Sudah dua hari ini Arina tak menanggapi setiap omongan Damar. Bukan karna si penelpon yang mengganggu aktivitas intim mereka kemarin malam, namun surat pengunduran diri yang diminta Damar untuk ditandatangani.“Kalau aku dicerai lagi gimana, mas pikir gampang cari kerja apalagi nanti kalau statusku jadi janda lagi.” Arina tak henti mengomel sambil merapikan pakaian suaminya ke dalam lemari dan sesekali menahan ringisan di antara pangkal paha.“Yang bilang mau ceraiin kamu siapa sih.” Pelan Damar berkata sambil mendekati Arina dan memeluknya dari belakang.Kali ini Damar tak ingin gegabah seperti dulu. Sebisa mungkin rasa sabar dan pengertian dia tanamkan dalam dirinya bila memyangkut Arina. Damar tahu, Arina belum sepenuhnya menerima cintanya lagi, entah kapan, atau mungkin menerima namun tak utuh lagi. Seperi kaca yang sudah diretakkan, bukankah Damar sendiri yang telah meretakkan kaca itu.Arina menggeliat melepaskan diri namun tangan kekar Damar tak bergeming dari tubuh langsingnya
“Jauhi mas Damar, dia tidak mencintaimu” 0821xxx“siapa ini?” Arina.“Saya Yasmin, kekasih mas Damar, dulu, kini, nanti dan selamanya.” 0821xx“Pede.” Arina.“Jelas, bukankah dia pernah menalakmu demi saya.” 0821xx“buatlah kembali dirinya jatuh cinta padamu, bukan malah mengejarku.” Arina.“nanti pasti dicerai lagi, mas Damar hanya ingin bertanggung jawab pada anaknya.” 0821xx“perempuan itu malunya ditaruh di muka, bukan di telapak kaki, sampe nggak punya malu mengejar laki-laki yang mengejar cinta mantan istrinya.” Arina.“kamu!, lihat saja nanti.” 0821xx“beli kaca, kacain tuh muka!.” ArinaDamar tersenyum membaca percakapan Arina dan Yasmin lewat aplikasi, Arina sekarang tak selugu dan sepolos dulu lagi, istrinya ini tahu untuk membela dirinya. Segala cara akan dilakukan seorang wanita untuk membela dirinya dan membuat bahagia diri sendiri. Arina bukan lagi wanita yang harus menahan tangis karna memendam sedih dan luka karna tak dihargai. Sebisa mungkin dirinya akan melawan bila
Arina, menyodorkan kotak tisue kehadapan, Wiwid. Air mata, gadis itu menganak sungai, saat menceritakan pertemuannya dengan, Faris, sang tunangan bersama, Yasmin. Damar, yang sejak tadi hanya mendengarkan, sungguh tak menyangka bila, mantan kekasihnya itu tega menggoda tunangan, Wiwid hanya untuk mendapatkan nomor, Arina. Ternyata, Faris yang memberikan nomor, Arina pada, Yasmin. Makanya, wanita itu bisa meneror, Arina, dengan mengirimkan foto – foto lama, mereka. Bahkan, Damar mencurigai bila, Rahma-lah yang memberikan informasi pada Yasmin. Namun ternyata, dugaanya, salah.Damar, akan menyelidiki ini. Meski sebenarnya tak penting, sebab, dirinya dan, Arina, sudah menikah. Namun, entah mengapa, Damar, merasa ada maksud lain dari, Yasmin ini.“Apa, kamu sudah tanyain ke mas Faris, Wid?” Tanya Arina sambil menenangkan, Wiwid yang masih terisak.Wiwid, menggeleng, tampak enggan bertemu pria itu lagi.“Saran, saya, kamu harus bertemu berdua saja dengan, Faris. Takutnya ini hanya salah p
Saat Arina masuk kamar mandi, Damar membuka pintunyang dari tadi diketuk dari luar. Nampak Rahma yang datang, membawa map kuning berisi laporan penjualan bulan lalu.“Pemisi, pak!” Rahma menyodorkan map kuning ke atas meja Damar, lalu mundur bebrapa senti dari meja bosnya itu.“ Ini laporan penjualan parfum bulan lalu pak!” Rahma memberitahu, bosnya itu yang nampak memperhatikan laporan penjualan yang cukup bagus. Sebagai produk baru yang dimiliki hak jualnya oleh perasaan ini, tentu membahagiakan pemiliknya yang tak lain adalah orang tua Damar sendiri, dan bila penjualan bagus, bonus untuk Karyawan pun akan ditambah. Damar meminta tim HRD untuk merekrut karyawan bagian penjualan yang memiliki jiwa memiliki jiwa sales yang tinggi, tentu mereka diberikan gaji dan tunjangan yang sesuai dengan kondisi pekerjaan mereka yang harus turun ke lapangan menawarkan produk pada toko- toko grosir di kota ini. Leader sales Parfum ini bernama pak Duta, sudah bekerja di perusahaan ini hampir tujuh
