Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini.
Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?” Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik. “Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-benar dalam keputusan kamu!” “Terserah! Terserah apa pun yang kamu bilang. Aku tetap ingin putus!” Aran mengatakannya dengan lantang dan lugas. Setelahnya, dia pergi meninggalkan Jena yang termangu. Di bawah lampu temaram yang menyirami setengah tubuh Jena. Jena mengambil langkah lunglai. Dia berjalan perlahan menelusuri area taman. Dia bingung sendiri. Tidak mengerti dengan maksud Aran. Padahal yang dimaksud ayah Jena bukan perihal menikah. Tapi, mungkin saja Aran salah paham yang mengakibatkan hubungan keduanya harus kandas. Setelah bertahun-tahun. Jena dan Aran sudah menghabiskan waktu empat tahun. Namun, apa hasilnya? Kandas. Jena berdecak. Langkahnya tetap terayun keluar area taman. Kini, dia menjejaki trotoar. Sendirian. Dia benar-benar seperti perempuan yang kehilangan arah. Langkahnya terhenti. Sorotan lampu mobil yang membunyikan klakson di dekat Jena, membuatnya membalik tubuh. Dia masih berharap Aran datang, menjemputnya, membawanya pulang, dan mengatakan bahwa semuanya adalah kebohongan. Namun, “Jena? Kamu kok di sini?” Seseorang yang menyembulkan kepala dari kaca yang diturunkan itu membuat Jena terdiam. Dia pikir, seseorang yang membawa mobil itu Aran. Ternyata, bukan. “Jena?” Sekali lagi, lelaki itu kembali bersuara karena Jena masih terdiam. Namun, kali kedua sama saja. Jena masih memilih diam. Tatapnya tertuju pada lelaki berkemeja hitam itu. Dia masih bergeming. Lelaki itu memutuskan untuk keluar dan menghampiri Jena. Penampilannya benar-benar tidak berubah dari yang Jena lihat pagi tadi. “Je? Kamu baik-baik aja?”tanyanya, “Aku antar pulang. Yuk!” Tanpa menunggu jawaban Jena, lelaki itu menuntunnya. Membukakan pintu di samping jok pengemudi. Setelah memastikan Jena sudah duduk dengan nyaman, lelaki itu memutari mobil dan masuk ke jok pengemudi. “Aku … aku sebenarnya nggak apa-apa kok,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia hanya menatap lurus dengan pandangan yang mulai kabur. Lelaki itu mengangguk. Seketika hening saat lelaki itu mendekat ke arah Jena. Tubuhnya condong dan membuat Jena panik. Jena sontak menutup mata saat wajah lelaki itu berada di depan wajahnya. Hembusan nafas lelah itu bisa Jena rasakan. Begitu mengundang debar di dada. Jena bahkan menggenggam erat bajunya tanpa membuka mata. Click! “Udah. Aku udah pasangin seat belt kamu,”ucap lelaki itu saat menjauh. Dia bahkan tidak menyadari muka memerah milik Jena. Mata Jena terbuka lebar. Dia memastikan seat belt yang baru dipasangkan lelaki itu. Benar. Ya ampun! Apa yang diharapkan Jena? Apa Jena mengharapkan sebuah ciuman dari lelaki itu? “Makasih,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia yakin mukanya sudah merah merona. Tidak mungkin dia berbalik dengan perasaan canggung yang menyelimutinya. Jena berdehem. Dia menoleh sekilas, “Kamu baru pulang, ya?” “Iya. Tadi Pak Christ minta ditemani. Sekaligus aku harus temui konsultan dulu. Jadi … ya, begini aja.”jawabnya. Tatapnya lurus pada jalanan. Kini, mobil mereka sudah berada pada keramaian. “Kamu sendiri? Kok di jalan?” “Oh … aku—itu apa? Hmm … sama teman