Share

HARI INI

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-09 08:24:25

“Kita ke mana, Ve?” tanya Farhan saat kami sedang di perjalanan. 

“Ke rumah kamu saja, Mas! Aku mau ketemu sama Linda,” jawabku. 

“Linda lagi pergi, Ve,” terang Farhan. 

“Ya sudah terserah Mas saja, yang penting pergi dari rumah,” jawabku. 

Aku memejam sejenak sambil memijit pelipis. Kepala rasanya mau pecah memikirkan keluargaku yang kacau. Setiap orang yang waras pasti ingin keluarganya damai tidak terkecuali dengan aku. 

“Kamu kok kayak stres gitu, Ve? Apa Bapakmu minta uang lagi?” tanya Mas Farhan. 

“Mending kalau minta, aku masih bisa menolak. Ini motorku yang dijual buat resepsi Ela. Apa enggak kebangetan?” keluhku. 

Sebenarnya tak enak hati menceritakan aib keluarga pada Mas Farhan, tapi mau bagaimana lagi? Sekarang aku butuh teman curhat untuk mengurangi beban pikiran. 

“Ambil hikmah saja, Ve!” ujar Mas Farhan. 

Aku mengalihkan pandangan, menatap sekilas pada Farhan lalu kembali menatap lurus ke depan. “Hikmah apa, Mas? Yang ada aku yang harus mengalah terus!” 

“Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, Ve. Coba kamu bayangkan kalau kamu jadi nikah sama Rizal. Apa enggak susah punya suami kayak begitu? Buat nikah saja mesti jual motor kamu, lalu bagaimana kalau kamu punya anak? Siapa yang akan menafkahi?” ungkap Mas Farhan. 

Tercenung, aku meresapi ucapan Mas Farhan. Jika dipikir lebih matang ada benarnya juga. Namun, biar bagaimanapun aku tetap kecewa dengan cara mereka memperlakukan aku. 

“Yang aku bingung, kenapa Bapak setega itu sama aku. Dia sepertinya lebih menyayangi Ela padahal kami sama-sama anak,” keluhku. 

“Jangan-jangan kamu bukan anak kandung, Ve!” celetuk Mas Farhan. 

Tersentak kaget, aku memikirkan perkataannya. Jika ditilik ke belakang, perlakuan Bapak memang seperti ayah tiri. Sejak kecil aku dituntut selalu mengalah dengan Ela dalam hal apa pun. Bahkan aku dipaksa membiayai sekolah dan hidup keluarga. 

“Enggak mungkin, Mas! Di akta kelahiranku saja tertulis nama Bapak dan Ibu,” elakku. 

“Lalu kenapa Bapakmu pilih kasih begitu?” tanya Mas Farhan. 

“Mana kutahu!” Aku mengembuskan nafas berat saking bingungnya dengan jalan hidupku sendiri. 

Setelah itu hening menyelimuti kami. Aku memilih diam sambil sesekali mendesah kecewa. Rasanya ini terlalu berat untukku. 

Mobil yang kami kendarai berhenti di pelataran parkir sebuah kafe. Mas Farhan turun, memutar lalu membukakan pintu di sebelahku. Aku menurut saat Mas Farhan mengajakku masuk ke dalam. 

“Pesan apa, Ve?” tanya Mas Farhan setelah kami memilih tempat duduk. 

“Terserah Mas saja!” jawabku. 

“Ok!” Mas Farhan mulai membuka buku menu lalu segera memesannya. 

Ada sedikit canggung karena ini pertama kalinya duduk berdua dengannya. Kami memang sudah lama saling kenal, tapi tak pernah terlibat obrolan berdua. Selama ini kami hanya ketemu kalau pas aku main sama Linda. 

Tak lama kemudian, petugas meletakkan dua gelas jus alpukat dan sepiring kentang goreng di depan kami. Entah kebetulan atau memang sudah tahu, minuman yang dipesan Mas Farhan memang favoritku. 

“Kamu di rumah lama enggak, Ve?” tanya Mas Farhan memulai obrolan. 

“Enggak tahu, Mas! Tapi memang aku sudah resign karena rencananya pulang mau menikah,” jawabku sembari mengaduk-aduk minuman yang tinggal separuh. 

“Terus, setelah semua berantakan, apa rencanamu?” tanyanya lagi. 

“Entahlah! Mungkin satu atau dua hari lagi akan balik ke kota cari kerja lagi. Di rumah rasanya seperti di neraka,” keluhku. 

“Jangan, Ve!” seru Mas Farhan. 

Aku menyipitkan mata, heran dengan gelagat Mas Farhan. Kenapa dia melarangku merantau lagi?

