AURAEAku mondar-mandir di gedung pertemuan untuk mengawasi kinerja pegawai-pegawaiku. Mereka juga terlihat sibuk dengan bagian mereka sendiri untuk mendekor ruangan menjadi sedemikian rupa. Besok adalah hari pertama penggalangan dana untuk amal dan bazar murah produk perusahaanku. Biasanya aku menyisihkan beberapa produk perusahaan dengan setengah harga sekadar untuk hadiah di hari-hari tertentu. Tentu saja besok adalah hari spesial, yaitu hari lahirnya almarhum Papa. Jenis produkku memang dari mentah, setengah jadi sampai barang jadi. Tapi untuk acara besok, kebanyakan yang datang adalah konsumen maka dari itu aku hanya menyediakan barang jadi saja.Aku melangkah dengan cepat mengecek kembali beberapa makrame yang sebenarnya sudah dicek oleh pegawai. Tanganku bergerak cepat memeriksa satu per satu sulaman, rajutan di tas dan beberapa hiasan dinding. Beberapa kriya kayu dan keramik pun kuperiksa. Kupegang lengan sebuah kursi yang terlihat kokoh dari kayu yang jelas unggul. Tanganku m
AURAEAku memutar bola mataku kesal dan menghampiri polisi itu walau kepalaku terasa sudah akan meledak. Baru saja aku sampai di depannya dan akan mengeluarkan dompet, dia sudah berceloteh panjang lebar."Anda dikenai pasal 283, mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi; juga dikenai Pasal 287 karena melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; dan Anda juga dikenai pasal 295 yang berbunyi berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat. Sanksi pidana untuk pelanggaran pertama—""Berapa?" tanyaku langsung karena mendengar suaranya membuatku semakin pusing.Dia mengernyit menatapku. "Maksud Anda?"Aku mendengus kesal walau dahiku terus berdenyut bahkan aku bisa merasakan ada yang mengalir di pelipisku. Kutatap matanya dengan tajam sambil menyerahkan beberapa lembar uang padanya. "Cukup?"Dia masih diam, tapi aku melihat rahangnya kaku, kuartikan it
GIBRANTubuh di pelukanku membeku setelah aku mengucapkan kalimat itu. Berapa tahun aku tidak bertemu dengannya?Kucoba renggangkan pelukanku dan kutatap wajahnya yang sangat sayu. Matanya yang berwarna biru masih sangat kusukai seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi sekarang matanya memancarkan kebencian.Apa aku benar-benar menghancurkan keluarga dan hidupnya? Kenapa aku selalu bertemu dengannya di saat-saat genting seperti ini?Melihatnya tadi, aku sangat terkejut. Ditambah dengan luka di kepalanya, aku ingin sekali menanyakan keadaan dan paling tidak berbicara baik-baik dengannya. Tapi yang kulakukan malahan mengeluarkan segala pasal-pasal pelanggaran yang sudah kuhafal di luar kepala. Dan aku merasa sedikit marah saat dia menyinggung masalah 'uang'. Aku memang tahu dia orang yang sangat kaya, tapi bisakah sedikit saja menghargaiku yang sedang berbicara?Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan 'urusan penting'. Tapi saat melihat wajahnya yang semakin pucat dan bah
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d