"Sepertinya Dia sudah sadar?"
Samar terdengar suara dengung di sekitar saat kelopak mataku perlahan terbuka. Silau! Tanganku perlahan terangkat ke atas guna menghalau sinar terang yang terasa menusuk. "Matikan lampunya! Jangan lupa panggil Dokter Raline. Katakan padanya jika pasien kamar 301 sudah sadarkan diri. Jangan lupa beritahu suami pasien agar segera datang. Oh ya, tadi Dia bilang mau ke mana?" "Katanya mau nyari sarapan sebentar, Dok." "Berarti deket dari sini. Jangan lupa langsung hubungi ya, Suster Ida!" "Siap, Dokter Anwar!" sahutnya, disusul derap langkah menjauh juga suara pintu digeser. Kemudian hening terdengar, hanya suara jarum jam yang berdetak, mengisi kekosongan ruangan. Sial! Kepalaku rasanya pening sekali. Aku mengernyit dan meringis lirih kala berusaha keras membuka mata. "Jangan memaksakan dirimu, Nyonya!" tegur seorang pria yang suaranya tadi ku dengar. Kubuka mataku perlahan, menatap pria tampan dengan jambang tipis menghiasi yang justru sibuk dengan sebuah berkas di tangan. "A-aku di mana?" Ku beranikan diri bertanya, meskipun terdengar serak, saat melihat jas putih yang ia kenakan. Bahkan ku edarkan pandangan ke sekeliling ruangan berwarna putih bersih, lengkap dengan semua peralatan medis, juga jarum infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Aku bahkan bisa merasakan aliran udara di rongga hidung yang tentu saja berasal dari aliran selang putih transparan yang aku tahu itu apa. "Kamu di rumah sakit, Nyonya," ujarnya sambil menatapku sekilas, lalu kembali menekuni pekerjaan, "apa kamu tahu, jika kamu tengah mengandung?" Suaranya terdengar santai. Namun, entah kenapa terasa menusuk di telingaku. Lebih tepatnya terasa seperti sebuah tuduhan keji. "A-aku tahu." Ku tundukkan kepala sambil meremas ujung selimut yang aku pegang. Perasaan hancur, takut, marah, benci, dan syukur tercampur aduk di dalam hati, "a-apa anakku masih ada?" Ku beranikan diri bertanya sambil mendongak. Meskipun aku benci setengah mati dengan ayahnya. Namun, janin ini tidak bersalah sedikit pun dan dia berhak hidup di dunia. Dokter itu tersenyum sekilas. "Dia masih selamat. Hanya saja tidak boleh mendapatkan benturan baru karena akan berakibat fatal. Selain itu, rahim Anda akan mengalami trauma medis pasca kecelakaan dan hal itu bisa mengakibatkan—" Terlihat jelas jika pria itu tengah menarik napas panjang sembari membenahi letak kacamatanya yang sedikit melorot di hidung mancungnya itu, "maaf, keguguran. Selain itu juga, kemungkinan hamil di kemudian hari akan sulit." Aku seketika terhenyak. "L-lalu, apa yang bisa aku lakukan, Dok?" Perasaan takut seketika menguasai. "Istirahat yang cukup dan jangan lupa berdiskusi dengan suami Anda karena saat ini pun, rawan terjadinya keguguran jika kalian berniat berhubungan intim." "A-apa, Dok? Suami?" Aku tercekat. Perasaan buruk ikut hadir menyapa. "Iya, benar. Suami Anda juga yang mengantar Anda ke sini." Dokter Anwar balas menatapku dengan sorot polos, tidak merasa bersalah, "Anda kenapa, Nyonya?" Wajahnya terlihat sedikit khawatir, "wajah Anda terlihat pucat? Apa yang Anda rasakan saat ini?" Sebuah senter ia arahkan padaku, menyorot kedua mataku bergantian. Ia bahkan bergegas memeriksa tubuhku dengan stetoskop miliknya. Sementara aku, hanya bisa bergetar menahan tangis dan hal itu sukses membuat perutku terasa nyeri. Aku meringis dengan jerit tertahan, membuat Dokter Anwar mulai panik dan bergegas memanggil perawat melalui interkom. Aku tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan, karena rasa sakit semakin menghujam, bahkan berhasil membuatku merasa sesak napas. Aliran udara yang kuterima bahkan tidak mampu kurasakan. Aku hanya bisa mencengkram kuat area perut hingga akhirnya kurasakan sesuatu mengalir