“S--saya b--bisa jelaskan, Yu! Jangan salah paham!” Suaranya terdengar gemetar. Aku tersenyum hambar. “Bapak tak perlu menjelaskan apapun karena saya sudah telanjur meragukan ketulusan Bapak dalam pernikahan ini. Saya merasa, Bapak hanya menjadikan saya alat agar Bapak bisa segera naik jabatan dengan memisahkan saya dengan Dion. Saya yang awalnya tersanjung dipinang oleh orang sebaik Bapak, kini merasa kecewa dan saya meminta agar Bapak segera membatalkan pinangan Bapak pada saya dan rencana pernikahan kita batal.” Entah dari mana keberanian tiba-tiba muncul begitu saja. Aku begitu lancar bicara dan mengucapkan kalimat seberani itu. Suasana meja makan menjadi hening. Semua saling terdiam dan menyimpan sendok seperti kehilangan selera makan. Aku yang baru saja dikuasai rasa sedih, kecewa dan emosi menatap orang tua Pak Faqih dan adik-adiknya yang sudah begitu baik. “Maafkan saya, Pak, Bu! Maafkan saya kelepasan.” Lantas aku beranjak setelah mohon diri. Perasaan campur baur tak ka
“I--Ibu?” Suaraku bergetar. “M--Maafin Ibu, Yu … maafin Ibu yang sudah egois selama ini …,” lirihnya seraya menyeka air mata yang berjatuhan. “Bu!” Aku bangkit dan menghampiri Ibu. Dia meraih jemariku, lalu kembali mengulangi kalimat itu,”Maafin, Ibu.” Tanpa kusangka, bersamaan dengan itu dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku termangu, merasakan air matanya yang hangat membasahi setelan seragamku.“Ibu akan bicara dengan Faqih setelah ini. Maafin Ibu yang sudah egois.” Dia melepas rengkuhannya lalu menjauhkan tubuhnya dariku. Ibu melirik pada Dion, tetapi tak bicara apapun. Dia langsung melengos pergi. Aku masih termangu ketika Dion tiba-tiba sudah berdiri dalam jarak satu hasta dariku. “Sepertinya aku sudah mendapatkan lampu hijau. Kabari jika Ibu sudah menyelesaikan urusanmu dengan Pak Faqih. Ibarat kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Yang lebih cepet ya, yang sambil lari.” Dion terkekeh seraya mengacak pucuk kepalaku. Sempat-sempatnya bergurau tak penti
Pov DionSatu minggu sudah aku menunggu kabar dari Ayu terkait pembatalan pertunangannya dengan Pak Faqih. Rasanya lama sekali. Setiap kali aku mengirimi pesan, dia masih menjawab belum ada lagi tembusan. Hari ini, aku sudah rapi. Akan kutemui Pak Faqih dan bicara sebagai seorang lelaki. Aku pun mengirimi pesan padanya. Dia setuju untuk bertemu di sebuah cafe yang tak jauh dari tempat kami. Aku datang dengan sepeda motor kesayangan. Nampak Brio putihnya sudah terparkir di sana. Gegas aku berjalan menuju ke dalam dan mencari keberadaannya. Lelaki itu tampak tengah duduk bersandar dengan santai dan memainkan gawainya. “Selamat siang, Pak!” sapaku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. “Selamat pagi, Yon!” Dia menjawab. Menoleh padaku lalu mempersilakanku untuk duduk. “Oh masih pagi, ya, Pak? Kirain sudah siang.” Aku menarik kursi dan duduk di depannya. “Tergantung, sih. Tergantung dari mana sudut pandang yang melihatnya. Bagi saya masih pagi, masih banyak waktu untuk
Pov DionAku tersenyum miring. Kenapa jadi dia yang mengintimidasi seperti ini. Siapa dia coba? Namun, demi semua berjalan lancar. Aku segera mengiyakan. Tak dia suruh pun, aku akan menjaga istriku kelak dengan baik. Pertemuan kami berakhir. Aku pulang duluan meninggalkannya yang katanya sedang ada janji juga dengan temannya. Pak Faqih berjanji, Lusa dia akan menyelesaikan semuanya. *** Pak Faqih bisa kugepang omongannya. Dua hari dari pertemuan kami, bersamaan dengan kabar yang Ayu berikan, dia pun mengirimiku pesan. Isinya sama, jika urusannya dengan Ayu sudah selesai. Aku menarik napas lega, lekas menelpon Papa yang sejak dua hari lalu mengajak Mama ikut dinas ke luar kota. Kebetulan sore ini dia pulang. Urusannya sudah selesai. Aku tengah bertukar pesan dengan Ayu ketika deru mobil berhenti di depan rumah. Rupanya Papa dan Mama tiba. “Dion! Kamu jangan gila!” Suara lima oktaf terdengar ketika derit daun pintu terbuka. Mama datang dengan wajah tampak marah. Aku, hanya terseny
