Share

Bab 6

Penulis: Flower Lidia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 20:45:26

Pagi itu, suasana rumah sederhana milik keluarga Ziva terasa hangat namun juga berat. Dapur dipenuhi aroma tumisan favoritnya: buncis telur dan ayam goreng kecap—menu andalan Mama yang selalu berhasil membuat Ziva lapar meski hatinya sedang tidak tenang.

Di kursi meja makan, koper besar warna rose gold berdiri tegak, seolah menjadi penanda kalau ada sesuatu yang berubah hari ini.

Ziva duduk sambil memainkan sendoknya, matanya menatap nasi putih yang masih mengepul. Mama duduk di depannya, tak kalah diam.

"Jadi... hari ini ya kamu pindah?” suara Lia akhirnya memecah hening, lembut tapi terdengar berat.

Ziva mengangguk. “Iya, Ma. Keluarga Reza bilang... mulai hari ini aku harus tinggal di apartemen mereka. Katanya, biar cepat adaptasi.”

Lia mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan ratusan kekhawatiran. “Mereka nggak maksa, kan?”

“Nggak, Ma. Aku juga... udah siap.” Jawaban Ziva cepat, meski jelas itu bohong. Hatinya belum siap, belum sepenuhnya. Tapi waktu tak pernah menunggu kesiapan seseorang.

Lia tersenyum tipis. Ia bangkit, mengambil satu kotak bekal dari dapur, lalu menyodorkannya ke Ziva. “Nih, Mama bekelin. Ada lemper, pastel, sama sambel goreng kentang. Siapa tahu kamu nggak cocok sama makanan di sana.”

Ziva mengambilnya sambil menahan senyum. “Terima kasih, Ma.”

“Hidup bareng orang itu bukan kayak di sinetron. Jangan berharap dia bakal langsung berubah jadi suami sempurna, ya?”

Ziva tertawa tipis. “Tenang, Ma. Aku udah turun level ekspektasi.”

Mereka tertawa pelan bersama, tapi sejenak kemudian sunyi lagi. Lia mendekat, menyentuh pipi Ziva dengan penuh sayang.

“Kamu itu anak satu-satunya Mama. Mama tahu kamu kuat, tapi kalau suatu saat kamu lelah... rumah ini selalu bisa kamu pulangin.”

Ziva menahan air matanya. Ia memeluk Lia erat.

"Ma, doain aku ya... Aku cuma pengin semuanya lancar. Meski aku tahu, aku bukan... pilihan pertamanya.”

Lia memeluk Ziva lebih erat. “Tapi kamu pilihan takdirnya. Dan kalau dia nggak sadar seberapa berharganya kamu, dia buta.”

Tepat saat itu, suara klakson mobil dari depan rumah terdengar. Mobil keluarga Reza sudah menjemput.

Ziva berdiri, menarik napas panjang, lalu mengangkat koper besarnya.

Sebelum membuka pintu, Lia berteriak pelan, “Zivaaa...!”

Ziva menoleh, mendapati Mamanya berdiri di ruang tengah dengan tangan berkacak pinggang dan wajah setengah serius.

“Kalau dia bikin kamu nangis... bilang ke Mama. Biar Mama samperin pake sendok sayur.”

Ziva tertawa terbahak, matanya sembab.

🌸🌸🌸🌸🌸

Ziva turun dari mobil di depan sebuah gedung apartemen mewah, yang bahkan dari kejauhan saja sudah terlihat mahal. Dress semi-formalnya masih rapi, rambutnya tersisir anggun meski dalam hati, ia masih belum siap menghadapi kenyataan: tinggal serumah—atau seatap—dengan pria yang ia nikahi... secara kontrak.

Gadis itu menarik napas dalam sebelum menarik kopernya ke dalam lobi. Security membukakan pintu dengan ramah.

Ziva hanya membalas dengan senyum kecil dan anggukan sopan. Tapi detik lift berhenti di lantai 21 dan pintu terbuka… yang menyambutnya bukan Reza.

Melainkan—dia.

Alisya.

Dengan gaya santai, wanita itu berdiri di ambang pintu apartemen. Blouse tipis yang jelas-jelas bukan pakaian sopan untuk menyambut istri orang, bibirnya menekuk miring.

"Oh… ini kamu?” Alisya membuka pintu lebih lebar sambil menyilangkan tangan di dada. “Akhirnya datang juga. Istri kontrak yang katanya ‘sementara’ itu, ya?”

“Ternyata kamu beneran dateng.”

Ziva mengangguk pelan. “Aku disuruh tinggal di sini… sama mama Reza.”

Alisya tertawa kecil—pahit, sinis. “Oh iya, kan kamu udah jadi istri sah. Gak perlu izin siapa-siapa lagi, ya?”

Ziva menarik napas, mencoba tetap tenang meski dadanya mulai berdesir. “Aku nggak mau cari masalah.”

