Home / Romansa / DIKEJAR DUDA KEREN / Kesepakatan yang buruk

Share

Kesepakatan yang buruk

Author: Bastiankers
last update Last Updated: 2025-03-28 09:06:57

Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? 

Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.

Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”

Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. 

Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka pintu kabinet. “Mau ngambil apa?” Brian. Ya. Dia menoleh pada Jena.

“CIEEEEEE!!” Sorak Riski hingga membuat beberapa karyawan yang berada di dekat situ menoleh pada keduanya. “Mau ngambil apa, Sayang? Gitu, Yan!” Ah. Dasar. 

Jena berdehem sebentar. Seharusnya dia mempunyai kemampuan untuk menghilangkan seseorang dari pendengaran atau penglihatannya. Namun, kondisinya saat ini benar-benar tidak mendukung. “Gula,”jawab Jena dengan suara rendah. 

“Balas, Yan! ‘Ngapain pake gula, sih? Kamu ‘kan udah manis’ gituuuu …” Riski ini benar-benar tidak tahu sikon. Hingga Jena harus menahan malu ketika melihat karyawan lain ikut menggodanya.

“Nggak usah didengerin,”ucap Brian setelah meletakkan stoples gula. Lelaki itu hanya memesan makanan. Tapi, gerakannya mampu membuat sepasang mata Jena terus mengikuti. 

Rupanya pergerakan Jena itu disadari oleh siluman kodok bernama Riski. “Yan, jangan lama-lama! Ayang Lo liatin mulu nih.”

Jena hanya geleng-geleng melihat sikap Riski yang antusias atas kesalahpahamannya. Setelah tehnya jadi, Jena segera berlalu. Di ambang pintu dia mendengar Riski berdehem kencang.

Benar-benar sinting kali tuh orang.

Beberapa karyawan yang tadi menggoda Jena sempat berpapasan di koridor. Mereka senyam-senyum tidak jelas sambil berbisik-bisik. Ah, sial. Jena harus segera sampai di ruangannya dengan cepat.

Oke. Kali ini Jena selamat. Dia memasuki partisinya dengan baik. Duduk di balik kubikelnya. Menyesap teh hangatnya sebagai pembuka pekerjaannya yang menumpuk. 

Pikiran Jena baru saja fokus pada pekerjaannya. Matanya masih menatap monitor laptopnya. Tapi, entah mengapa, pikirannya bukan di situ. Berbelok pada sang duda. Iya. Duda keren itu. Siapa lagi kalau bukan Brian?

Dari ceritanya semalam, Jena mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu tidak bersalah. Dia mengambil keputusan yang tepat untuk mengakhiri hubungan dengan sang mantan karena memang posisinya yang kalah. 

Dia menuntut haknya sebagai seorang suami. Dia ingin menjadi dominan juga. Tapi, perempuan yang tidak dikenali Jena itu tidak mengerti.

Berbanding terbalik dengan hubungan Aran dan Jena dulu. Jena memposisikan diri sebagai perempuan yang selalu membutuhkan Aran. Walaupun terkadang dia bisa melakukannya sendiri. Tapi, ketika mengharapkan seorang lelaki melakukan sesuatu itu begitu menyenangkan.

Jena heran sendiri. Kok bisa ada perempuan model begitu?

“Cieee … ngelamun apa, sih, Bu?” Ah. Sial. Godaan selalu datang di waktu yang tidak tepat. Jena menoleh singkat. Meraih kursi di samping yang masih kosong untuk Mbak Nurul duduki. “Wah. Makasih. Eh—atau jangan-jangan Lo lakuin ini karena semalam gue ngambil tindakan yang benar? Iya, kan?” 

“Astaga, Mbak. Apa yang Lo lihat semalam tuh ngga ada apa-apanya!”balas Jena. Dia harus membela diri sebelum omongan itu makin melebar.

Mbak Nurul terkejut. Wajahnya mendekat pada Jena yang keningnya sudah mengerut. “Serius?! Berarti yang Lo lakuin sama Brian lebih dari itu?!” Ya ampun! Suaranya kencang sekali. Sampai pandangan beberapa karyawan yang sedang bekerja ikut menoleh. 

Rasanya Jena ingin segera hilang ditelan bumi. Atau mungkin dia berharap tiba-tiba diculik. Tapi, tidak. Jena hanya memijiti keningnya yang tiba-tiba sakit. “Mbak. Maksud gue bukan gitu.”

“Terus? Jangan bilang kalau kalian lebih parah lagi?! Omaygat!!!” Teriakan histeris itu tambah membuat pening kepala Jena. Dia langsung mengambil kertas dan meremasnya. Setelahnya, dia menyumpal mulut Mbak Nurul yang setengah terbuka itu. “Ih! Jena!!”protes Mbak Nurul.

