LOGINPagi itu, suasana rumah sederhana milik keluarga Ziva terasa hangat namun juga berat. Dapur dipenuhi aroma tumisan favoritnya: buncis telur dan ayam goreng kecap—menu andalan Mama yang selalu berhasil membuat Ziva lapar meski hatinya sedang tidak tenang.
Di kursi meja makan, koper besar warna rose gold berdiri tegak, seolah menjadi penanda kalau ada sesuatu yang berubah hari ini. Ziva duduk sambil memainkan sendoknya, matanya menatap nasi putih yang masih mengepul. Mama duduk di depannya, tak kalah diam. "Jadi... hari ini ya kamu pindah?” suara Lia akhirnya memecah hening, lembut tapi terdengar berat. Ziva mengangguk. “Iya, Ma. Keluarga Reza bilang... mulai hari ini aku harus tinggal di apartemen mereka. Katanya, biar cepat adaptasi.” Lia mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan ratusan kekhawatiran. “Mereka nggak maksa, kan?” “Nggak, Ma. Aku juga... udah siap.” Jawaban Ziva cepat, meski jelas itu bohong. Hatinya belum siap, belum sepenuhnya. Tapi waktu tak pernah menunggu kesiapan seseorang. Lia tersenyum tipis. Ia bangkit, mengambil satu kotak bekal dari dapur, lalu menyodorkannya ke Ziva. “Nih, Mama bekelin. Ada lemper, pastel, sama sambel goreng kentang. Siapa tahu kamu nggak cocok sama makanan di sana.” Ziva mengambilnya sambil menahan senyum. “Terima kasih, Ma.” “Hidup bareng orang itu bukan kayak di sinetron. Jangan berharap dia bakal langsung berubah jadi suami sempurna, ya?” Ziva tertawa tipis. “Tenang, Ma. Aku udah turun level ekspektasi.” Mereka tertawa pelan bersama, tapi sejenak kemudian sunyi lagi. Lia mendekat, menyentuh pipi Ziva dengan penuh sayang. “Kamu itu anak satu-satunya Mama. Mama tahu kamu kuat, tapi kalau suatu saat kamu lelah... rumah ini selalu bisa kamu pulangin.” Ziva menahan air matanya. Ia memeluk Lia erat. "Ma, doain aku ya... Aku cuma pengin semuanya lancar. Meski aku tahu, aku bukan... pilihan pertamanya.” Lia memeluk Ziva lebih erat. “Tapi kamu pilihan takdirnya. Dan kalau dia nggak sadar seberapa berharganya kamu, dia buta.” Tepat saat itu, suara klakson mobil dari depan rumah terdengar. Mobil keluarga Reza sudah menjemput. Ziva berdiri, menarik napas panjang, lalu mengangkat koper besarnya. Sebelum membuka pintu, Lia berteriak pelan, “Zivaaa...!” Ziva menoleh, mendapati Mamanya berdiri di ruang tengah dengan tangan berkacak pinggang dan wajah setengah serius. “Kalau dia bikin kamu nangis... bilang ke Mama. Biar Mama samperin pake sendok sayur.” Ziva tertawa terbahak, matanya sembab. 🌸🌸🌸🌸🌸 Ziva turun dari mobil di depan sebuah gedung apartemen mewah, yang bahkan dari kejauhan saja sudah terlihat mahal. Dress semi-formalnya masih rapi, rambutnya tersisir anggun meski dalam hati, ia masih belum siap menghadapi kenyataan: tinggal serumah—atau seatap—dengan pria yang ia nikahi... secara kontrak. Gadis itu menarik napas dalam sebelum menarik kopernya ke dalam lobi. Security membukakan pintu dengan ramah. Ziva hanya membalas dengan senyum kecil dan anggukan sopan. Tapi detik lift berhenti di lantai 21 dan pintu terbuka… yang menyambutnya bukan Reza. Melainkan—dia. Alisya. Dengan gaya santai, wanita itu berdiri di ambang pintu apartemen. Blouse tipis yang jelas-jelas bukan pakaian sopan untuk menyambut istri orang, bibirnya menekuk miring. "Oh… ini kamu?” Alisya membuka pintu lebih lebar sambil menyilangkan tangan di dada. “Akhirnya datang juga. Istri kontrak yang katanya ‘sementara’ itu, ya?” “Ternyata kamu beneran dateng.” Ziva mengangguk pelan. “Aku disuruh tinggal di sini… sama mama Reza.” Alisya tertawa kecil—pahit, sinis. “Oh iya, kan kamu udah jadi istri sah. Gak perlu izin siapa-siapa lagi, ya?” Ziva menarik napas, mencoba tetap tenang meski dadanya mulai berdesir. “Aku nggak mau cari masalah.” “Masalah?” Alisya menyipitkan