Share

RIZAL MARAH

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2022-11-17 15:53:43

Aku terduduk lemas di lantai teras, tak menyangka Bapak setega itu. Dulu sebelum aku bekerja, Bapak sering memarahiku tanpa alasan yang jelas. Setiap hari aku dipaksa mengalah dengan Ela, seolah dia tak sayang padaku. 

Setelah aku bekerja dan rutin mengirim uang, Bapak menjadi baik. Dia sangat perhatian padaku bahkan sering sekali menelepon sekedar menanyakan kabar. Semula aku pikir Bapak sudah berubah, tapi nyatanya dia hanya butuh uangku saja!

“Kamu kenapa, Ve? Kok lesu begitu?” tanya Ibu yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dariku. 

Lesu, aku menengadahkan wajah, menatap perempuan yang telah melahirkanku. “Motorku dijual Bapak, Bu!” 

“Kamu serius?” Ibu menatap penuh selidik seolah meragukan omonganku.

“Tanya saja sama Bapak,” jawabku. 

Ibu berbalik masuk ke rumah sementara aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang terselempang di pundak. Mencari kontak dengan nama Linda lalu segera menghubungi dan memintanya menjemputku ke rumah. 

Tak berselang lama, Ibu kembali datang, lalu ikut duduk di sebelahku. Dia mengelus pucuk kepalaku seolah iba dengan keadaan ini. 

“Sabar ya, Ve. Bapak menjual motor kamu mau buat biaya resepsi Ela. Nanti juga bakalan diganti sama Rizal kok,” ucap Ibu. 

“Ganti pakai apa, Bu?” tanyaku tanpa menoleh. 

“Ya pakai uang lah..., kalau uang proyek Rizal sudah cair, langsung diganti kok. Bahkan Bapak juga bakalan dibelikan motor,” jelas Ibu. 

Miris. Bapak dan Ibu hanya memikirkan uang tanpa peduli perasaanku. Pun dengan Ela yang mau saja dinikahkan dengan calon suami kakaknya. 

“Setahuku Rizal pengangguran, Bu,” jawabku enteng. 

“Hush...! Jangan sok tahu kamu. Kami semua sangat dekat dengan Rizal, jadi sudah tahu semuanya. Rizal itu orang kaya yang enggak suka pamer kekayaan,” protes Ibu. 

Diam. Aku tak mau berdebat dengan Ibu. Sedekat-dekatnya dia, sudah tentu aku lebih dekat. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal kehidupan Rizal.

Sebuah mobil warna hitam tiba-tiba berhenti di halaman rumah. Aku dan Ibu saling tatap, seolah bertanya siapa gerangan yang datang. 

Farhan-lelaki yang dulu pernah kucintai turun dari mobil, tersenyum ramah mendekat ke arah kami.

“Siapa, Ve?” tanya Ibu setengah berbisik. 

“Farhan,” jawabku singkat sambil terus menatap ke arah laki-laki itu. 

Jika diperhatikan, dia masih sama seperti dulu. Hanya saja sekarang terlihat lebih dewasa. Senyum itu.... Ah! Senyum itu yang dulu pernah membuatku salah tingkah. 

“Assalamu alaikum, Bu, Ve,” ucap Farhan mengangguk sopan. 

“Waalaikum salam,” jawabku grogi. 

Di luar dugaan, dia meraih tangan Ibu lalu menciumnya. Ibu saja sampai kaget melihat sikap Farhan yang sopan. Berbanding terbalik dengan Rizal yang tak pernah seperti itu. 

“Berangkat sekarang, Ve?” tanya Farhan. 

Aku melongo mendengar pertanyaan Farhan. Perasaan aku enggak ada janji pergi sama dia kenapa mengajak berangkat? 

“Berangkat ke mana?” tanyaku bingung. 

“Loh..., bukannya tadi Linda bilang kamu minta jemput ngajak jalan?” tanyanya Balik. 

“Astaga..., Linda! Keterlaluan! Aku minta dia jemput aku kenapa malah Farhan yang disuruh kesini! Pakai bilang aku ngajak jalan lagi!” Aku mengumpat dalam hati. 

“Jadi enggak?” tanyanya lagi. 

“I-iya,” jawabku tergagap. 

“Bu, aku minta ijin mau jalan sama Vera. Boleh kan?” pamit Farhan pada Ibu. 

Belum sempat Ibu menjawab, dari arah dalam Rizal mendekat ke arah kami sambil menatap pada Farhan. 

“Siapa, Bu?” tanya Rizal. 

“Farhan, calon suaminya Vera.” Farhan memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada Rizal. 

“Benar begitu, Ve?” cecar Rizal tanpa memedulikan uluran tangan Farhan. 

“Iya.” 

Entah dapat ide dari mana tiba-tiba aku bergelayut manja sembari menggamit tangan Farhan. 

Rizal terlihat tak suka dengan Farhan, tapi dia tak berbuat apa-apa. Mungkin takut karena ada Ibu di  antara kami. 

“Sepertinya dia bukan laki-laki baik, Ve! Mending cari yang lain saja! Aku tak rela kamu nikah sama dia,” ungkap Rizal. 

Kaget, aku terkesiap dengan ucapan Rizal. Sepertinya dia sedang meracuni pikiran Ibu. Dasar tak tahu malu! Apa urusannya dia mengatur hidupku? 

“Maaf, Zal! Tolong jangan ikut campur urusan pribadiku,” ucapku tegas, “ dan satu lagi! Kamu tak sopan menyebut namaku tanpa embel-embel. Mulai sekarang kamu panggil aku Mbak karena kamu adik iparku,” 

Dari raut wajahnya, aku bisa melihat Rizal tersinggung oleh kalimatku. Masa bodo! Aku tak peduli. 

