Share

DIJUAL SUAMI JADI PEMANDU LAGU
DIJUAL SUAMI JADI PEMANDU LAGU
Penulis: Nur Asih

Pengemis Nafkah

Danis, bocah laki-laki berusia empat tahun sedari tadi terus merintih. Panas, hal pertama yang Mala rasakan saat punggung tangan wanita berkulit putih itu bersentuhan dengan dahi putranya.

“Astaga, Nak. Badanmu panas sekali.” Cemas sudah pasti Mala rasakan. Apalagi Tomi, suami Mala belum juga pulang, padahal waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Akhir-akhir ini Tomi memang sering keluar malam. Entah apa yang dia lakukan di luaran sana?

“Angkat, dong, Mas. Kamu dimana, sih, sebenarnya?” Mala terus mencoba menghubungi ponsel milik suaminya, tapi sia-sia tidak ada jawaban dari seberang sana.

Mengompres Danis dengan air hangat, hanya itu yang bisa Mala lakukan untuk memberi pertolongan pertama. Dia terus saja merutuki diri karena lupa bila stok Paracetamol-nya habis. Seharusnya sebagai seorang Ibu, dia hafal betul putranya terkadang demam di malam hari.

“Bunda …,” rengek Danis, “kepala Danis pusing.” Bocah empat tahun itu terus memegangi kepalanya.

“Sabar, ya, Sayang. Ini lagi dikompres sama Bunda biar demamnya hilang. Nanti setelah demamnya hilang pasti nggak pusing lagi.”

“Danis pengen dipeluk Bunda.”

Mala rebah di samping Danis, memeluk putranya dengan erat. Sesekali, Mala membolak-balik kain yang digunakan untuk mengompres Danis.

Perlahan netra Mala ikut terpejam. Hari ini, dia benar-benar lelah. Cucian dan setrikaan yang diterima lumayan banyak. Hidup di kota dengan biaya hidup yang tidak murah memaksa Mala ikut banting tulang membantu suaminya mencari nafkah.

Akan tetapi, tulang punggung yang seharusnya mencari nafkah justru semakin hari semakin menjadi. Judi online membuat Tomi terlena. Lebih dari separuh gajinya habis digunakan untuk hobi yang tanpa disadari membuat ekonomi keluarga kecilnya semakin terpuruk.

Suara deru motor mengusik tidur Mala, dia beringsut. Duduk di tepi ranjang kemudian mengikat rambutnya asal. Sebelum bangkit Mala menempelkan telapak tangan di dahi Danis. “Alhamdulillah panasnya sudah agak turun.”

Jam dinding menunjukkan jam tiga dini hari. Menyingkap tirai merah yang menjadi penyekat kamar, Mala melangkah ke ruang tamu. Rupanya Tomi sudah pulang. Lega hati Mala.

“Mas sudah pulang?” tanya Mala, sesekali menutup mulutnya yang menguap.

“Hem,” sahut Tomi sekenanya. “Buatin wedang jahe sana!” Tomi menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa usang ruang tamu.

Ucapan Tomi bagai mantra bagi Mala. Dia segera menuju dapur untuk membuat wedang jahe. Segelas besar wedang jahe sudah berada di hadapan Tomi.

“Mas, badan Danis panas,” ucap Mala dengan terus meremas jari tangan.

“Terus?” Pandangan Tomi tidak beralih dari benda pipih yang ada di tangan. Semenjak mengenal judi online semua perhatian Tomi hanya terpusat pada ponsel miliknya. Bahkan sekedar untuk bermain dengan Danis saja sudah tidak pernah lagi ia lakukan.

“Besok kita periksakan Danis ke dokter, ya!” ucap Mala sehalus mungkin. Dia juga terus menunduk tidak berani menatap netra tajam suaminya.

“Periksa … ya periksa. Gitu aja, kok, ya repot,” jawab Tomi datar.

Maju beberapa langkah, Mala duduk bersimpuh di samping pria yang sudah menikahinya selama hampir lima tahun. Memberi pijatan pada kaki sang suami. “Mala … minta uang, ya Mas. Untuk memeriksakan Danis.”

“Uang lagi, uang lagi!” bentak Tomi. “Memangnya uang hasil kamu nyuci kemana, hah!”