mata, menyeringai. “Sayang, kamu udah jadi masalah itu sendiri.” Ziva ingin membalas. Ingin berkata bahwa ia tidak pernah meminta semua ini, bahwa semua terjadi di luar kendalinya. Tapi saat matanya menatap wajah Alisya yang sembab karena tangis yang belum sempat kering, Ziva justru membisu. Ia melihat luka di balik emosi itu. Alisya melangkah mendekat, menepuk bahu Ziva pelan, dan berkata dengan lirih namun tajam, “Semoga kamu betah di kandang yang kamu rebut.” Seketika Ziva mematung. Alisya berjalan pergi dengan langkah cepat, membelakangi Ziva tanpa penjelasan, namun gerakan bahunya menunjukkan emosi yang belum reda. Dia tidak menangis. Tapi kemarahan itu membekas di udara. Ziva berdiri lama di lorong itu. Dada sesak. Lalu pintu terbuka kembali. Reza muncul. “Ngapain disini?" Suara Reza terdengar datar. "Di suruh mama kamu" Reza tidak menjawab, ia tau maksud mamanya. Ziva menoleh perlahan. “Aku tadi papasan sama Alisya…” gumam Ziva. “Kalian habis bertengkar, ya?” Reza tidak menjawab. Ia hanya menghela napas dan mengangguk kecil. “Dia memang agak emosional.” "Nanti juga emosi nya bakalan reda" Masuklah," ucapnya singkat. Ziva menyeret koper kecilnya pelan, melewati ambang pintu dan menginjak lantai marmer dingin apartemen yang begitu mewah namun terasa asing. “Apartemennya... besar juga,” ucap Ziva sekadar basa-basi, mencoba mencairkan suasana. Reza tak menjawab. Lalu Reza berkata, pelan namun pasti, “Kau bisa tidur di kamar tamu. Yang dekat balkon.” Ziva menoleh cepat. “Kamar tamu?” Reza mengangguk. “Ya. Kita pisah ranjang, Ziva.” “Pisah... Kamar?”Sejak kejadian cemburu di kantor kemarin, Reza pikir badai hormon Ziva sudah berlalu.Ternyata… dia salah besar.Sore itu, mereka baru aja pulang dari belanja kebutuhan rumah. Cuaca adem, langit cerah suasana yang harusnya tenang. Tapi begitu masuk apartemen, suasana langsung berubah 180 derajat.Ziva yang tadi masih tertawa di mobil, kini berdiri di depan pintu sambil menghela napas panjang.“Reza…”“Hmm?”“Kenapa sih kamu gak pernah ngerti aku?”Reza langsung berhenti di tempat.“Hah? Aku salah apa lagi?”Ziva melirik pelan, matanya sedikit berair. “Kamu tuh… tadi di jalan, aku bilang pengen es krim rasa stroberi, tapi kamu malah beli yang cokelat.”Reza menatap kantong belanja di tangannya. “Tapi… kamu bilang ‘apa aja boleh, asal dingin’.”“Itu kode, Reza!” seru Ziva, mulai gemas. “Aku tuh pengen kamu peka!”Reza mengedip beberapa kali, bingung antara minta maaf atau ketawa.“Maaf, Ziv. Aku… gak peka.”Ziva menghela napas dramatis. “Ya udah, aku capek ngomong. Aku cuma pengen dime
Hari itu, setelah selesai jadwal di rumah sakit, Ziva duduk sebentar di ruang istirahat dokter. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Meski sudah dua bulan kehamilannya berjalan lancar, rasa mual dan cepat lelah masih sering datang tiba-tiba. Ia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi—pesan dari Reza.[Aku gak bisa anterin kamu pulang hari ini, kamu pulang sendiri bisa?"][Masih siang, aku males sendirian di apartemen][Terus kamu mau kemana setelah ini][Kayaknya mau nyamperin kamu]Setelah berpamitan pada rekan kerjanya, Ziva pun langsung berangkat menuju perusahaan Reza.Begitu tiba di lobby gedung megah itu, semua orang seolah langsung tahu siapa dia. Resepsionis menyapa dengan ramah.“Selamat siang, Bu Ziva. Mau langsung ke lantai 15?”Ziva tersenyum, “Iya"Sampai di lantai 15, suasana kantor terasa tenang dan profesional. Beberapa staf menatap penasaran, dan beberapa lainnya berbisik pelan, “Eh, itu istrinya Pak Reza, kan?”Ziva berjalan dengan l