“Iya, Zal. Kamu kan sudah menikah dengan Ela, jadi kamu jangan panggil nama saja,” timpal Ibu yang sedari tadi diam menyimak. 

“Oh... jadi ini yang namanya Rizal. Kirain gantengnya kayak Brad Pitt sampai kamu nangis-nangis pas tahu dia nikah sama adikmu. Kalau model kayak gitu  di TPA banyak.” 

Farhan membandingkan Rizal dengan sampah. Sebenarnya ini berlebihan, tapi karena melihat muka Rizal yang mirip udang rebus, aku memilih diam saja. 

“Jangan sembarangan kamu!” bentak Rizal tak terima. 

Wajar sih. Aku saja kalau jadi Rizal akan tersinggung jika dikatai seperti itu. 

“Sudah, Zal! Dia benar kok. Kamu kan sudah nikah sama Ela, jadi jangan ikut campur urusan Vera,” lerai Ibu. 

Rizal tak berkutik, tapi aku tahu dia masih tak terima. Atau mungkin dia cemburu karena ada laki-laki lain bersamaku? Dasar edan! Sudah nikah sama adikku masih mau ikut campur urusanku. 

“Ya sudah, Bu. Kami jalan dulu,” pamit Farhan lalu menarik lenganku mengajak pergi. 

“Iya, hati-hati di jalan ya,” pesan Ibu. 

Kami pun segera berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari teras, tapi baru lima langkah berjalan, Farhan berhenti lalu berbalik menghadap Ibu. 

“Oh iya, Bu..., besok kalau aku nikah sama Vera, semua biaya resepsi aku yang tanggung,”  ucap Farhan seperti menyindir Rizal. 

Sebelum ibu sempat menyahut, aku langsung menarik Farhan, mengajaknya pergi. Nanti kalau Rizal tersinggung lalu mereka berantem kan repot. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   bahagia

    ****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   minta izin

    “Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   HANA KEMBALI

    Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   NASIHAT

    Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   mengusir benalu

    *** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   Bayiku .... tidak...

    Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   DARAH

    Mas Farhan kembali menolak, tapi aku terus memaksa. Bahkan, aku sendiri yang menghidupkan mesin mobil meski pada akhirnya Mas Farhan yang mengemudi. Tak butuh waktu lama kami telah sampai di halaman rumah Ibu. Gegas aku turun lalu berteriak menyebut nama adik iparku. “Rizal! Keluar kau!” teriakku kencang. Sudah tidak terkontrol lagi emosi di kepala. Gara-gara Rizal yang merayu, rumah tanggaku terancam hancur. Tanpa permisi aku langsung membuka pintu. Rupanya Ela sudah ada di depan pintu. “Astaghfirulloh, Mbak! Bikin kaget saja. Ada apa?” tanya Ela. “Mana suamimu?” “Enggak tahu, Mbak, memang kenapa?” tanya Ela dengan wajah heran. “Gara-gara dia Mas Farhan jadi marah denganku,” ucapku sembari menoleh pada suami yang telah berdiri di sebelahku. “Ngomong yang jelas dong, Mbak! Kita bicara sambil duduk,” ajaknya. Tepat saat hendak berpindah ke kursi ruang tamu, dari arah dalam Ibu datang mendekat. Dia tampak bingung melihatku yang tanpa senyum. “Ada apa, Ve? Kamu kenapa?” tanya

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   PERTENGKARAN

    “Tak ada salahnya mereka ikut bicara, Ve! Toh maksudnya baik,” ucap Mas Farhan dengan nada suara terkesan menyudutkan. Aku terperangah mendengar kalimat suamiku. Sama sekali tak menduga dia akan termakan omong kosong itu. Sementara Hana dan ibunya tersenyum penuh kemenangan. Seharusnya Mas Farhan lebih mempercayaiku yang notabene istrinya, tapi kenapa malah lebih mendengar bualan Hana? “Baik dari mananya, Mas? Yang mereka katakan itu fitnah! Mereka ingin menghancurkan kita!” elakku sembari mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Di sini aku mulai yakin Hana dan ibunya sengaja menghasut Mas Farhan. Mungkin karena sakit hati tak mendapat warisan dari Bu Lili. “Fitnah bagaimana? Bukankah kamu mengakui Rizal kemari dan kalian saling berpegangan tangan?” cecar Mas Farhan. “Iya! Tapi dia yang meraih tanganku dan kutepis. Bukan berpegangan mesra seperti yang mereka katakan!” Sudahlah, Ve! Aku capek!” ketus Mas Farhan. Lalu, dia bangkit berdiri dan beranjak masuk. Aku benar-bena

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   fitnah

    *** Aku membuka mata saat sayup terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Rupanya tadi aku ketiduran. Buru-buru aku bangkit berdiri lalu beranjak ke luar. Benar dugaanku. Ternyata Bapak dan Mas Farhan telah kembali. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Keduanya mendekat ke arahku. Lalu, aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangan mereka. Ini salah satu caraku menunjukkan bakti, baik pada orang tua ataupun suami. “Mau aku bikinkan kopi, Mas?” tawarku. “Boleh.” Mas Farhan melempar senyum. “Bapak mau juga?” “Enggak usah. Bapak mau istirahat dulu,” Kemudian, kami sama-sama masuk ke dalam rumah. Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu, Bapak langsung beranjak ke kamar, sedangkan aku ke dapur. Tak lama, aku telah kembali dengan secangkir kopi di tangan. Kuletakkan di meja depan Mas Farhan lalu aku duduk di sebelahnya. “Ini, Mas!” ucapku.Sementara Mas Farhan menyeruput kopi, aku sibuk memandangi wajahnya. Bulir keringat yang masih menempel di pelipis membuat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status