di antara kedua pahaku bersamaan dengan rasa pusing mulai mendera dan berlanjut dengan kegelapan kembali mencengkram semua yang aku rasakan hingga tidak bersisa. *** "Dasar wanita jalang! Berani sekali kamu membohongiku!" Sebuah tamparan kuat terasa, membekas di pipi hingga asin darah pun bisa kurasakan di sudut bibir yang pecah. Aku enggan menangis. Aku justru balas menatapnya dengan sorot menantang. "Berani sekali kamu menatapku dengan mata kotormu itu!" Wajahku kembali tertoleh ke kanan saat merasakan kembali perih di area yang sama, bahkan gigiku terasa sedikit goyang. Namun, aku enggan mengakui karena aku yakin dengan apa yang aku yakini. "Aku tidak bersalah. Jadi, kenapa aku harus takut padamu?" "Tidak bersalah Kamu bilang, sialan!" Dia meludah ke samping. Reflek aku memejamkan mata. Bahkan selimut masih aku genggam erat guna menutupi tubuh bagian depan yang terbuka. "Katakan padaku, dengan siapa Kamu tidur sehingga kamu tidak perawan saat aku tiduri?" Suaranya terdengar menahan murka. Tangannya bergegas mencengkram kedua pipiku kuat. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun, aku tetap enggan mengakui kesalahan yang tidak pernah aku perbuat. "Aku masih perawan," sahutku susah payah. Bukannya mengerti, dirinya justru terlihat semakin murka. Wajahnya bahkan merah padam, lalu dengan kuat mendorong tubuhku kasar hingga berbaring dengan selimut terlepas dari pegangan tangan. "Ke—" Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku saat tangan kirinya justru mencengkram leherku dengan kuat hingga membuatku kesulitan bernapas, "l-lepas," pintaku terbata-bata, memukul tangannya, berharap dirinya tidak benar-benar berniat menghabisi nyawaku ini. "Aku tanya sekali lagi, siapa yang sudah menidurimu sebelum aku?"Baik Alisha maupun Richard sama-sama menegang, merasa gugup seolah-olah takut kepergok, terlebih Alisha yang kini sudah pucat pasi juga berkeringat dingin, merasa takut sekaligus kebingungan harus berbuat apa. Richard menyadari ketakutan yang Alisha tunjukkan. Ia lantas menghela napas pendek sebelum meraih tangan kiri Alisha yang bergetar. Alisha tersentak kaget, ia menoleh cepat pada Richard dengan sorot bertanya. "Kamu sembunyi di kamar dulu. Nanti aku beritahu jika sudah aman," ujar Richard menjelaskan dan bergegas menarik tangan Alisha agar berjalan mengikutinya. Alisha yang terkejut, tentu saja tidak sempat menolak. Begitu dirinya tersadar, ia justru telah berada di dalam kamar yang penuh dengan aura maskulin dengan seprai abu-abu gradasi hitam juga dinding dicat warna kelabu yang sebahagian dibiarkan berwarna putih, tampak polos tanpa hiasan apapun termasuk photo. Alisha memindai sekeliling ruangan. Ia tanpa sadar berjalan men
Mobil yang membawa Alisha dan Richard akhirnya tiba di basement. Richard lantas mengajak Alisha naik ke atas menggunakan lift dan begitu tiba di tempat tujuan, ia perlahan membuka pintu dan menyilakan Alisha masuk, baru setelahnya ikut serta. "Duduklah!" titahnya berusaha santai saat melihat Alisha celingukan memindai sekeliling ruangan dengan sorot takjub, "biar kita bisa segera membicarakan perihal apa saja tugasmu setiap hari."Alisha berbalik, menyelipkan sebagian anak rambut ke balik telinga kiri. "Terima kasih, Mas," sahutnya kikuk, tanpa sadar merasa malu dan terpesona kala menatap balik wajah Richard yang tidak tertutup masker dan topi. Ia lantas duduk di sofa saat melihat tangan dan tatapan Richard memaksanya menurut. Begitu Alisha duduk, Richard pun mengikuti, duduk di seberang. Hening tercipta seolah-olah keduanya tengah menilai satu sama lain. "Anu—" Keduanya seketika tegang, lalu terkekeh bersamaan, merasa sangat lucu dengan momen
