya. "Apa mungkin memang dia. Tapi tidak heran sih, lihat saja pakaiannya. Dia anak Edgar Martinez, tapi bukannya selama ini image-nya dibangun sebagai wanita baik-baik." Pevi berbisik pada Nicky yang hanya diam sambil menganggukkan kepala. "Alah, kita tahu kalangan mereka seperti apa," komen Nicky setelahnya. Giliran Pevi yang manggut-manggut setuju. Sementara Lisa, gadis itu hanya
Serena kesal sekaligus sedih di waktu bersamaan. Fakta kalau Lisa adalah dalang dibalik kejadian beberapa waktu lalu, cukup memukul mentalnya.Padahal Lisa punya tempat tersendiri di hati Serena. Sekarang Lisa sudah tidak ada. Ada hampa juga kecewa yang Serena rasakan. Perempuan itu meringkuk di bantal besar yang terhampar di lantai.Serena tanpa Al duga pergi ke rumah pohon. Dia melamun sambil memandang ranting pohon yang jadi atap tempat itu.Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok. Apa mereka masih akan menghujatnya, atau semua sudah berhenti. Apa yang harus Serena lakukan.Haruskah dia pergi ke kantor atau tetap bersembunyi seperti hari ini. Helaan napas berat jadi hal terakhir yang Serena lakukan sebelum memejamkan mata.Dia berniat kabur dari Al malam ini. Dia marah pada sang suami. Namun rencana kabur Serena tinggal rencana saja. Sebab lima belas kemudian, suara langkah mendekat terdengar. Diikuti hembusan napas penuh kelegaan. Al menemukan Serena. Pria itu duduk bersila
Lisa pikir masih bisa menyelamatkan diri. Dia akan mencobanya. Tidak peduli Gaston hanya memanfaatkannya atau sungguh menyayanginya. Lisa akan urus nanti. Yang penting kabur dulu.Dia melihat celah saat semua orang orang fokus pada Serena. Istri Alterio? Ini di luar perkiraan. Gaston bilang, Serena hanya salah satu wanita yang sedang dekat dengan pria itu.Jadi Serena adalah target yang tepat jika ingin mengusik Al. Siapa sangka jika posisi Serena lebih dari itu.Serena masih sibuk berdebat dengan Al. Dua orang itu sepertinya punya hubungan rumit. Suami istri tapi kesannya jauh dari itu. Dalam pikiran Lisa, Serena adalah sasaran yang bisa mengacaukan konsentrasi Alterio dan yang lainnya.Maka ketika dia berhasil merebut senjata Felix. Benda itu langsung terarah pada Serena."Mati kau!" Letusan peluru terdengar. Serena ditarik menghindar. Gadis itu terkejut, dia pun menoleh. Serena langsung syok mendengar tembakan kembali terdengar. Lisa ambruk di tanah, dengan Beita menekan lengann
Awalnya Serena memang berniat tidur. Tapi kemudian dia terjaga dan sulit memejamkan mata kembali. Kejadian hari itu, meski Al dan pamannya menunjukkan sikap bahwa semua baik-baik saja.Tetap saja Serena merasa terganggu. Dia tidak tahu bagaimana suasana di luar sana. Apa mereka masih menuduhnya sebagai pembunuh?Melihat ekspresi Al yang tenang macam biasa. Serena menduga kalau pria itu telah temukan jalan keluarnya. Namun Serena tetap tidak tenang.Pada akhirnya dia meraih jaket Al, memakainya lalu berjalan keluar kamar. Suasana The Palace sepi. Serena pikir sebab mereka pergi dinas bersama Al.Langkah Serena menuntunnya menuju rumah pohon. Tempat yang akhirnya Al bangun sedemikian rupa. Ada tangga yang memungkinkan Serena tak perlu memanjat kalau sedang malas.Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di atas rumah pohonnya. Ada lantai papan yang disediakan jika Serena ingin selonjoran di sana.Semua terlihat menyenangkan. Serena sesaat menutup mata. Dia nikmati semilir angin malam yan
"Tidurlah."Alterio mengusap punggung Serena yang terbaring di atas dadanya. Mereka sudah pulang dari mansion Alexander dua jam lalu.Keduanya menolak saat diminta untuk menginap. Alterio menjawab dengan santai kalau kewajibannya sebagai menantu keluarga Alexander setidaknya sudah dia penuhi.Jadi perkara menginap atau tidak akan diurus lain kali. Nandito tak bisa mencegah Alterio, terlebih pria itu berujar masih punya masalah yang harus diurus.Dari ekspresi Al, Nandito langsung tahu kalau persoalan yang harus dibereskan Al adalah perkara Thalia."Enggak bisa.""Masih mikirin Thalia. Dia sudah mati. Langsung dikubur tadi.""Ngapain mikirin mayat. Serem.""Lalu?" Al sejatinya sangat terganggu dengan tingkah Serena yang mendadak jadi kelinci imut yang menggemaskan.Serena yang biasanya tantrum kalau dia sentuh, kini tiba-tiba jadi pasrah. Diam saja saat pria itu menariknya dalam pelukan."Terima kasih buat dua triliun itu."Akhirnya Serena tahu kalau Al adalah orang yang membantu keuan