tadi.” Bohong. Jena sengaja agar kisah cintanya tidak terdengar menyedihkan. Dia bahkan menoleh sekilas saat lelaki itu mengerutkan kening. “Jadi? Kamu mau langsung pulang?” Astaga, Jena! Pertanyaan macam apa itu? Lihat? Lelaki itu tertawa pelan melihat tingkah absurd Jena. Dia sempat menggeleng, “Kamu nih lucu. Ya iyalah, langsung pulang. Kenapa memangnya?” Dia melirik sekilas, “Mau kamu kenalin ke orang tua kamu?” Jena mengibaskan tangannya, “Eh, enggak ya … entar orang tuaku pingsan kalau aku bawa pulang duda.” Sontak lelaki itu tertawa terbahak-bahak. “Nggak apa-apa dong. Duren nih bos. Senggol dong,”ucapnya bernada. Yang membuat tawa Jena meledak. Mobil mereka mulai memasuki area gang. Jena melirik lelaki itu sekilas. Iya, dia akui lelaki itu memiliki paras yang rupawan. Side profil yang dimilikinya membuat beberapa perempuan pasti memujanya. Rahang yang tampak kokoh itu, dipadukan dengan mata yang indah, lekuk hidung yang runcing, dan bibir tipis, serta alis tebalnya. Siapa yang akan menolak? Namun, untuk Jena? Tentu saja Jena akan menolak. Meski lelaki itu selalu berperilaku baik padanya. Lelaki itu berdehem. Sekilas melirik, lalu kembali menatap jalan setapak yang akan sampai pada area perumahan. “Untung aku masih ingat rumah kamu di mana.” Jena tersenyum tipis. Dia membuka mulut hendak bersuara. Namun, pemandangan di seberang jalan lebih menarik perhatiannya. Aran. Ya. Dia sedang berciuman dengan seorang perempuan yang Jena kenali. Seketika dunia terasa senyap. Mata Jena terus mengikuti keduanya meski mobil sudah melewati mereka. Jena termangu. Meratapi kebodohannya selama ini. Dia pikir, Aran tulus mencintainya. Namun, setulus apa dia sampai-sampai bisa mencium bibir dari seseorang yang Jena anggap sahabat? “Je?” Suara itu membuat lamunan Jena buyar. Tatap Jena berpendar. Ternyata mereka telah sampai. “Oh … udah sampai, ya?”gumamnya. Terlihat bodoh. Jena tidak memperdulikan sorot mata yang ditujukan lelaki itu. Dia memilih turun. Sesaat setelah menutup pintu mobil. Sebelum Jena mengucapkan kalimat terima kasih, sebuah suara bariton khas yang Jena kenali terdengar. “Jena? Baru pulang? Mana Aran?” Mulut Jena tergagap. Dia menatap ayahnya yang baru keluar rumah dan lelaki yang sekarang sedang di dalam mobil. “Aran … Aran lagi ada urusan, Yah.” Ayahnya manggut-manggut. Kepalanya bergerak mengintip seseorang yang di dalam mobil. Namun, belum sempat memperhatikannya dengan baik, lelaki itu turun. Dengan senyum khasnya, dia berjalan menghampiri Ayah Jena. Mengulurkan tangan. “Saya Brian, Om. Teman Jena.” Melirik sekilas perempuan yang jantungnya hampir copot itu. Ayah membalas uluran tangan Brian. Setelahnya, dia menatap Brian dan Jena bergantian. Keningnya mengkerut, “Teman?” Wajar ayahnya keheranan, karena yang ayahnya tahu Jena jarang bergaul dengan lelaki semenjak berpacaran dengan Aran. “Teman kantor,”jelas Jena. Suaranya bahkan hampir tidak kedengaran saking rendahnya. “Oh … teman kantor.” Ayah manggut-manggut sambil memerhatikan penampilan Brian. “Masuk dulu?” Brian mengangguk. Namun, Jena menggeleng. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika Brian masuk ke dalam. “Dia mau langsung pulang ke rumahnya kok, Yah.” Tatap Jena beralih pada Brian. “Iya, kan?” Meski ragu dan keheranan, Brian tetap mengangguk. “Mungkin lain kali, Om.” Satu kalimat yang membuat Jena menutup mata. Tidak! Seharusnya Brian tidak mengatakan hal itu. Ayah Jena mengangguk antusias. “Baik. Saya tunggu kedatangan kamu, ya?” Telunjuknya mengacung, lalu lelaki paruh baya itu bergegas masuk. Meninggalkan keduanya. Embusan nafas kasar terdengar dari Jena. Berkali-kali dia melepaskan nafas kasar. Mengundang rasa penasaran Brian. “Ada apa, sih?” “Kamu nggak seharusnya iyain dong. Nggak segampang itu!”protes Jena. Matanya melotot pada Brian. “Maksudnya? Emangnya kalau aku datang ke rumah kamu. Kita langsung bakal dinikahin?” Oh, Ya Tuhan! Bagaimana Jena akan menjelaskannya?Namun, di sela-sela lamunannya, perawat segera bertanya, “Bagaimana, Mbak? Sudah ditandatangani?”Jena menggeleng pelan. “Sus, emangnya nggak bisa dilakukan operasinya dulu? Saya janji bakal bayar semuanya, yang penting segera lakukan tindakan secepatnya.” Dia menggigit bibir bawahnya sambil meremas kuat berkas yang tengah digenggamnya saat beberapa orang di sana menatapnya iba.Perawat menghela nafasnya. “Maaf, Mbak. Kita hanya mengikuti prosedur.” Bahu Jena merosot, dia segera memberikan berkas itu kembali di atas meja. Lalu, melangkah pergi yang tujuannya pun dia tidak tahu. Kakinya berjalan di atas koridor panjang dengan lemas. Kemana lagi dia harus mencari uang tiga ratus juta itu? Pelupuk mata Jena kian memanas. Dia menutup wajahnya saat melewati beberapa orang. Dia tidak boleh menjual tangisnya. Sesusah apapun itu.Langkahnya telah sampai di sebuah kursi panjang dekat taman rumah sakit. Dia terduduk sambil menatap layar ponselnya. Siapakah yang bisa dia hubungi saat ini?Ibu.
Seseorang dengan jas putih andalannya, seorang dokter muda itu segera duduk di kursinya. “Dengan keluarga Pak Robi?”Jena segera bangkit dari tempatnya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter itu. “Iya, Dok. Saya anaknya.” Jena menoleh sebentar, menatap ayahnya yang tengah menahan sakit sambil memegangi lehernya. “Ayah saya sakit apa, Dok?”Dokter berdehem sebentar, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap Jena lurus. “Belum. Saya belum bisa memberikan jawaban pastinya, karena kami belum melakukan pengecekan secara keseluruhan. Namun …” Dokter membenarkan sebentar kacamatanya. “Kenapa, Dok?” Jena merasakan degup jantungnya semakin cepat. Apalagi, saat raut wajah dokter berubah.“Namun, dari riwayat batuk yang lama, benjolan di lehernya, kesusahan menelan, itu suatu gejala … tumor tenggorokan.”Deg!Jena menahan nafasnya. Mulutnya terbuka dengan mata yang terbelalak. Dia menoleh sebentar pada ayahnya, sebelum kembali menatap Dokter dengan
Jena mengangguk pelan. Dia mengerti sekarang. Jadi, Brian cemburu, kan? Yang artinya … lelaki itu masih mengejarnya seperti kemarin-kemarin, kan? Jena menahan senyum sambil mengangkat wajahnya tinggi. “Memangnya kenapa? Suka-suka ak—”Seharusnya Jena tidak menantang lelaki itu. Jena menyesalinya, tapi juga menikmatinya mungkin? Dia merutuki dirinya yang diam saja saat bibir itu melumat habis bibirnya. Dia memaki dirinya tatkala permen karetnya sudah direbut oleh lidah lelaki itu. Dia juga terdiam saja saat wajah itu sudah menjauh sambil mengunyah permen karet sisanya.“Sudah aku peringatkan, tapi kamu malah menantang. Jadi, terima akibatnya.” Perkataan itu beriringan dengan langkah Brian yang mulai berjalan mendekati pintu. Dia menghentikan langkahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. “Pulangnya aku anter, ya.” Bukan pertanyaan, melainkan ucapan yang tidak bisa ditawar. Jadi, Jena hanya menghembuskan nafas gusarnya. Namun, matanya melotot seketika saat daun pintu yang belum d