Pov Ayu[Assalamu’alaikum, Ay! Lagi apa?] Aku baru saja selesai menjemur pakaian ketika pesan dari Dion datang. Hari ini sedang tak enak badan. Jadi kuputuskan untuk tak pergi mengajar. Aku ingin beristirahat saja. Ya, selain beban pikiran yang lagi hebat. Kemarin waktu aku pulang dari rumah si Kakek yang bertemu di tukang bakso itu, aku kehujanan. Jadinya ya gini, deh! Meriang tipis-tipis. [Habis nyuci, Yon. Ini mau istirahat, gak enak badan.] [Kamu sakit, Ay?] [Enggak, hanya gak enak badan. Dah, ya, mau rehat dulu.] Aku pun lekas masuk. Kusimpan ponsel di samping laptop yang tak pernah tertutup. Lekas aku membaringkan badan. Kepala terasa berat dan badan agak anget. Aku sudah merebahkan tubuh agak lama. Namun hanya bolak-balik ke kanan dan kiri. Kucoba upejamkan mata, tapi gak tidur juga hingga Ibu muncul. Dia membawa segelas rebusan jahe hangat yang dicampur madu. “Diminum dulu, Yu. Biasanya agak enakan kalau bangun nanti.” “Iya, Bu. Makasih.” Aku pun meneguk air jahe han
Pov AyuAku berpura-pura tak melihat. Bukan urusanku jika dia yang belum menikah, tetiba berada di poli kandungan. Namun, sial. Dia malah datang dan menghampiri aku yang duduk di antara Dion dan Ibu. “Ayu ….” Suara lirihnya membuat kami bertiga menoleh. Duh, mimpi apa aku semalem. Kenapa sih, harus berurusan lagi dengan dia sekarang. “Eh, Wi. Ke dokter?” sapaku pada Dewi. Hanya basa-basi sebetulnya. Gak mau tahu juga. “Iya, Yu. Aku ke dokter.” Dia menunduk murung. Sesekali sudut matanya melirik Dion. “Semoga lekas sembuh, ya!” Aku bingung mau mengusirnya. Akhirnya pakai ala-ala ucapan dokter kalau habis berobat. Kan kalau bilang segera lekas sembuh, biasanya kan pasiennya langsung pulang. Namun, prediksiku salah. Dewi tetiba bersimpuh dan memeluk kakiku. “Aku gak bakal sembuh, Yu. Aku gak sakit.” Dia mulai terisak. Aku meringis, malas bertanya. Namun Ibu yang tampak kasihan meraih Dewi untuk bangun. “Sudah, Dewi. Malu sama orang. Kalau gak sakit kenapa juga malah nangis?” Suara
Pov Lani Aku berulang kali melirik jam tangan. Hatiku ketar-ketir, takut-takut kalau misi Dewi kali ini gagal. Beberapa menit setelah Dion pergi, Dewi ke rumah. Seperti biasa, dia pasti selalu memiliki solusi atas kegalauanku. Bagaimanapun, aku masih belum rela andai Dion harus melamar Ayu. Jika tak dengan Viona, Dewi adalah pilihan yang lebih baik untuk dijadikan calon menantu. Meskipun, jika Dion menikah dengan Dewi, maka aku tetap harus mengembalikan uang Lira senilai dua ratus juta yang kupakai itu. Namun, Dewi pun menjanjikan akan membayarkan utang-utangku pada Lira kalau aku merestuinya dengan Dion. Ya, kupikir apa salahnya jika Dion dengan Dewi. Toh selama ini keluarga kami dekat. Mas Subekti tengah pergi. Dia dan Dion sama saja. Sama-sama rendah seleranya. Dia sudah mendukung penuh hubungn Ayu dan Dion. Jelas, kedudukan gak imbang, makanya kemarin aku bilang setuju. Namun, selama masih ada waktu, meskipun harus berpura-pura setuju dan menyerang perlahan. Aku harus memisahk
Pov Lani“Bu Dewi! Gimana, Bu?” Kudengar Suara perawat itu memanggil lagi. Tanpa kusangka, Dion melewatiku begitu saja dan menarik lengan Dewi. Mereka pun masuk ke dalam ruangan. Entah apa yang Dion bisikkan sehingga Dewi tampak semakin pucat dan berulang kali menoleh padaku. Lalu? Aku bisa apa? Sepertinya lebih baik aku ikut ke dalam saja. Nanti jika ketika di USG Dewi gak hamil, aku hanya tinggal bilang alat di kliniknya yang rusak dan harus dibawa ke rumah sakit besar untuk pemeriksaannya. Dewi sudah terbaring di atas ranjang pasien. Seorang perawat tampak sudah memoles gel pada perutnya. Wajah dia kian pucat. Dokter bicara pada Dion dan menyarankan agar Dewi lebih banyak mengkonsumsi vitamin agar kehamilannya lancar. “Ibu, siapanya?” Dokter itu menoleh padaku. “Dia Ibu saya, Dok!” Belum sempat aku menjawab. Dion yang menjawab ucapan dokter tersebut. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pada dokter tersebut.“Wah selamaat, ya! Sebentar lagi akan punya cucu. Usia kandungannya baru