Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela
Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah
“Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran
****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak
“Jadi kalian sudah menikah?” tanyaku dengan suara parau. “Iya, Dek. Maafkan aku,” jawab Mas Rizal, calon suamiku. Seketika air mata ini luruh seiring pengakuan Mas Rizal. Hati ini menjerit sakit. Sedikit pun tak menyangka dia akan mengkhianati janji yang telah terucap. “Kenapa kalian mengkhianatiku? Kenapa?” lirihku perih.Jika yang merebut Mas Rizal bukan Ela-adikku, mungkin tak akan sesakit ini. Namun, inilah kenyataannya. Di saat aku merantau mencari uang untuk biaya sekolah Ela, dia justru membalas dengan pengkhianatan. “Maaf, Mbak. Ini bukan inginku. Kami terpaksa,” jelas Ela. Aku menyeka bulir bening di pipi. Tersenyum kecut menatap adikku yang baru saja lulus sekolah menengah atas. Seperti janjiku dulu, aku baru akan menikah setelah selesai membiayai sekolah Ela. Namun, kenapa dia justru menikungku? “Terpaksa kenapa? Apa kamu hamil duluan? Iya?” tuduhku sembari melirik pada perutnya yang masih rata. “Enggak, Dek. Kami tidak serendah itu.” Mas Rizal menjeda kalimatnya se
Waktu terasa lambat berjalan. Baru dua jam aku mengurung diri di kamar, tapi rasanya seperti dua hari. Sejak kemelut di ruang tamu tadi, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkan hati larut dalam kepedihan. Menumpahkan kecewa dalam tangis. Aku bangkit dari ranjang, lalu berjalan mendekat pada meja rias yang masih setia berdiam di sudut kamar, memindai wajah dari pantulan cermin. Cantik, tapi kenapa Mas Rizal lebih memilih Ela?Jengah dengan aktivitas ini, aku mendekat pada jendela. Kuedarkan pandangan ke luar ruangan, menikmati siluet senja yang mulai meredup. Dulu, aku dan Mas Rizal sering menghabiskan waktu berdua sekedar menikmati senja. Merajut mimpi, menatap masa depan dalam balutan cinta. “Ve..., sudah mau magrib. Mandi dulu,” teriak Ibu dari luar kamar. Aku terjaga dari lamunan. Berjalan membuka pintu lalu membiarkan Ibu masuk. Kami duduk berdua di tepian ranjang.“Mandi dulu, Ve. Biar pikiranmu jernih.” Ibu menasihati. “Nanti saja, Bu. Malas,” jaw
Lamunanku buyar tatkala pintu kamar diketuk tiga kali. Suara lembut ibu terdengar memanggil, meminta aku keluar untuk makan malam bersama. “Iya, Bu. Sebentar,” jawabku berteriak. Dengan malas aku bangkit lalu beranjak keluar. Saat sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul mengitari meja makan, tak terkecuali Mas Rizal. Perih di hati kembali terasa saat melihat Mas Rizal duduk berjajar dengan adikku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan bokongku di sebelah Ibu, berseberangan dengan Mas Rizal dan Ela. Seharusnya makan malam ini menjadi momen bahagia karena sudah hampir dua bulan tak berkumpul. Sayangnya ini menjadi momen paling menyakitkan karena harus melihat Mas Rizal bersanding dengan adikku. “Ibu sengaja masak ayam goreng kesukaanmu. Maka yang banyak ya, Ve,” ucap Ibu. “Iya, Bu,” jawabku datar. Aku mengambil secentang nasi beserta sepotong ayam goreng dan sambal terasi. Sesuap demi sesuap aku terus memaksa untuk makan meski sebenarnya aku sama sekali tak menikm
Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Membiarkan embusan angin menyapa seluruh tubuh, berharap sedikit mampu mengurangi beban di hati. Namun, nyatanya beban itu masih sama mengimpit perasaan. Berhenti di jalanan yang cukup sepi, aku turun kemudian berteriak sepuasnya melampiaskan kecewa di dalam dada tanpa memedulikan orang lewat yang menatap aneh ke arahku.“Mereka semua kejam. Egois. Tak pernah mengerti sedikit pun tentang perasaanku. Semua sama. Hanya memanfaatkan tenagaku saja.” Aku meracau tak karuan.Puas, aku kembali melajukan motor masih tanpa tujuan yang pasti. Entah pada siapa akan kuadukan semua perih selain pada sepi yang semakin merambat sunyi. Pada akhirnya aku memutuskan ke rumah Linda sahabatku. Mungkin dia bisa membantu menyelesaikan masalah yang tengah kuhadapi. “Assalamu alaikum, Lin.” Aku mengetuk pintu sembari mengucap salam. “Waalaikum salam,” sahut suara perempuan dari arah dalam. Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Sosok perempuan berwaj