"Udah, Re. Jangan nangis terus."
"Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue."
"Udah minta maaf?"
"Udah, tapi gue takut...."
"Takut kenapa?"
"Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung."
"Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"
Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.
Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku.
"Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--"
"Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"
Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di masa lalunya hingga rela menangis seperti itu? Harusnya tidak perlu bertanya banyak. Jawabannya sudah pasti.
"Aurae, lagian nih ya. Yang nyokap lo calonin tuh nggak buruk kok, bahkan lebih segalanya dari laki-laki berengsek itu. Gue yakin perlahan lo juga bisa nerima dia."
"Gue nggak bisa."
Aku mendengar nada frustrasi dari teman Aurae saat Aurae menjawab tadi. Aku pun begitu. Dari awal Aurae tidak yakin, bagaimana ke depannya?
"Gue nggak tahu jalan pikiran lo, Re. Daniel itu terlalu ... ah, pokoknya dari dulu gue nggak suka lo pacaran sama dia. Dia terlalu pasif dan malah membiarkan lo berjuang sendiri."
"Dia nggak begitu."
"Aurae. Cinta nggak benar-benar membuat orang buta, seharusnya. Hanya orang bodoh yang matanya tertutup oleh cinta yang nggak jelas. Sorry, kalau lo tersinggung dengan ucapan gue. Tapi coba lo pikir deh. Mana yang pantas diperjuangin dan mana yang harus lo lupain."
"Maksud lo gue harus perjuangin polisi itu?"
"Gue nggak ngomong gitu. Gue punya saran biar lo cepet lupain Daniel."
"Apa?"
"Bayangin aja yang jelek-jelek tentang dia. Misal dia suka ngupil."
Aku melihat Aurae terkekeh.
Oh, I love her smile.
"Daniel nggak suka ngupil."
"Berarti ... Daniel yang lagi mengejan waktu beol."
Tawa Aurae semakin kencang. Tapi seiring dengan perkataan temannya, aku melihat Aurae semakin menunduk dalam-dalam.
"Lho, kenapa lagi, Re?"
"Gue nggak bisa, Wi. Karena gue terlalu mencintai dia sampai apa pun keburukannya, gue nggak peduli."
Aku merasakan perasaan cemburu yang teramat mendengar ucapan itu. aku jelas tahu siapa Daniel yang disebut oleh Aurae. Aku sudah terlalu mengenal Aurae hingga kisah tentang gadis itu pun aku tahu. Semuanya.
Aku memutuskan berdiri dan menghampiri meja mereka. Teman Aurae terlihat salah tingkah saat menyadari bahwa sedari tadi ternyata aku tidak jauh dari mereka. Aku menepuk pelan pundak Aurae dan dia menoleh padaku. Tatapannya tidak menyiratkan kecanggungan karena terpergok membicarakan hal yang sebenarnya membuatku sakit hati.
Aku tersenyum miris, merutuki pemikiranku yang bodoh.
Untuk apa Aurae merasa bersalah? Tidak ada kesalahan apa-apa. Karena kami bukan siapa-siapa.
"Kamu mau pulang sekarang? Mau sekalian?" tanyaku akhirnya setelah diam beberapa saat.
Aurae terlihat berpikir sejenak lalu dengan santai mengusap wajahnya yang sedikit sembap karena habis menangis.
Bahkan Aurae sesakit hati itu karena laki-laki lain.
"Ya," jawab Aurae singkat.
Sembari menunggu Aurae memberesi barang-barangnya, aku menoleh ke teman Aurae yang sedari tadi tersenyum kikuk.
Sebuah tangan terulur di depanku. "Tiwi."
Mendengar itu, aku tersenyum dan membalas jabatan tangannya. "Gibran."
"Pulang sekarang," ucap Aurae singkat sambil mendahuluiku.
Aku berpamitan pada Tiwi dan menyejajari langkah Aurae sampai basement dan masuk ke dalam mobil, menuju rumah Aurae. Aku melirik ke samping kiriku, melihatnya yang sedari tadi tidak mau menghadap ke arahku. Dia bahkan diam sejak kemarin, saat kami pertama kalinya bertatap dan berbicara lumayan lama. Walaupun dalam keadaan yang tidak mengenakkan.
Beberapa hari ini aku rutin menjemput Aurae di kantornya dan setelah itu aku kembali bertugas. Itulah sebabnya aku memakai mobil polisi agar tidak ribet bergonta-ganti kendaraan. Tapi aku tidak mengatakan alasanku kepada Aurae. Biarlah dia tetap mengiraku hanya orang yang memanfaatkan hartanya. Aku tidak butuh harta yang banyak, anggapan bahwa uang adalah segelanya sudah hilang sama sekali dari pikiranku sejak kejadian sepuluh tahun lalu. Semua membuktikan bahwa hidup bukan hanya tentang uang.
Sedari kecil aku hidup dengan uang, tapi tidak ada kebahagiaan sedikit pun yang kudapatkan. Hidupku sangat keras hingga aku merasa sendirian di dunia-karena nyatanya aku memang tidak memiliki siapa-siapa.
"Mama suruh lo datang untuk makan malam."
Ucapan datar itu membuatku menoleh, melihat Aurae tetap saja mengindari tatapanku. Aku memilih dia m saja sambil menghela napas. Tidak lama kemudian aku sampai di depan pelataran rumahnya, keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Aurae.
Aku minggir sedikit untuk memberinya akses keluar mobil. Belum sempat aku menutup pintu mobil dan mnjawab tawaranya tadi, dia sudah berjalan cepat meninggalkanku. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.
Aku masih menatap punggungnya yang belum terlalu jauh saat dia berhenti. Aku terus menatapnya sambil menyandarkan tubuhku di sisi mobil, menunggu apakah Aurae akan berbalik menanyakan kesediaanku akan tawarannya tadi.
Dan senyumku mengembang saat melihatnya berbalik badan, mulai melangkah kembali padaku.
"Lo balik kapan?"
Aku mengernyit. "Apa?"
Dia menggeram kesal dengan wajahnya yang ditekuk. Dia sangat menggemaskan.
"Ke Jogja. Katanya lo di sini cuma tugas sementara."
"Memang," jawabku singkat.
Dia kembali menatapku dengan tajam. "Cukup jawab pertanyaan gue!"
"Aku udah jawab."
"Gibran!" geramnya.
Tapi aku malah tertawa. Ini pertama kalinya dia memanggil namaku. Akhirnya, setelah sekian lama aku menunggunya memanggil namaku dengan bibirnya, sekarang impianku terwujud.
"Kamu emangnya tanya apa?" tanyaku pelan sambil tersenyum padanya.
Walaupun aku masih ingin menggodanya, tapi aku tahu Aurae sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Dia masih diam, mungkin bingung mengutarakannya bagaimana. Dia mendongak, kembali menatapku dan berbicara dengan sangat cepat.
"Cukup jawab, lo bisa makan malam di rumah gue kapan? Mama udah nanyain lo terus."
Aku tersenyum sembari berpikir sejenak. "Nanti malam?" tanyaku lebih kepada diriku sendiri. "Besok pagi aku udah balik lagi ke Jogja. Mungkin ke sini lagi sekitar bulan depan."
"Ya udah."
Setelah itu dia langsung berjalan meninggalkanku. Aku tertawa kecil melihat tingkah lakunya. Aurae masih seperti anak kecil, masih sama seperti 10 tahun lalu.
Ya ... walaupun dia tidak pernah menyadari keberadaanku.
***
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m