POV. Damar“Habis ini antarkan aku ke dokter kandungan, mas!” pinta Arina padaku, saat kupeluk dari belakang di ruang kerjaku. Arina, takut hamil lagi dengan alasan, Davian, putra kami masih kecil dan takut kutinggalkan, katanya. Pikiran yang jelas-jelas tak akan kulakukan. Cukup sekali aku kehilangan dirinya. Bahkan,dia hamil anak kami tanpa sepengetahuan dan tanpa kubersamai. Tentu saja kehamilannya nanti akan kubersamai istriku ini. Ingin kutebus semua dosa-dosaku yang telah menelantarkan wanita baik ini, walau tak mungkin menghapus semua luka yang pernah kucipta di hati dan hidupnya.“Habis dari dokter kandungan, kita singgah ke toko beli jilbab buat, sayang ya!” pintaku sambil menempelkan pipiku pada pipi mulusnya.Hari menjelang maghrib, banyak karyawan yang telah pulang, mungkin di lantai tiga ini tersisa, aku dan Arina. Entahlah akhri-akhir ini, hasratku selalu ingin menyentuhnya dan kurasa Arina juga tak menolakku. Seperti saat ini saat kupeluk dirinya, bersamaan dengan gerim
“Sendirian saja?” Arzan pria tiga puluh empat tahun, kawan Sofyan, yang tadi memanggil Yasmin.Arzan ini yang tahu, sepak terjang Sofyan di luar sana, bagaiamana kelakuannya yang kerap bermain judi dan main perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya, terutama Yasmin. Sebab dulu orang tua mereka membuat surat pernyataan, bila salah satu anak mereka membuat perusahaan bangkrut dengan jalan main judi, maka tak akan mendapat apa-apa dari hasil perusahaan tersebut, bahkan wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Namun entah karna karma atau alam yang sudah bekerja dengan sendirinya, orang tua Yasmin yang dulu menipu pak Mahmud, ayah Damar, malah sekarang perusahaannya di ambang kebangkrutan sebab, Sofyan sang putra yang diandalkan malah kerap bermain judi dengan uang operasiona perusahaan dan sekarang malah kena tipu pula dari bandar judi yang kabarnya telah lari ke luar negeri. Bukan hanya Sofyan, yang ditipunya, namun beberapa member judi di tempat paktek perjudian itu juga kena tipu. N
“Papaaa...” suara bahagia Davian melihat mama dan papanya datang, membuat bu Fatimah yang sedang menyuapi cucunya itu menghentikan aktivitasnya. Nampak yang Davian yang berlari kearah papanta, membuat Arina cemberut. Biasanya bila pulang ke desa menyambangi anaknya, Davian pasti akan berlari dan memanggil mama. Namun kali ini malah menyebut papanya.“Jagoan, papa. Papa sama mama kangen banget sama Davi, pinter nggak anak papa?” Damar mengangkat Davi kedalam gendongannya dan menciumi pipi gembul itu berulang kali, lalu menurunkan sang anak, mengikuti langkah Arina yang masuk ke dalam segera mencium tangan ibunya.“Sehat, kamu Nduk?” bu Fatimah menyambut pelukan putrinya.“Alhamdulillah, sehat Bu.” Arina mencium pipi yang sudah keriput itu.“Sehat-sehat, Nak Damar?” bu Fatimah menepuk lengan menantunya saat menyalami dirinya.“Alhamdulillah, Bu.”“Bapakmu, masih di sawah. Petani lagi rame-rame mencoba traktor baru dari balai Desa, katanya itu bantuan.” Ucap bu Fatimah sambil masuk menyi
“Kamu kenapa sih, mas?” tanya Arina yang bingung dengan perubahan sikap Damar yang mendiamkan sejak di kebun Bapak tadi. Tidak tahu saja Arina ini, bila sang suami tak suka dengan interaksinya tadi dengan Alan. Tadi malah di kebun, Alan masih datang menawarkan untuk membawakan sayur milik ayah Arina ke pasar, sebab Alan membawa motor Caisar yang digunakan khusus untuk mengangkut sayuran milik petani.“Makasih banyak lho mas Alan, atas bantuannya.” Ucap Arina saat mas Safri dan Damar tadi selesai menaikkan ke atas motor sayuran milik pak Darsi. Alhamdulillah tadi sore mereka dapat tiga karung sawi dan dua karung kol, ada beberapa ikat yang khusus dibawa pulang untuk konsumsi di rumah.“Sama-sama, Rin. Sudah tugas saya membantu warga desa, apalagi ayah kamu, tentu saya bantu.” ucap Alan sambil tersenyum pada Arina, interaksi yang tak lupt dari pandangan tajam Damar tadi. Bahkan saat Alan menyapanya, ketika hendak meninggalkan kebun, Damar hanya mengangguk sambil tersenyum tipis sebaga