Alisha duduk di ruang tunggu depan, terlihat kebingungan karena ponsel maupun uang tidak ia miliki saat ini. Sementara dirinya tidak tahu harus pergi ke mana. "Kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu bilang mau pulang?" tanya Richard tiba-tiba, bahkan Alisha tidak mendengar suara derap langkah pria itu yang tiba-tiba saja telah berada di depannya. Alisha yang semula menundukkan kepala, lantas mendongak hingga dirinya bisa melihat penampilan Richard lengkap dengan masker hitam dan topi pet warna senada, serta jaket hoodie berwarna abu-abu tua terpasang erat, membungkus tubuh atletis yang sempat Alisha lihat sebelumnya. Alisha tercekat. Ia menelan ludah. "Aku gak punya rumah. Jadi, aku gak tau harus pulang ke mana?""Hah! Tidak punya rumah?" Richard membeo, "bukannya kamu sudah bersuami? Kenapa kamu tidak pulang ke rumah suamimu saja?' Ia berusaha terdengar santai, meskipun hatinya tidak mampu memungkiri jika kini tengah terluka oleh ucapannya s
"Dia bukan suami saya, Sus!" sahut Alisha tegas. Dirinya kesal karena mendapatkan tuduhan seperti itu. Terlebih saat mengingat tingkah pria menyebalkan yang justru menatapnya datar. "Eh, masa?! Bukannya—" Suster itu menatap Alisha dan Richard bergantian dengan raut heran. Tatkala melihat tatapan yang Richard berikan, ia pun segera berdehem, "baiklah. Ibu sudah bisa pulang sekarang. Permisi!" Ia mengangguk kecil, lalu bergegas berlalu meninggalkan keduanya. "Kamu bisa pergi sekarang juga karena aku sudah sembuh dan tidak perlu lagi kamu awasi seperti itu," celetuk Alisha ketus. Dirinya kesal. Namun, sadar jika pria di depannya itulah sang dewa penolong, sehingga dirinya tetap berusaha menahan diri dari keinginan untuk menjambak pria yang ia anggap sangat menyebalkan. "Apa kita sedang bernegosiasi?" Richard justru menyahut datar, kepalanya ia miringkan sedikit, "lalu, apa kamu sedang menghalu?" Alisha mendelik. Emosi yang
Alisha akhirnya membuka mata keesokan harinya. Wanita itu merasakan sedikit perih. Ia lantas menoleh dan mendapati jarum infus kembali terpasang di punggung tangan kanan juga selang oksigen terpasang di hidung. Lalu menoleh ke sekeliling ruangan dan menyadari jika dirinya masih berada di tempat yang sama. "Apa kamu tidak berniat untuk keluar dari rumah sakit, sehingga membuat drama jelek seperti ini?!" Teguran sarkas terdengar, membuat Alisha menoleh dan mendapati seorang pria tampan yang kemarin malam menemaninya, kini tengah duduk di sofa, bersandar dengan gayanya yang arogan. Masker tidak terpasang di wajahnya, sehingga Alisha bisa melihat bibir tipis berwarna coklat itu tengah menyunggingkan senyum sinis. Pria itu bahkan menatapnya tajam. Terlihat kesal sekaligus gemas. "Siapa Kamu?" Alih-alih menjawab pertanyaan, Alisha justru balik bertanya. Ia perlahan beringsut duduk dan bersender dengan bantal sebagai penopang. "Kamu tidak per
Richard duduk di balkon kamarnya bersama sebatang rokok yang ia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Meskipun di ufuk timur terlihat samar semburat Oranye pertanda pagi hampir menjelang, dirinya tidak perduli. Terlebih setelah perdebatan, tepatnya tudingan sang bunda beberapa saat yang lalu. Angin lembut bahkan mempermainkan rambut sebahunya yang kali ini ia biarkan tergerai, hingga menutupi sebagian rambut. Sesekali terlihat asap putih membumbung tinggi ke angkasa bersamaan dengan jatuhnya abu rokok ke lantai, tepat di samping kaki kanannya yang telanjang. Richard bahkan seolah-olah tidak merasakan udara dingin, meskipun kulitnya terasa meremang. Percakapan antara dirinya dan sang bunda kembali terngiang, juga pembelaan diri yang ia berikan. Meskipun sang bunda terlihat tidak percaya, terlihat dari sorot sengit yang ia berikan. Namun, Richard terus berusaha meyakinkan. "Pokoknya mama gak bakal menerima wanita itu lagi! Sudah