Reza menggaruk kepala, bingung. “Tapi udah malem banget, Ziv. Aku takut kamu kecewa kalau aku keluar, terus nggak dapet juga.”Ziva menatapnya lama, lalu menunduk. Bibirnya bergetar kecil, lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.“Reza… kamu nggak ngerti, ya?” suaranya pecah. “Aku tuh cuma pengen dimengerti. Aku capek banget hari ini. Pengen makan yang aku mau, tapi kamu malah bilang 'Nanti .”Reza langsung panik, duduk di sebelahnya. “Eh, eh, jangan nangis dong… Aku nggak bermaksud begitu, sumpah.”Tapi Ziva justru menunduk makin dalam, bahunya bergetar. “Aku ngerasa kayak… semua yang aku pengen itu repot buat kamu.”Reza menghela napas panjang, lalu mengusap pipinya pelan. “Sayang, denger aku ya. Aku nggak ngerasa repot sama kamu, sedikit pun. Aku cuma takut kamu makin kecewa kalo aku gagal dapetin satenya. Tapi kalau kamu mau, aku cari sekarang juga.”Ziva menatapnya dengan mata merah dan hidung yang memerah. "Gak terpaksa kan?”Reza tersenyum kecil. “Enggak. Demi kamu dan d
Setelah malam yang ramai dan penuh tawa itu, akhirnya satu per satu anggota keluarga pamit pulang.Suasana apartemen yang tadinya riuh seketika berubah hening.Ziva dan Reza berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan.Begitu pintu tertutup, keduanya menghela napas bersamaan.“Akhirnya…” “...sunyi lagi,” kata Ziva, hampir bersamaan dengan Reza.Mereka berdua saling pandang lalu tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung berubah jadi tatapan bingung saat Ziva melangkah ke dapur.“Reza…”“Hm?”“Kulkas kita… kenapa… kayaknya… mau meledak?”Reza langsung ikut melihat, dan benar saja — kulkas mereka kini penuh sesak.Kotak makanan tertata rapat, ada wadah besar berisi sayur rebus, ikan kukus, susu ibu hamil, jus segar, sampai ramuan herbal berwarna aneh yang aromanya menusuk hidung.“Astaga… ini mereka sempat belanja sebanyak ini pas kita makan malam?”“Kayaknya iya…”“Aku yakin ini bukan kulkas kita lagi, tapi kulkas umum untuk program gizi nasional,” gumam Reza sambil menatap penuh hera
Di dalam apartemen, suasana langsung ramai.Mamah Lia langsung ke dapur tanpa izin, Mamah Indri sibuk menata bantal, Papah Adrian nyalain TV, dan Kakek malah duduk santai sambil berkata,“Nah, ini baru rumah tangga! Ada aroma keluarga.”Ziva cuma bisa saling pandang dengan Reza dan terkekeh pelan.“Aku rasa apartemen kita baru aja diserbu pasukan cinta keluarga.”“Pasukan cinta… dengan volume suara lima kali lipat dari normal,” balas Reza sambil terkekeh.Meja makan apartemen malam itu terlihat seperti sedang menggelar pesta kecil.Piring, mangkuk, dan aroma masakan memenuhi ruangan.Semua tampak sibuk kecuali satu orang, Ziva.“Ziva, duduk aja, jangan berdiri! Nanti capek!”“Iya, sayang, biar Mamah aja yang ambilin.”“Eh, jangan pegang piring panas, nanti tangannya kepanasan. Aduh, kasihan calon cucu Kakek.”Ziva sampai bingung mau napas di mana.Dia duduk manis di kursi tengah, sementara seluruh keluarga sibuk melayaninya seperti dia baru aja naik tahta jadi ratu hamil pertama di d
Pagi itu, Ziva duduk di kursi ruang tunggu dengan wajah tegang. Sementara Reza… sibuk mondar-mandir seperti orang yang kehilangan kunci rumah.Padahal bukan dia yang mau diperiksa.“Kenapa sih kamu yang panik?” tanya Ziva heran. “Ya gimana nggak panik? Ini pertama kalinya aku ikut hal-hal kayak begini, tau,” jawab Reza dengan ekspresi serius tapi lucu.Ziva menahan tawa. Ia tahu Reza gugup, tapi melihat suaminya yang biasanya santai kini gelisah sendiri… rasanya menggemaskan.Beberapa menit kemudian, perawat memanggil, “Ibu Ziva, silakan masuk.”Reza spontan berdiri lebih dulu.“Iya, saya Ziva—eh maksudnya, saya suaminya Ziva!” katanya terbata.Perawat menahan senyum. Ziva menatapnya, setengah malu, setengah ingin ketawa.“Aduh, malu banget sumpah…” gumamnya sambil menepuk dahi.Begitu masuk ruang pemeriksaan, Reza langsung kaku. Matanya menatap alat-alat di ruangan seolah itu mesin dari film sci-fi.“Sayang, ini alatnya kayak mesin pembuat roti ya?” tanyanya polos. “Astaga, Reza,”