“Dengerin gue, Mbak. Maksud gue, apa yang Lo lihat semalam itu cuma salah paham. Gue sama Brian itu nggak ada apa-apa.” Jelas? Harusnya Mbak Nurul paham. 

Tapi, matanya mendelik, “Halah. Nggak ada apa-apa, tapi berduaan di kantor? Lo kira gue anak TK yang gampang dibodohi?”

Di tengah-tengah panasnya hawa di kubikel Jena. Aran datang dengan pandangan jenuh. Tangannya dilipat di atas kubikel. “Je? Gue mau ngomong.” 

Tambah sakit lagi kepala Jena. Kalau Aran datang cuma untuk menyudutkan Jena, lebih baik dia enyah saja. Sebelum Jena benar-benar melakukan hal yang buruk, mencekiknya misalnya. Namun, “Apa?”

Mbak Nurul menggebrak meja. Dia lantas berbicara dengan Aran, “Gue minta pendapat Lo, Ran.” Tampak antusias sekali. 

Mata Aran tertuju pada Mbak Nurul. Sesekali melirik Jena yang menoleh pada Mbak Nurul. “Apa, Mbak? Gue bisa kok diandalkan dalam hal itu.”

Muak sekali telinga Jena. Sayangnya telinganya tidak bisa memuntahkan cairan busuk di muka Aran. Namun, satu hal penuh kecurigaan dia layangkan pada Mbak Nurul. Jena ikut menyimak.

“Menurut Lo, cewek sama cowok berduaan di kantor, tengah malam, itu punya hubungan atau enggak?” Mata Mbak Nurul berbinar-binar saat embusan nafas Jena terdengar. Benar-benar membuat energi Jena habis.

Tentu saja Aran tidak tahu-menahu soal itu. Jadi, “Ya, pastilah. Mana mungkin mereka berduaan tanpa status. Udah jelas itu mah.” Aran! 

Mbak Nurul bersorak kegirangan. Sedangkan, Jena sudah menjatuhkan kepalanya di atas desk. Dia benar-benar muak dengan semuanya.

“Tuh, kan! Tapi, Jena nggak mau tuh ngakuin. Gimana, dong?”timpal Mbak Nurul.

“Ngakuin apa?” Aran pasti makin kesal kalau dia tahu.

“Iya! Jadi, semalam tuh gue nemuin dia sama Brian berduaan! Di sini, Ran! Dan Lo tahu, gongnya tuh Jena meluk si Duren itu!”cicit Mbak Nurul.

Jena segera mengangkat kepalanya. “Astaga, Mbak! Gue nggak meluk! Mata Lo itu. Astaga!” Jena bingung. Dia frustasi sekali. 

Namun, saat melihat pada Aran. Wajah Aran tampak merah. Yang Jena tahu, kalau wajahnya merah itu pertanda lelaki itu sedang marah.

Apa Aran sedang cemburu?

Jena tidak berbicara apapun setelah melihat Aran berjalan pergi. Loh? Bukannya dia mau mengatakan sesuatu?

Mbak Nurul tersenyum. Dia melipat tangannya di atas desk. “Gue sebenarnya sengaja doang.” Mbak Nurul bisa melihat dengan ujung matanya bahwa Jena menoleh. “Pengen lihat reaksi Aran. Enak banget dia mutusin Lo, terus mau deket-deket lagi,”celetuknya sebelum berlalu.

Jadwal meeting Jena begitu padat, hingga pekerjaannya harus ditunda beberapa waktu. Hal itu membuat dia harus pulang di jam sebelas malam.

Jena pikir, kedua orang tuanya sudah tertidur. Ternyata belum. Keduanya sedang duduk berjarak satu meja makan berbentuk persegi. Jena mendekat setelah melepas flatshoes nya.

“Pagi, Bu. Pagi, Yah,”sapanya. Menyalami kedua tangan mereka. Lalu, duduk di dekat ibunya. Jena meraih segelas air, meminumnya. “Tumben, belum tidur.”

“Je—” Ucapan Ayah harus terpotong karena ibunya menyela.

“Ibu sama Ayah sudah sepakat.” 

Kening Jena mengernyit. Dia meletakkan gelas dengan baik sebelum menoleh pada ibunya. “Sepakat apa?”