“Masalah?” Alisya menyipitkan mata, menyeringai. “Sayang, kamu udah jadi masalah itu sendiri.”

Ziva ingin membalas. Ingin berkata bahwa ia tidak pernah meminta semua ini, bahwa semua terjadi di luar kendalinya. Tapi saat matanya menatap wajah Alisya yang sembab karena tangis yang belum sempat kering, Ziva justru membisu. Ia melihat luka di balik emosi itu.

Alisya melangkah mendekat, menepuk bahu Ziva pelan, dan berkata dengan lirih namun tajam, “Semoga kamu betah di kandang yang kamu rebut.”

Seketika Ziva mematung.

Alisya berjalan pergi dengan langkah cepat, membelakangi Ziva tanpa penjelasan, namun gerakan bahunya menunjukkan emosi yang belum reda. Dia tidak menangis. Tapi kemarahan itu membekas di udara.

Ziva berdiri lama di lorong itu. Dada sesak. Lalu pintu terbuka kembali.

Reza muncul.

“Ngapain disini?" Suara Reza terdengar datar.

"Di suruh mama kamu" Reza tidak menjawab, ia tau maksud mamanya.

Ziva menoleh perlahan. “Aku tadi papasan sama Alisya…” gumam Ziva. “Kalian habis bertengkar, ya?”

Reza tidak menjawab. Ia hanya menghela napas dan mengangguk kecil. “Dia memang agak emosional.”

"Nanti juga emosi nya bakalan reda"

Masuklah," ucapnya singkat.

Ziva menyeret koper kecilnya pelan, melewati ambang pintu dan menginjak lantai marmer dingin apartemen yang begitu mewah namun terasa asing.

“Apartemennya... besar juga,” ucap Ziva sekadar basa-basi, mencoba mencairkan suasana.

Reza tak menjawab. Lalu Reza berkata, pelan namun pasti, “Kau bisa tidur di kamar tamu. Yang dekat balkon.”

Ziva menoleh cepat. “Kamar tamu?”

Reza mengangguk. “Ya. Kita pisah ranjang, Ziva.”

“Pisah... Kamar?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 9

    “Dokter Zivaaaa!”“Oh my God, kamu serius nikah?! Sama CEO Firnander Group? Yang produknya viral sekarang?”Ziva mencolek pelipis. “Kenapa sih RS ini lebih up to date dari gosip infotainment?”“Ya karena kamu tokoh utamanya, dok! Kita nonton sinetron real life ini gratis!”Belum selesai, tiba-tiba Dokter Tama lewat sambil megang kopi.“Ziv, ngaku deh... kamu disihir dukun mana sampe bisa dapetin suami sekeren itu?”Ziva hanya mengangkat alis. “Tama, suamiku bukan action figure. Dia juga manusia. Bisa ngos-ngosan waktu lari tangga.”Semua ketawa.“Cepetan potong kuenya dong!”“Yaaa biar sah!”Lalu dengan senyum malas-malu, Ziva berucap,“Bismillah… demi perut lapar dan citra pengantin baru yang utuh, mari kita potong kuenya…”Tepuk tangan meledak lagi, lebih riuh dari sebelumnya. Bahkan suster bagian radiologi ikut berteriak,“YEAYY PENGANTIN BARUU!!”Lalu mengibaskan kain serbet ke udara seperti pesta pernikahan adat.“Selamat ya, Ziva!”“Akhirnya sah juga, ya ampun!”“Dokter favorit

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 8

    Ziva turun ke dapur dengan setelan piyama dan rambut diikat asal. Matanya masih sayu, tapi begitu melihat meja makan yang sudah tertata rapi dengan roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk segar, matanya sedikit membelalakDi ruang tengah, Alisya dan Reza sedang tertawa. Tertawa. Serius.Ziva hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Alisya duduk menyamping di sofa, menggenggam lengan Reza seperti boneka kesayangan. Reza sendiri mengenakan kaus putih dan celana training, terlihat sangat santai dan… nyaman. Terlalu nyaman."Eh, Ziva! Udah bangun? Aku tadi sekalian bikin sarapan buat Reza, takut dia kesiangan."Ziva berdiri di ambang pintu, menahan napas dan menguatkan mental. Dia menatap Alisya dengan ekspresi setengah sadar."Dan... kamu nginep?" tanya Ziva datar, berusaha tak terdengar sinis."Enggaklah. Aku datang pagi-pagi, bawa bahan makanan sendiri. Sekalian kasih kejutan," sahut Alisya sambil nyengir, tak sadar kalau Ziva sedang mengulang kalimat ‘kasih kejutan’ di kepalany

