Ziva hanya bisa menghela napas panjang. Sejujurnya ia ingin protes lebih keras, tapi percuma saja kalau Reza sudah beralasan.Akhirnya, dengan sedikit kesal, ia memutuskan tetap pergi sendiri.Di PameranGedung pameran itu ramai oleh pengunjung. Lampu-lampu temaram berpadu dengan sorotan spotlight yang menyoroti benda-benda pameran, mulai dari karya seni, desain modern, sampai teknologi terbaru.Ziva berjalan sendirian, tangannya menggenggam tas kecil. Wajahnya tetap antusias, meski di dalam hati ia merasa sedikit sepi.“Kalau aja Reza ikut, pasti lebih seru,” gumamnya lirih.Ketika ia sedang sibuk memperhatikan salah satu lukisan abstrak, sebuah suara familiar terdengar di sampingnya.“Ziva?”Suara itu membuatnya menoleh cepat. Dan benar saja, Dio berdiri di belakangnya dengan ekspresi kaget bercampur senang. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, rambutnya agak berantakan tapi tetap terlihat rapi.“Dio?” Ziva ikut terkejut. “Kamu juga ke sini?”Dio mengangguk san
Pertanyaan itu membuat Reza sedikit tegang. Namun ia cepat menutupi dengan tawa kecil. “Aku… hmm, keluar sebentar. Ada urusan kerjaan. Meeting mendadak, gitu.”“Meeting mendadak tengah malam?” Ziva menaikkan satu alisnya.Reza menggaruk tengkuk, pura-pura santai. “Ya, kan kerjaanku fleksibel. Kadang klien maunya ketemu jam berapa aja. Lagi pula aku nggak mau ganggu kamu tidur, jadi aku nggak bilang.”Ziva menatap tajam, mencoba membaca ekspresi Reza. Tapi pria itu cukup lihai menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.“Hm. Baiklah.” Ziva akhirnya berdiri, berjalan ke dapur, tapi dengan nada menggoda ia menambahkan, “Kalau ternyata kamu diam-diam kerja jadi supir ojol tengah malam, bilang aja, biar aku pesen lewat aplikasinya.”Reza nyaris tersedak air minum yang baru saja dituangnya. “Hei! Aku ini tampan banget untuk jadi ojol, Ziv.”Ziva mengangguk serius. “Iya sih, nanti customer bisa salah fokus, lupa bayar.”Mereka berdua saling melempar tatapan sekilas, dan suasana canggung s
Malam itu jelas-jelas membuat Reza goyah. Dan semakin Alisya memikirkannya, semakin ia yakin bahwa rahasia terbesar Reza adalah kunci utama untuk membuat pria itu tetap terikat padanya.Ia tertawa pelan, suara tawanya menggema di ruangan sunyi. “Kasihan sekali kamu, Reza… Masa kecilmu yang kelam itu akan jadi senjata paling indahku.”“Akhirnya aku menemukan celahnya…” gumamnya lirih sambil mengaduk kopinya.Tak lama, seorang pria berjas hitam duduk di hadapannya. Wajahnya tak terlalu jelas karena tertutup bayangan lampu. Ia hanya dikenal sebagai “S.”, sosok misterius yang sudah lama bekerja di balik layar untuk Alisya.“Jadi, kau masih menyimpan dendam itu?” suara pria di seberang terdengar samar, seolah sengaja disamarkan.Alisya tersenyum tipis. “Dendam? Oh, tidak. Aku hanya menagih kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Reza…” ia menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu di dadanya, “dia milikku sejak dulu. Tapi semuanya berubah saat dia bertemu perempuan itu.”Suara di sebe
Flash back..Kafe itu sunyi, hanya tersisa beberapa meja yang masih ditempati pengunjung. Lampu gantung berwarna kuning temaram memberi kesan hangat, namun suasana justru terasa menyesakkan bagi Reza. Ia duduk di pojok ruangan, mengetukkan jemari ke meja, menunggu seseorang yang seharusnya tidak perlu lagi muncul di hidupnya.Dan benar saja—suara ketukan hak sepatu terdengar jelas mendekat. Alisya.Dengan gaun sederhana namun tetap anggun, ia berdiri di hadapan Reza, seolah tidak ada luka masa lalu yang pernah ditinggalkannya.“Lama tidak bertemu, Reza,” ucap Alisya dengan senyum tipis yang lebih terasa seperti sindiran daripada sapaan.Reza menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya. “Katakan cepat, Alisya. Aku tidak punya banyak waktu.”Alisya tersenyum samar. “Kamu tahu kan… aku selalu suka bikin kamu gelisah.” Ia duduk di bangku yang lembap, lalu menatap Reza lama, membuat pria itu akhirnya ikut duduk meski enggan.Alisya mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berkilat penuh t
Pintu apartemen berderit pelan saat Ziva mendorongnya dengan bahu. Harumnya rumah sakit masih menempel di tubuhnya—campuran antiseptik, kopi dingin, dan sedikit kelelahan.“Reza…” panggilnya lirih.Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara detik jam di dinding, terdengar begitu menyebalkan.Ziva menghela napas panjang, melempar tas kerjanya ke sofa. “Tiga jam aku nunggu kamu di rumah sakit, Za. Tiga jam! Ternyata kamu bahkan nggak di sini juga.”Ia melirik meja makan. Kosong. Lantai? Ada jejak bungkus snack, tapi Reza-nya nihil. Bahkan sandal sebelah yang biasanya berserakan juga hilang.Ziva mendengkus. “Wah, luar biasa. Bapak Reza berhasil menghilang dari muka bumi. Mungkin beliau diculik alien. Atau jadi ketua RT di dimensi lain.”Meski berusaha bercanda, ada sesak yang menempel di dada. Ia meraih ponselnya, mencoba menelepon lagi. Hasilnya sama: nomor tidak aktif.“Ya ampun, Za. Kamu ke mana sih?” bisiknya.Karena capek, Ziva langsung menjatuhkan diri ke sofa, menatap langit-l
Jam dinding ruang dokter menunjukkan pukul 10.30 pagi. Seharusnya Ziva sudah menyelesaikan tiga pasien dan melanjutkan jadwal visite ke bangsal. Namun tangannya terasa kaku, pena yang biasa menari di atas kertas rekam medis justru berhenti di tengah kalimat. “Dok, saya harus ganti obat ini atau tetap yang sama?” tanya suster Lala dengan suara hati-hati. Ziva terlonjak kecil. “Oh… iya, tetap yang sama. Tulis dosisnya dua kali sehari,” jawabnya cepat, lalu menutup map pasien. Padahal, tadi ia sendiri yang menulis catatan untuk mengubah dosis obat. Suster itu saling pandang dengan rekannya. Biasanya Dokter Ziva dikenal tegas, detail, jarang salah. Hari ini wajahnya terlihat lelah dan pikirannya jelas tidak berada di ruangan itu. Ziva melangkah ke bangsal dengan jas putih berkibar. Namun di sepanjang lorong, pikirannya kembali terseret ke pesan aneh yang masuk semalam: 'Apa kamu tahu di mana dia berada ketika kamu sibuk di rumah sakit? Atau kamu hanya percaya begitu saja…?' Apa maks