Ibu melirik ayahnya yang tampak putus asa. Keduanya seperti mengalami sesuatu yang buruk. Namun, Jena memilih untuk mendengar jawaban itu. “Sepakat untuk … menerima lamaran anak sahabat ayah. Namanya Viar—”

“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kisah Dian

    Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kisah Dian

    Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Jenoy dan Bibi

    Jena baru saja bangkit dari duduknya setelah mengerjakan ulang sebuah desain yang dipilih oleh Pak Mungga. Dia meraih beberapa berkas yang akan disimpan di ruang arsip. Berkas-berkas itu dia kumpulkan dan didekap erat saat melewati beberapa kubikel.“Je, mau ke ruang arsip, ya?”tanya Mbak Nurul. Setelah mendapat anggukan, Mbak Nurul mengangsurkan sebuah map berisi berkas padanya. Dengan cengiran khasnya, “Titip, ya … Sekalian gitu …”Jena meraihnya dengan senyuman tipis. Setelahnya, dia berjalan keluar dari WS. Kaki jenjangnya dengan cepat melangkah melewati beberapa divisi dan sampai akhirnya dia berpapasan dengan Iksan di koridor.Wajah tampan itu banyak bekas membiru. Terutama bagian pelipis dan di garis rahangnya. Jena memelankan langkahnya dengan bibir yang digigit kencang. “Maaf, ya …”Iksan tersenyum, namun kemudian meringis kesakitan sembari memegang pelipisnya. “Nggak apa-apa,”ucapnya saat melihat perempuan itu panik. “Oh iya, bingkisannya udah aku terima. Kamu harusnya nggak

  • DIKEJAR DUDA KEREN   BI?

    Pagi-pagi sekali dia sudah sampai di kantor. Di tangannya terdapat sebuah bingkisan yang telah dipesannya dari toko online. Rencananya, dia akan mampir sebentar ke divisi Humas dan memberikan kado itu di atas sebuah meja. Kebetulan si empunya belum datang, jadi bukan kah itu sebuah keberuntungan?Dia meletakkan bingkisan itu di sebelah komputer. Menatanya dengan baik, lalu menyapa seseorang di seberang kubikel itu. Setelahnya, dia keluar dari sana.Baru saja dia keluar dari pintu divisi humas, sosok yang dia kenal sedang berdiri menyamping sambil menyandarkan sisi kanan tubuhnya di dinding. Lelaki itu melirik arlojinya sebentar sebelum akhirnya bersidekap. “Wow. Pagi sekali udah main di divisi lain …” Entah itu sebuah cibiran atau mungkin lelaki itu sengaja menyinggungnya. Jena melepaskan nafas kasar. “Aku mau minta maaf sama dia.”Brian memberikan tatap tidak pedulinya. Kepalanya mengangguk dengan tatap tidak acuh. “Sebuah kalimat yang sama sekali belum pernah kamu ucapkan buat aku

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Tiba-tiba Datang

    Iksan berdehem sesaat, menghilangkan gugupnya yang sedari tadi menimpanya. “Kamu tau nggak, sih. Pak Mungga berkali-kali nyebut nama kamu atas kelancaran produk baru ini.”“Oh ya?” Jena menoleh dengan senyum yang tertahan. “Bukannya harusnya Mbak Nurul, ya?”“Kata Pak Mungga, kamu sama Mbak Nurul itu paket komplit. Pekerjaannya selalu bisa diandalkan, apalagi soal kerja sama dengan PT. Eier.” Iksan menghembuskan nafasnya. Lalu, “Kamu nggak seburuk itu kok. Kamu nggak di bawah siapa-siapa. Jangan terlalu insecure sama kemampuan kamu sendiri.”Jena tersenyum. Manis sekali. “Makasih. Makasih banget.” Dia sampai membungkukkan badannya dengan antusias.Iksan menanggapi kekonyolan itu dengan membungkukkan badannya juga. Setelahnya, keduanya tertawa bersama.Perbincangan hangat itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka melihat mobil Pak Ajri sudah keluar dan melaju jauh. Itu pertanda bahwa sudah tidak ada siapapun di kantor.Jadi, kini keduanya mulai melangkah pergi. Berjalan bersisian sam

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Perbincangan Baru

    Iksan tersenyum sambil mengunyah daging BBQ nya. “Jalan, yuk!”Ajakan itu terdengar oleh kerumunan perempuan yang baru datang dengan piring mereka. Para perempuan itu terkejut sambil menatap Iksan dan Jena bergantian. “Eh! Nggak boleh gitu!” Dian bersuara yang membuat Mbak Nurul melotot, dan juga Iksan yang langsung memandangnya. “Kenapa? Lajang sama lajang mah bebas …”sahut Mbak Nurul. Seakan tidak suka dengan larangan Dian.“Tapi, kan Brian—”“Ssst! Kalau orang nggak ada di sini, nggak usah dibahas. Lagian Jena sama dia nggak ada hubungan apapun,”sela Mbak Nurul. Keduanya masih saling membalas argumen. Padahal Iksan sedari tadi hanya menatap Jena, dan dia tersenyum saat perempuan itu menoleh padanya. Jena melihat bagaimana lelaki itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Mas Iki untuk mengambil sepiring daging BBQ dan datang kembali. Duduk di tempatnya semula sambil menyerahkan piring itu ke arah Jena. Tidak ada yang memperhatikannya. Karena semua sibuk mendengarkan perseteruan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status