“U … uangnya sudah habis buat belanja kebutuhan sehari-hari, Mas. Upah nyuci hari ini baru bisa diambil besok sekalian mengantarkan baju,” ucap Mala tergagap. Sebisa mungkin Mala menahan air mata agar tidak berderai.

“Jadi perempuan itu jangan boros mangkanya. Masak uang dua ratus ribu dariku seminggu kurang. Padahal itu belum ditambah hasil kamu cuci gosok. Yang hemat Mala … hemat,” hardik Tomi.

Semakin perih hati Mala mendengar ucapan sang suami. Kurang hemat bagaimana lagi, bedak dan lipstik saja dia tidak punya. Bahkan, dia rela makan nasi dan garam agar suami dan anaknya bisa makan pakai telur. Tangan yang dulu mulus kini terasa sangat kasar karena menjadi buruh cuci. Bukannya merasa terbantu, Tomi justru terus mengatakan Mala perempuan boros. Tidak tahan dengan perkataan Tomi, kaca-kaca di netra Mala akhirnya tumpah.

“Nangis lagi.” Tomi bangkit dari duduknya, mengeluarkan dua pecahan seratus ribu lalu melemparnya pada Mala. “Nih, jatah seminggu ke depan.” Pria jangkung itu menyentak tubuh Mala dengan kakinya. Mala yang tidak siap terhuyung ke belakang. Beruntung dia masih bisa menopang tubuhnya dengan kedua tangan kalau tidak sudah pasti tubuh Mala terjengkang.

Dengan hati yang perih dan air mata yang terus-menerus menetes. Mala memunguti uang yang dilemparkan Tomi. Sungguh Mala merasa lebih rendah dari seorang pengemis setiap kali meminta nafkah pada suaminya. Bila uang hasil dari mencuci gosok masih ada tidak akan dia meminta pada Tomi. Namun, tidak masalah bagi Mala menjadi pengemis asal dia bisa membawa Danis ke Dokter besok pagi.

,

Keesokan harinya Mala segera membawa Danis berobat tanpa Tomi tentunya. Beralasan harus segera berangkat kerja, Tomi enggan menemani Mala dan Danis pergi ke dokter. Beruntung kata dokter Danis tidak apa-apa. Musim pancaroba memang membuat anak-anak jadi gampang sakit. Setelah diberi obat demam Danis berangsur turun. Bocah itu juga sudah kembali ceria.

Mala tengah menyuapi Danis kala pintu digedor sangat keras.

“Tomi keluar kamu!”

“Kami tahu, kamu ada di dalam. Keluar atau pintu ini kami dobrak!” Suara lantang pria di luar sana membuat Danis ketakutan.

“Bunda, Danis takut.” Bocah itu memeluk Mala erat sambil menangis.

“Danis tidak perlu takut, kan ada Bunda.” Menggendong putranya masuk ke kamar, Mala mendudukkan Danis di atas ranjang. “Danis tunggu di sini, ya. Bunda mau lihat siapa yang ada di depan.” Mala mengusap pucuk kepala Danis agar bocah itu tidak ketakutan.

“Danis mau sama Bunda,” rengek Danis, tangan kecilnya terus memegang ujung baju Mala.

Mensejajarkan tubuh dengan pria kecil di hadapannya. Mala duduk di lantai. Memegang kedua tangan Danis. “Katanya Danis anak yang pemberani.”

Danis mengangguk. Mala tersenyum. Ditatapnya bola mata yang masih sangat jernih dengan begitu dalam. “Karena Danis anak yang pemberani, Danis tunggu di sini. Bunda mau lihat siapa yang ada di depan. Tidak akan lama. Bunda janji.” Mala menunjukkan jari kelingkingnya pada Danis.

“Janji?” Bocah itu mengulurkan jari kelingkingnya pada Mala. Dijawab anggukan oleh Mala lalu kelingking keduanya bertaut.

“Anak pintar.” Mala tersenyum mengusap jejak air mata di pipi Danis, kemudian mengecupnya.

Pintu terbuka, nampak dua orang pria bertubuh besar membawa sebuah map berwarna biru. Mala mengerutkan dahi. Wajah keduanya sangat asing bagi Mala. Sepertinya mereka tidak tinggal di lingkungan yang sama dengan Mala.

Akan tetapi, kenapa mereka mendatangi rumah Mala? Kenapa mereka berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Siapa mereka? Dan ada hubungan apa dengan Tomi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status