“kenapa?” 

“Kamu mau terus jadi sapi perah keluargamu? Lagian kalau kamu pergi, bukan tak mungkin di sana kamu akan jatuh cinta lagi,” jawab Mas Farhan. 

“Terus aku mesti jadi pengangguran, diam di rumah melihat kebahagiaan mereka yang telah mengkhianatiku? Sepertinya aku tak sanggup!” 

“Kamu enggak perlu tinggal bersama mereka, Ve! Cari kos atau rumah kontrakkan. Jangan sampai pergi kalau tidak ingin adikmu merasa menang. Yang terpenting kamu harus bertahan di sini.  Tunjukkan kalau kamu bisa bahagia!” 

Aku diam. Yang dikatakan Mas Farhan benar, tapi masalahnya berapa lama aku mampu bertahan sedangkan tabunganku tak lebih dari lima puluh juta. Selain itu, mencari pekerjaan di sini rasanya sulit sekali. 

“enggak bisa, Mas! Tabunganku akan cepat habis kalau jadi pengangguran. Belum lagi harus mengeluarkan uang buat bayas kos,” sahutku. 

“Kalau begitu, kita nikah saja. Kamu tinggal di rumahku jadi tak perlu bayar. Soal pekerjaan, kita bisa buka usaha. Kafe seperti ini misalnya. Aku yakin kamu bisa mengelola!” Mas Farhan mengedarkan pandangan ke semua sudut ruangan. 

Aku tersentak kaget sampai tersedak. Buru-buru aku menyeruput sisa minuman sampai tandas. Bukan masalah usaha atau tempat tinggal yang membuatku terkejut,  tapi kata nikah itu. 

“Nikah?” 

“Iya, kita menikah saja!” Mas Farhan memasang wajah serius. Sepertinya dia tak main-main dengan ucapannya. 

“Pernikahan itu sakral, Mas! Jadi tak bisa buat coba-coba. Pernikahan tanpa didasari cinta akan mudah kandas!” jelasku. 

“Siapa bilang aku tak cinta? Selama ini aku tak mencoba membunuh rasa cinta itu. Hanya saja aku ikut bahagia melihatmu bersama Rizal,” kilah Mas Farhan. 

Cinta? Jadi selama ini Mas Farhan juga mencintaiku? Ah...! Kenapa aku enggak pernah sadar akan hal itu?

“Bagaimana, Ve? Apa kamu mau menikah denganku?” 

Mas Farhan meraih jemariku lalu menggenggam erat. Kurasakan ada debaran aneh di dalam sana. Apakah aku mulai cinta padanya? Secepat inikah? 

“Tolong beri waktu aku berpikir, Mas!” harapku tanpa berusaha melepas genggamannya.

Setelah itu, kami lanjut mengobrol. Saling bertukar pikiran mengenai masa depan. Sepertinya ini akan indah. 

Tanpa terasa makanan di depan kami telah habis. Kami juga mulai ini. Mas Farhan memanggil petugas untuk membayar makanan. Buru-buru aku mengeluarkan dompet berniat membayar. 

“Kamu mau ngapain, Ve? Kok keluarin dompet? tanya Mas Farhan bingung.

“Ya mau bayar, Mas?” jawabku. 

“Astaga! Aku ini laki-laki, Ve. Biar aku yang bayar. Masa iya mau ngandalin kamu! Malu dong!” tegas Mas Farhan. 

Kedengarannya gentle. Berbeda jauh dengan Rizal yang selama ini setiap makan pasti aku yang bayar. 

Seusai dari kafe, kami lanjut jalan-jalan. Berkendara sekedar menghabiskan waktu berdua. Sampai akhirnya Mas Farhan mengantarku menjelang senja. 

Tersenyum, Aku melambaikan tangan menatap mobil Mas Farhan semakin jauh meninggalkan rumah. Saat aku berbalik, rupanya Rizal sudah berdiri di depan teras memasang wajah masam. 

“Dari mana saja kamu, Ve? Seharian keluyuran enggak jelas!” tanya Rizal setengah membentak. 

Sedikit kaget, aku mengernyitkan kening. 

“Bukan urusanmu!” sahutku ketus. 

“Aku ini peduli sama kamu! Farhan itu bukan laki-laki baik. Palingan juga dia mau poroti uang kamu,” tuduh Rizal. 

Aku menatap marah pada laki-laki yang kini menjadi adik iparku. Entah kenapa aku tersinggung, tak terima Mas Farhan dikatai seperti itu. 