Ekspresi Elle berubah tegang. Sama halnya dengan Nandito. Bedanya pria itu dengan cepat bisa mengendalikan diri."Bukan hal besar. Hanya saja dulu ibumu sangat baik pada tantemu. Tapi dia justru berlaku buruk padamu. Om jadi malu."Serena mengulas. Dia sangat senang sikap Nandito tak berubah padanya. Meski di luaran sana banyak orang blak-blakan mencacinya."Kapan kamu datang? Kenapa tidak kasih tahu. Datang sama Lalita atau Sergie? Atau sama suamimu?"Pertanyaan beruntun Nandito berikan. Pria itu aslinya sangat cemas dengan pemberitaan soal Serena. Takut Serena terpengaruh lantas tak mampu bertahan."Aku datang sama Lalita. Sergie lagi ada urusan. Tahu sendirilah."Nandito tersenyum merespon jawaban Serena. Sang keponakan sengaja tak menjawab soalan seputar suaminya."Turunlah makan sebentar lagi. Tante siapkan makan malam." Elle pilih menghindar dari situasi yang menyudutkan dirinya. Serena mengangguk, tidak merespon berlebihan. Setelahnya suasana hening menyelimuti ruangan dengan
Kejadiannya persis seperti Nereida. Serena merekam dengan apik di benaknya. Seperti apa ibunya saat terjatuh dari tangga, lalu berhenti dengan kepala terus mengucurkan darah.Akibatnya, tak lama kemudian Nereida meninggal. Serena mematung di tempatnya berdiri, menyaksikan beberapa orang mulai berdatangan memberi pertolongan pada Thalia.Jiwa Serena serasa terhisap kembali ke masa itu. Saat dia menangis histeris saat Lalita dan Sergie mencoba menyelamatkan ibunya. Namun gagal."Ibu, mereka sudah mendapat balasannya. Ibu bisa tenang di sana.""Dia yang mendorongnya!" Suara itu membuat Serena tersadar. Saat itu Serena merasa ada tangan yang menyentuh bahunya. Lalita ada di sana. Jelas untuk melindunginya."Jangan sembarangan menuduh. Memangnya kamu lihat kejadiannya?" Seru yang lain. Tubuh Thalia sudah diangkut menuju rumah sakit. Yang tersisa di sana tinggal staf umum RD. Kenapa disebut umum, sebab mereka murni karyawan biasa.Kalau mereka merangkap anggota Black Diamond. Mana berani
Paras Serena berubah pucat begitu dia ditarik ke atas. Al sungguh berniat ingin membunuhnya. Jantungnya serasa lepas dari tempatnya. Pun dengan tubuhnya mendadak kaku, tidak bisa bergerak. Ditambah dia sempat sesak napas. Al sempat terbahak sebelum memeluk erat tubuh Serena yang terasa dingin. "Mati aku, mati aku," gumam Serena tiada henti. "Belum," kata Al singkat. Serena lekas mendorong tubuh sang suami menjauh. Dia duduk selonjor dengan tubuh terasa lemas. Keadaannya lumayan membaik saat Jeff mengulurkan air untuk Serena minum. Rona merah lekas mewarnai paras sosok yang kecantikannya Jeff akui di atas rata-rata. Pantas saja si kutub utara sampai meleleh karenanya. Premium punya dan pasti limited edition alias langka. "Kau keterlaluan!" Maki Serena seketika. Tapi yang dimaki cuma diam saja. Tidak membantah atau membela diri. Al bergeming memandang Serena yang mengomel panjang lebar, tak peduli tempat. Bahkan Jeff sampai geleng kepala melihat tingkah Serena. Dalam keadaan bi
"Edgar Martinez punya putra? Tidak masuk akal!" Max berkomentar sambil memasukkan cairan hijau bening ke tabung reaksi berisi cairan berwarna transparan.Desis lirih terdengar sebagai reaksi pertemuan antara dua cairan beda jenis itu. Max menunggu sejenak, mengamati perubahannya sebelum tersenyum tipis.Tangan dan otaknya benar-benar jenius. Dari proses awal sudah terlihat kalau percobaannya bakal berhasil. Perhatian Max kembali teralihkan ketika dia memandang berkas kesehatan Edgar yang tergeletak di meja. Dia amati tulisan di dalamnya, kemudian dia membuat panggilan.Max bicara dengan seseorang di ujung sana. "Jadwalkan pemeriksaan ulang untuk Edgar Martinez. Komplit."Awalnya Max tidak tertarik dengan urusan Edgar. Mengingat pria itu cukup merepotkan Al selama ini. Jadi Max juga menaruh rasa tidak suka pada pria itu.Namun melihat kejanggalan dalam laporan kesehatan Edgar, hatinya tergerak untuk mencari tahu. Bagaimanapun Max punya basic dokter, yang mana tugasnya menolong tanpa p
Max menerima panggilan dengan dahi berkerut dalam. Tidak pernah dia duga kalau Edgar akan menghubunginya. "Siapa?" Paul bertanya. Tangannya selalu sibuk dengan benda persegi pipih nan canggih. Kalau tidak tablet ya laptop."Edgar, dia bilang ingin bertemu. Urusan apa ya?" Max jarang bersentuhan dengan dunia luar. Dia benar-benar suka mengurung diri di lab.Berkutat dengan rumus, formula dan berbagai percobaan. Entah berhasil atau tidak, Max tidak peduli. Yang penting dia nyaman dengan dunianya. Soal hasil pikir nanti."Apa dia berubah pikiran mau menjodohkanmu dengan Vasti, setelah Al menolak terus-terusan. Siapa tahu dia berminat dengan pembunuh tanpa rasa sakit." Paul mulai memprovokasi."Kalau dia berani melakukannya, akan kuhabisi dia dengan racun terbaruku. Tidak terdeteksi.""Pantas namanya Invinsible."Max membusungkan dada, jumawa dengan pencapaiannya. Dua pria itu berhenti berbincang ketika Al keluar dengan Serena setengah terpejam dalam gendongan sang suami."Sudah lebih ba