Share

RIZAL MARAH

Aku terduduk lemas di lantai teras, tak menyangka Bapak setega itu. Dulu sebelum aku bekerja, Bapak sering memarahiku tanpa alasan yang jelas. Setiap hari aku dipaksa mengalah dengan Ela, seolah dia tak sayang padaku. 

Setelah aku bekerja dan rutin mengirim uang, Bapak menjadi baik. Dia sangat perhatian padaku bahkan sering sekali menelepon sekedar menanyakan kabar. Semula aku pikir Bapak sudah berubah, tapi nyatanya dia hanya butuh uangku saja!

“Kamu kenapa, Ve? Kok lesu begitu?” tanya Ibu yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dariku. 

Lesu, aku menengadahkan wajah, menatap perempuan yang telah melahirkanku. “Motorku dijual Bapak, Bu!” 

“Kamu serius?” Ibu menatap penuh selidik seolah meragukan omonganku.

“Tanya saja sama Bapak,” jawabku. 

Ibu berbalik masuk ke rumah sementara aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang terselempang di pundak. Mencari kontak dengan nama Linda lalu segera menghubungi dan memintanya menjemputku ke rumah. 

Tak berselang lama, Ibu kembali datang, lalu ikut duduk di sebelahku. Dia mengelus pucuk kepalaku seolah iba dengan keadaan ini. 

“Sabar ya, Ve. Bapak menjual motor kamu mau buat biaya resepsi Ela. Nanti juga bakalan diganti sama Rizal kok,” ucap Ibu. 

“Ganti pakai apa, Bu?” tanyaku tanpa menoleh. 

“Ya pakai uang lah..., kalau uang proyek Rizal sudah cair, langsung diganti kok. Bahkan Bapak juga bakalan dibelikan motor,” jelas Ibu. 

Miris. Bapak dan Ibu hanya memikirkan uang tanpa peduli perasaanku. Pun dengan Ela yang mau saja dinikahkan dengan calon suami kakaknya. 

“Setahuku Rizal pengangguran, Bu,” jawabku enteng. 

“Hush...! Jangan sok tahu kamu. Kami semua sangat dekat dengan Rizal, jadi sudah tahu semuanya. Rizal itu orang kaya yang enggak suka pamer kekayaan,” protes Ibu. 

Diam. Aku tak mau berdebat dengan Ibu. Sedekat-dekatnya dia, sudah tentu aku lebih dekat. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal kehidupan Rizal.

Sebuah mobil warna hitam tiba-tiba berhenti di halaman rumah. Aku dan Ibu saling tatap, seolah bertanya siapa gerangan yang datang. 

Farhan-lelaki yang dulu pernah kucintai turun dari mobil, tersenyum ramah mendekat ke arah kami.

“Siapa, Ve?” tanya Ibu setengah berbisik. 

“Farhan,” jawabku singkat sambil terus menatap ke arah laki-laki itu. 

Jika diperhatikan, dia masih sama seperti dulu. Hanya saja sekarang terlihat lebih dewasa. Senyum itu.... Ah! Senyum itu yang dulu pernah membuatku salah tingkah. 

“Assalamu alaikum, Bu, Ve,” ucap Farhan mengangguk sopan. 

“Waalaikum salam,” jawabku grogi. 

Di luar dugaan, dia meraih tangan Ibu lalu menciumnya. Ibu saja sampai kaget melihat sikap Farhan yang sopan. Berbanding terbalik dengan Rizal yang tak pernah seperti itu. 

“Berangkat sekarang, Ve?” tanya Farhan. 

Aku melongo mendengar pertanyaan Farhan. Perasaan aku enggak ada janji pergi sama dia kenapa mengajak berangkat? 

“Berangkat ke mana?” tanyaku bingung. 

“Loh..., bukannya tadi Linda bilang kamu minta jemput ngajak jalan?” tanyanya Balik. 

“Astaga..., Linda! Keterlaluan! Aku minta dia jemput aku kenapa malah Farhan yang disuruh kesini! Pakai bilang aku ngajak jalan lagi!” Aku mengumpat dalam hati. 

“Jadi enggak?” tanyanya lagi. 

“I-iya,” jawabku tergagap. 

“Bu, aku minta ijin mau jalan sama Vera. Boleh kan?” pamit Farhan pada Ibu. 

Belum sempat Ibu menjawab, dari arah dalam Rizal mendekat ke arah kami sambil menatap pada Farhan. 

“Siapa, Bu?” tanya Rizal. 

“Farhan, calon suaminya Vera.” Farhan memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan pada Rizal. 

“Benar begitu, Ve?” cecar Rizal tanpa memedulikan uluran tangan Farhan. 

“Iya.” 

Entah dapat ide dari mana tiba-tiba aku bergelayut manja sembari menggamit tangan Farhan. 

Rizal terlihat tak suka dengan Farhan, tapi dia tak berbuat apa-apa. Mungkin takut karena ada Ibu di  antara kami. 

“Sepertinya dia bukan laki-laki baik, Ve! Mending cari yang lain saja! Aku tak rela kamu nikah sama dia,” ungkap Rizal. 

Kaget, aku terkesiap dengan ucapan Rizal. Sepertinya dia sedang meracuni pikiran Ibu. Dasar tak tahu malu! Apa urusannya dia mengatur hidupku? 

“Maaf, Zal! Tolong jangan ikut campur urusan pribadiku,” ucapku tegas, “ dan satu lagi! Kamu tak sopan menyebut namaku tanpa embel-embel. Mulai sekarang kamu panggil aku Mbak karena kamu adik iparku,” 

Dari raut wajahnya, aku bisa melihat Rizal tersinggung oleh kalimatku. Masa bodo! Aku tak peduli. 

“Iya, Zal. Kamu kan sudah menikah dengan Ela, jadi kamu jangan panggil nama saja,” timpal Ibu yang sedari tadi diam menyimak. 

“Oh... jadi ini yang namanya Rizal. Kirain gantengnya kayak Brad Pitt sampai kamu nangis-nangis pas tahu dia nikah sama adikmu. Kalau model kayak gitu  di TPA banyak.” 

Farhan membandingkan Rizal dengan sampah. Sebenarnya ini berlebihan, tapi karena melihat muka Rizal yang mirip udang rebus, aku memilih diam saja. 

“Jangan sembarangan kamu!” bentak Rizal tak terima. 

Wajar sih. Aku saja kalau jadi Rizal akan tersinggung jika dikatai seperti itu. 

“Sudah, Zal! Dia benar kok. Kamu kan sudah nikah sama Ela, jadi jangan ikut campur urusan Vera,” lerai Ibu. 

Rizal tak berkutik, tapi aku tahu dia masih tak terima. Atau mungkin dia cemburu karena ada laki-laki lain bersamaku? Dasar edan! Sudah nikah sama adikku masih mau ikut campur urusanku. 

“Ya sudah, Bu. Kami jalan dulu,” pamit Farhan lalu menarik lenganku mengajak pergi. 

“Iya, hati-hati di jalan ya,” pesan Ibu. 

Kami pun segera berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari teras, tapi baru lima langkah berjalan, Farhan berhenti lalu berbalik menghadap Ibu. 

“Oh iya, Bu..., besok kalau aku nikah sama Vera, semua biaya resepsi aku yang tanggung,”  ucap Farhan seperti menyindir Rizal. 

Sebelum ibu sempat menyahut, aku langsung menarik Farhan, mengajaknya pergi. Nanti kalau Rizal tersinggung lalu mereka berantem kan repot. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status