“Apa enggak kebalik, Zal? Bukannya selama ini kamu dan keluargaku yang memanfaatkan kebaikanku?” Aku mencebikkan bibir, tersenyum mengejek, “ dari pada mikirin urusanku, mending kamu mikir kerja saja! Cari uang buat nafkahi keluarga ini. Karena mulai sekarang aku tak akan memberi uang pada orang-orang yang telah mengkhianatiku!” 

Rizal terperangah. Mungkin dia tak menyangka aku akan setegas ini. Atau dia kaget karena telah menyadari kebodohanku selama ini. 

Sebelum Rizal menyahut, aku terlebih dahulu masuk ke dalam kemudian mengunci pintu setelah ada di kamar. 

**** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Suman
next ...keren alur ceritanyq
goodnovel comment avatar
Ayu Raa
next kak. keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   bahagia

    ****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   minta izin

    “Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   HANA KEMBALI

    Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   NASIHAT

    Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   mengusir benalu

    *** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   Bayiku .... tidak...

    Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   DARAH

    Mas Farhan kembali menolak, tapi aku terus memaksa. Bahkan, aku sendiri yang menghidupkan mesin mobil meski pada akhirnya Mas Farhan yang mengemudi. Tak butuh waktu lama kami telah sampai di halaman rumah Ibu. Gegas aku turun lalu berteriak menyebut nama adik iparku. “Rizal! Keluar kau!” teriakku kencang. Sudah tidak terkontrol lagi emosi di kepala. Gara-gara Rizal yang merayu, rumah tanggaku terancam hancur. Tanpa permisi aku langsung membuka pintu. Rupanya Ela sudah ada di depan pintu. “Astaghfirulloh, Mbak! Bikin kaget saja. Ada apa?” tanya Ela. “Mana suamimu?” “Enggak tahu, Mbak, memang kenapa?” tanya Ela dengan wajah heran. “Gara-gara dia Mas Farhan jadi marah denganku,” ucapku sembari menoleh pada suami yang telah berdiri di sebelahku. “Ngomong yang jelas dong, Mbak! Kita bicara sambil duduk,” ajaknya. Tepat saat hendak berpindah ke kursi ruang tamu, dari arah dalam Ibu datang mendekat. Dia tampak bingung melihatku yang tanpa senyum. “Ada apa, Ve? Kamu kenapa?” tanya

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   PERTENGKARAN

    “Tak ada salahnya mereka ikut bicara, Ve! Toh maksudnya baik,” ucap Mas Farhan dengan nada suara terkesan menyudutkan. Aku terperangah mendengar kalimat suamiku. Sama sekali tak menduga dia akan termakan omong kosong itu. Sementara Hana dan ibunya tersenyum penuh kemenangan. Seharusnya Mas Farhan lebih mempercayaiku yang notabene istrinya, tapi kenapa malah lebih mendengar bualan Hana? “Baik dari mananya, Mas? Yang mereka katakan itu fitnah! Mereka ingin menghancurkan kita!” elakku sembari mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Di sini aku mulai yakin Hana dan ibunya sengaja menghasut Mas Farhan. Mungkin karena sakit hati tak mendapat warisan dari Bu Lili. “Fitnah bagaimana? Bukankah kamu mengakui Rizal kemari dan kalian saling berpegangan tangan?” cecar Mas Farhan. “Iya! Tapi dia yang meraih tanganku dan kutepis. Bukan berpegangan mesra seperti yang mereka katakan!” Sudahlah, Ve! Aku capek!” ketus Mas Farhan. Lalu, dia bangkit berdiri dan beranjak masuk. Aku benar-bena

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   fitnah

    *** Aku membuka mata saat sayup terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Rupanya tadi aku ketiduran. Buru-buru aku bangkit berdiri lalu beranjak ke luar. Benar dugaanku. Ternyata Bapak dan Mas Farhan telah kembali. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Keduanya mendekat ke arahku. Lalu, aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangan mereka. Ini salah satu caraku menunjukkan bakti, baik pada orang tua ataupun suami. “Mau aku bikinkan kopi, Mas?” tawarku. “Boleh.” Mas Farhan melempar senyum. “Bapak mau juga?” “Enggak usah. Bapak mau istirahat dulu,” Kemudian, kami sama-sama masuk ke dalam rumah. Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu, Bapak langsung beranjak ke kamar, sedangkan aku ke dapur. Tak lama, aku telah kembali dengan secangkir kopi di tangan. Kuletakkan di meja depan Mas Farhan lalu aku duduk di sebelahnya. “Ini, Mas!” ucapku.Sementara Mas Farhan menyeruput kopi, aku sibuk memandangi wajahnya. Bulir keringat yang masih menempel di pelipis membuat

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status