Dian. Menggerakkan kursinya hingga membentur kursi Jena. Dian tersentak kaget saat melihat Jena tersedak dan minuman jeruknya menumpahi kemeja bagian dada. “Ya ampun! Maafin gue, Je.”Jena meraih air mineral yang diberikan oleh seseorang di belakangnya. Setelah merasa tenggorokannya sudah membaik, Jena menoleh ke belakang. “Makasih, ya …” Dia tersenyum pada Azka yang membalas senyumnya.“Je, maafin gue, ya …” Dian menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah.Jena mengangguk sambil berdiri. “Nggak apa-apa. Gue bawa baju ganti kok.” Perkataannya itu bersamaan dengan langkahnya yang menjauh dan segera hilang dari balik pintu.Tangannya mengibas-ngibas sisa-sisa bulir jeruk yang melekat di bagian dada kemejanya. Saat berpapasan dengan karyawan laki-laki, Jena segera merapatkan kedua tangannya dan berjalan tergesa untuk segera masuk ke dalam toilet.Jena menghembuskan nafasnya tatkala telah berada di dalam toilet wanita. Langkahnya mendekat, menatap dirinya sendiri di cermin itu. Dia meng
Dia celingak-celinguk untuk mengetahui siapakah yang berjalan ke arah mereka sekarang, namun seseorang yang tengah berjalan itu belum nampak sama sekali.“Lepasin.” Jena berusaha melepaskan dirinya. Namun, Brian tetap menahan kedua pergelangan tangannya dengan erat.“Kasih aku kesempatan. Okey?”Jena melotot. “Bisa lepasin dulu, nggak?!” Dia kembali memberontak, namun tetap saja tenaganya tidak lebih besar dari Brian. “Brian.”“Kasih aku kesempatan. Baru aku lepasin.” Brian memasang wajah datarnya. Dia tidak peduli dengan seseorang yang kini langkahnya akan menemukan keduanya.Jena menggigit bibirnya kuat. “Okey! Aku kasih kesempatan.” Dan saat itu, saat seorang perempuan terlihat berjalan ke arah mereka, tangan Jena sudah terlepas.Dian, tersenyum aneh sambil mengerutkan keningnya memandangi Jena dan Brian yang menatapnya aneh. “Eh, kalian belum ke ruang rapat? Jadwalnya tinggal lima menit, lho.” Perempuan itu melanjutkan jalannya saat Jena menjawab sebentar lagi.Tatkala Dian sudah
Namun, Brian tidak mempedulikan itu. Di saat semua orang tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing. Dia justru melihat bagaimana dress yang tengah dipakai Jena itu begitu mempesona. Lekuk-lekuk tubuhnya. Brian tersenyum tipis sambil memainkan ujung rambut Jena. Enak kali, ya, kalau dijambak?Riski berdehem sesaat ketika melihat aksi Brian. Membuat semua karyawan yang ada di sana berbalik padanya. “Sori. Tenggorokan gue sakit.” Matanya melirik tajam pada Brian.Brian menahan tawa. Saat semua orang kembali sibuk dengan urusan mereka, Brian melihat kepala yang setara dengan dagunya. Dia mendekat. Meletakkan dagunya di atas kepala itu. Tidak. Dia tidak menyentuh kepala itu. Seolah ada pembatas antara dagunya dan kepala Jena. Namun, bisa saja Jena merasakannya, kan? Sehingga saat perempuan itu merasakan ada sesuatu di atas kepalanya, dia berbalik sambil menatap tajam Brian. Brian yakin, kalau tidak ada karyawan lain di sini, dia pasti sudah dicakar oleh Mak Lampir cantik di hadapnya ini