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 7

    “Pisah kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar. Tidak menyindir. Tidak marah. Hanya... butuh kejelasan.Reza akhirnya menatapnya, tajam tapi tak punya emosi.“Aku pikir, ini bukan pernikahan sungguhan,” katanya tenang. “Kita berdua tahu alasannya."Ziva tersenyum kecil, getir. “Oh, tentu. Karena ini cuma perjodohan demi menyenangkan keluarga. Aku ingat.”Reza mengangguk singkat. “Jadi... sebaiknya kita tetap menjaga batas. Kamar utama untukku, kamar tamu untukmu.”Ziva melangkah pelan menuju koper yang tadi ia tinggalkan di dekat sofa. Ia tidak langsung menjawab. Bahkan tidak menatap Reza lagi.Tapi di dalam hati?“Pisah kamar? Sok cool amat. Lu kira gue ngarep tidur sekasur juga? Hell no. Gue lebih milih tidur sama guling daripada tidur sama manusia es kayak kamu.”🌸🌸🌸🌸🌸Ziva masuk dan menutup pintu pelan. Kamar tamu itu… terlalu mewah untuk disebut "tamu", tapi terlalu asing untuk disebut "rumah". Furniturnya elegan, semuanya rapi dan wangi lavender. Tapi tetap saja, rasany

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 6

    Pagi itu, suasana rumah sederhana milik keluarga Ziva terasa hangat namun juga berat. Dapur dipenuhi aroma tumisan favoritnya: buncis telur dan ayam goreng kecap—menu andalan Mama yang selalu berhasil membuat Ziva lapar meski hatinya sedang tidak tenang. Di kursi meja makan, koper besar warna rose gold berdiri tegak, seolah menjadi penanda kalau ada sesuatu yang berubah hari ini. Ziva duduk sambil memainkan sendoknya, matanya menatap nasi putih yang masih mengepul. Mama duduk di depannya, tak kalah diam. "Jadi... hari ini ya kamu pindah?” suara Lia akhirnya memecah hening, lembut tapi terdengar berat. Ziva mengangguk. “Iya, Ma. Keluarga Reza bilang... mulai hari ini aku harus tinggal di apartemen mereka. Katanya, biar cepat adaptasi.” Lia mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan ratusan kekhawatiran. “Mereka nggak maksa, kan?” “Nggak, Ma. Aku juga... udah siap.” Jawaban Ziva cepat, meski jelas itu bohong. Hatinya belum siap, belum sepenuhnya. Tapi waktu tak pernah menungg

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 5

    “Kay…”Ziva bersuara pelan, matanya merah, suaranya serak, tapi ada nada harap di sana. Kayla, yang masih duduk di samping tempat tidur sambil memegang sebotol air mineral, menoleh cepat.“Hm?”Ziva memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 00.17. “Gue nginep sini aja, ya?”Kayla mengangkat satu alis. “Lah emangnya lo pikir gue bakal nyuruh lo pulang jam segini? Mau ditangkap satpam komplek apartemen karena dikira kuntilanak kesasar?”Ziva nyengir tipis walau matanya masih sembab. “Serius ngebayangin gue jadi kuntilanak cantik dengan koper pink itu agak ngena.”Kayla berdiri dan membuka lemari, mengeluarkan piyama cadangan warna biru muda bergambar alpukat tersenyum. “Nih, pake ini. Jangan bilang lo lupa bawa baju tidur, ya?”“Gue cuma sempat ambil coat, dompet, dan luka hati.”“Fix, lo butuh terapi.”Kayla memberikan nasi goreng yang ia pesan tadi.“Pokoknya malam ini kamu nggak usah mikirin dia. Kamu tinggal mikirin: mau sarapan nasi goreng atau roti bakar besok?”Ziva ter

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 4

    Sore itu, Ziva tidak menyangka akan kembali duduk berhadapan dengan Reza Firnander—calon suami dan berhasil membuatnya tidur tidak nyenyak dua malam berturut-turut. Bukan karena cinta, tapi karena bingung: ini hidup nyata atau sinetron?Reza datang sepuluh menit lebih awal. Duduk dengan gaya santai, kemeja linen abu, celana hitam pas badan, dan aroma parfum kayu-kayuan yang terlalu mahal untuk disebutkan mereknya. Wajahnya datar, seperti biasa. “Ada hal penting apa?”Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ziva sesaat, lalu menarik sebuah map berwarna krem dari tas kerjanya dan menyodorkannya ke atas meja.Ziva mengangkat alis. “Apa ini?”“Baca saja,” jawab Reza singkat.Ziva membuka map itu perlahan, dan matanya segera menangkap deretan kalimat formal dengan kata-kata yang tajam dan jelas:KONTRAK PERNIKAHANPernikahan akan berlangsung sesuai jadwal keluarga. Tidak ada campur tangan emosional. Tidak ada kewajiban fisik sebagai pasangan. Berjalan sampai kondisi Kakek Yudistira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status