Serena tampak menyimak kertas yang ada di hadapannya. Matanya sempat menyipit untuk menelaah isi lembaran berkas tersebut. Ekspresinya berubah dalam sekejap."I-ini?" Itulah frasa pertama yang terucap dari bibir Serena ketika dia menyadari kalau kertas di tangannya adalah hasil USG. Perempuan itu mendongak ketika tangan hangat Al menggenggam erat jarinya. "Maafkan aku.""Aku hamil?""Tadinya.""Sekarang?""Sudah pergi."Jantung Serena serasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. "Su-sudah pergi?" Kutip Serena.Untungnya dalam momen ini, Arthur sudah pamit pergi. Beralasan ngantuk, tapi Arthur mengerti kalau orang tuanya perlu waktu berdua.Kata Arthur, dia akan memberikan kesempatan kali ini. Namun lain kali tidak ada peluang seperti itu lagi."Karena kejadian hari itu?" Tanya Serena penuh selidik.Alterio mengangguk lemah. Tangis Serena pecah saat itu juga. Dengan Al sigap memeluk serta menenangkan."Aku ibu tidak berguna. Menjaga anak sendiri saja tidak becus," ratapnya penuh kep
Jesica berderap masuk ke ruangan Alex ketika pria itu sedang bicara di telepon. "Jangan pikirkan mereka. Sisil akan jadi urusanku."Langkah Sica mendadak ragu. "Sisil, bukannya anak itu namanya Sisil," kata Sica dalam hati sebelum menyerahkan berkas di meja Alex."Untuk kasus Martin Lawrence, korban setuju mencabut tuntutannya asal tersangka mau memberikan kompensasi.""Uang bukan masalah, Martin ingin track record-nya clear. Dia mau ikut pemilihan gubernur."Sica mundur ketika dia selesai dengan tugasnya. Namun sebelum keluar ruangan Alex, pria itu berkata, "Aku tidak ingin membohongimu."Langkah Sica terhenti, dia berbalik lalu menghadapi Alex. "Kamu ingin aku menilaimu seperti apa?""Aku bukan pria bersih Sica. Aku pernah buat kesalahan. Tapi aku sungguh ingin memperbaiki diri. Denganmu, Sica aku sungguh-sungguh denganmu."Kata Alex dengan mata tak lepas dari Sica. "Aku juga bukan orang bersih. Tapi aku perlu waktu untuk menyelesaikan masa laluku."Alex dan Sica saling pandang un
Ancaman Serena membuat Alterio menelan ludah. Pasalnya dia sudah beberapa kali nyaris bp⁰erakhir di atas ranjang, meski pada akhirnya bisa menyelamatkan diri.Musuh Al memang seperti orang gila semua. Tidak main-main jika ingin menjebaknya. Dan perempuan adalah alat yang kerap mereka gunakan untuk menjeratnya.Mulai dari diberi obat, dikurung di kamar, dilempar ke kumpulan perempun seksi. Macam-macam motif pernah Al lakoni. Tapi satu yang pasti, dia selalu punya cara untuk lolos.Tubuhnya sendiri kebal terhadap obat, racun dan sejenisnya. Selain itu Al memang punya prinsip, dia tidak akan bercinta kecuali dengan wanita yang dia cinta. Dan itu Serena alias Cia."Aku janji, aku akan lebih berusaha menjaga diri. Jangan marah, nanti Arthur makin marah sama aku," keluh Alterio.Selain Serena yang bakal ngamuk kalau dia ketahuan bersama wanita lain, masih ada Arthur yang akan memusuhinya jika sampai sang ibu sedih.Anak itu bahkan lebih posesif dari Alterio yang notabene suami Serena. Arthu
Alterio terbelalak ketika Arthur tanpa ragu menceritakan apa yang sudah dia lakukan pada Ben. Termasuk menceburkannya ke kolam piranha. Ekspresi polos tanpa rasa bersalah Arthur justru membuat Alterio kelabakan. Setelah menembak orang yang melukai Sergie, sekarang Arthur justru melempar Ben ke kolam piranha."Arthur kamu tahu kalau kamu tidak seharusnya, tidak boleh melakukan itu. Kamu masih terlalu kecil, untuk menanggung apa itu balas dendam.""Aku tahu, Pa. Tapi aku juga tidak bisa diam saat orang yang sudah melukai Ibu melenggang bebas di luar sana.""Itu urusan kami orang dewasa, Arthur. Lain kali jangan lakukan itu."Arthur menunduk, tidak berani menatap sorot tajam mata sang ayah. Dia tahu, dia salah. Dia hanya ingin membantu."Maafkan aku, Pa. Aku salah." Arthur berujar penuh penyelesaian. Alterio menghela napas. Dia lantas memeluk Arthur. "Papa tidak mau kamu tumbuh jadi anak yang suka membalas dendam. Kamu cukup membela diri jika diganggu. Balas sewajarnya, jangan sampai m
Alterio memicingkan mata, tidak serta merta percaya. "Penipu!" Raung Al tidak percaya."Putramu sendiri yang memberitahuku!"Alterio terbahak. "Dan kau percaya?!""Harusnya kau lebih tahu siapa putramu. Dia tidak sama dengan anak lain."Alterio tertegun, ini benar. Arthur berbeda. Dari segi sikap dan kemampuan, Arthur memang tidak bisa disamakan dengan anak lain."Kawasan kolam piranha, seminggu yang lalu."Alterio baru akan menyanggah ketika ear piece-nya bersuara."Serena bangun, Al!"Demi apapun Alterio langsung meninggalkan Ben begitu saja. Dia masuk Black Night lantas mengendarainya dengan kecepatan penuh menuju The Palace. Membiarkan Ben tergeletak di aspal.Pria itu langsung bangun, lalu melompat ke jurang yang di bawahnya mengalir sungai. Ini cara untuk menghilangkan jejak. Jika dia tidak segera lari, anak buah Al kemungkinan akan menangkapnya. Dia tahu benar cara Black Diamond beroperasi.The Palace"Ibu," rengek Arthur dalam pelukan sang kakek.Saat berita itu menyebar, Arth
Pandangan Al tampak buram. Dia pandangi beberapa orang silih berganti masuk ke ruangan Serena. Beberapa orang tampak panik. Selebihnya coba bersikap tenang."Detak jantungnya sempat menghilang. Tapi kami berhasil mendapatkannya kembali. Aku sedang memeriksa kenapa hal itu bisa terjadi. Pasalnya dia sangat stabil ketika aku memeriksanya setengah jam yang lalu."Keterangan singkat Max membuat jantung Al serasa ikut berhenti berdenyut. Hampir saja. Hampir saja mereka kehilangan Serena.Al masih tenang asal Serena masih bisa diselamatkan. Max memberi kode aman pada Al. Hingga pria itu bisa mendorong kasar napasnya penuh kelegaan.Max berulang kali mengatakan, meski keadaan Serena terlihat baik, mereka tetap harus waspada pada ancaman tersembunyi yang sewaktu-waktu bisa membuat keadaan Serena drop.Dengan kesadaran belum pulih, sementara keadaan fisik terus membaik, menunjukkan kalau ada yang tidak beres dalam tubuh Serena."Al kami menemukan Ben di sekolah Arthur."Max mengangguk seolah p