“Kamu pikir Syfa gak punya hati, Mas! Sejak kecil, kenapa kamu selalu semena-mena pada hidup kami, Mas? Sekarang, Syfa dewasa juga, hidupnya kamu ungkit-ungkit juga.” Baru kali ini aku mendengar ibu yang benar-benar marah.“Nur, biarkan Mas ngomong dulu sama Syfa. Kamu jangan mematahkan harapan Mas, dong! Lagian … Irfan juga kerjanya sudah mapan. Jadi, tak ada salahnya kalau mereka menikah, Nur!” Keras kepala memang. Bapak pun bersikukuh dengan pendapatnya.“Kamu kenapa keras kepala begitu, Mas? Apa kurang luka dan nama buruk karena kelakuan kamu di masa lalu pada kami?” Suara Ibu terdengar bergetar. “Merina sudah mempermalukan keluarga, Nur! Mas harus menebus harga diri keluarga Irfan dengan menikahkannya dengan putri Mas yang lain. Merina dan Reza sudah melakukan tindakan di luar batas. Mas kemarin sudah marah-marah juga sama Irfan karena menampar Merina. Namun ketika dijelaskan, Mas merasa sangat malu dengan Irfan dan keluarganya! Tolonglah, Nur! Mas harus bicara dengan Syfa. Ini
“Nyari apa, Fa?” “Bang, amlop cokelat yang ada di sini mana, ya?” “Oh, itu punya kamu ya, Fa! Kirain punya siapa. Hmm, tapi tenang, Fa! Sudah saya kasihkan ke Bang Ican tadi sekalian! Kan mau ada rotasi dan penambahan besar-besaran! Semoga saja titipan kamu lulus juga, ya!Astaghfirulloh … itu ‘kan amplop isi CV aku untuk taaruf! Bukan berkas lamaran. Ya Tuhaaan!Mendengar jawaban itu, aku speechless. Gak tahu harus ngomong apa. Diam beberapa detik sambil melongo. “Memangnay itu lamaran siapa, Fa? Saudara?” Suara Bang Agil membuatku menoleh. “Hehehe, iya, Bang!”Jawaban lebih cepat adalah mengiyakan. Aku berjalan kembali menghampiri Rita. Eh, tampak Mario lagi tebar pesona. Gayanya sok cool dan lagi menjelaskan entah apa. Aku hanya mencebik, lalu sengaja kusenggol bahunya.“Aduh!” Aku terkekeh sendiri, tetap saja suaranya lembut dan mendayu. Mario melotot, tapi kau hanya mengedipkan mata. “Mana CV-nya, Fa?” Rita tampak heran menatapku. “Ck, telat sih kamu, Ta!” gerutuku sambil m
“Hallo, Siang menjelang sore!” “Selamat siang Mbak Asyfa Maulida Husna?” “Ya, Bu! Dari mana ini, ya?” “Saya ada baca CV ta’arufnya! Apa kita bisa bertemu sore ini?” “Loh, Ibu siapa, ya? Kenapa tiba-tiba punya CV saya?” “Saya punya anak laki-laki, Mbak. Kebetulan memang sedang cari jodoh. Jam berapa bisa ketemu?”“Aduh, Bu! Saya gak merasa kirim CV taa’ruf pada anak Ibu. Ibu mending jujur, deh. Ibu dari mana? Dari pinjol, ya?” Kudengar perempuan malah terkekeh. Lalu tak berapa lama dia bicara lagi, “Enggak kok, Mbak Syfa! Saya bukan dari pinjol. Nanti saya jelaskan pas ketemu. Di warung nasbek depan PMM ya sore ini bakda maghrib, jam tujuh malam. Saya tunggu!”Eh, kok dia maen memutuskan saja. Emang aku mau? “Mbak Syfa gak usah bawa apa-apa. Saya gak butuh dokumen apapun, kok. Kita ngobrol santai saja nanti. Untuk makanan, saya yang traktir nanti, ya!” “Apa jaminannya kalau Ibu gak akan nyulik saya?” Perempuan itu terkekeh lagi lalu bicara, “Saya perempuan, Mbak. Sendirian pul
Pov Ayu “Hallo, Siang menjelang sore!” Suara gadis itu kudengar. Aku tersenyum. Seperti yang aku lihat kemarin, pembawaannya memang lugas dan ceria. “Selamat siang Mbak Asyfa Maulida Husna?” Aku sengaja menyebut nama lengkapnya. Agar dia yakin, aku adalah orang yang benar.“Ya, Bu! Dari mana ini, ya?”tanyanya dari seberang sana. “Saya ada baca CV ta’arufnya! Apa kita bisa bertemu sore ini?” tukasku memulai pembicaraan.“Loh, Ibu siapa, ya? Kenapa tiba-tiba punya CV saya?” Kudengar dia kaget. Aku sudah menduganya. Mungkin sekali kalau CV taarufnya tertukar dengan amplop lamaran. “Saya punya anak laki-laki, Mbak. Kebetulan memang sedang cari jodoh. Jam berapa bisa ketemu?”Aku langsung saja pada inti pembicaraan. Tak sabar ingin bertemu dengannya. Kalau dilihat dari CV dan pembawaannya ketika bertemu di Mama Mart kemarin, orangnya itu tulus. Entah kenapa naluri keibuanku percaya kalau dia memang cocok untuk Zayd. “Aduh, Bu! Saya gak merasa kirim CV ta’aruf pada anak Ibu. Ibu mendin
Kepalaku terasa berat. Aku mengerjap-ngerap menyesuaikan dengan sinar yang cukup membuat pupil ini terasa silau. “Astaghfirulloh, di mana ini?” Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tembok bercat putih dengan tirai menjuntai berwarna abu-abu sebagai penutupnya pada bagian kanan dan depan. Lalu ranjang ini. Aku meraba tempat tidur ini lalu duduk. Fix ini berada di klinik. Setelah kesadaranku terkumpul, tiba-tiba bayangan yang menakutkan tadi muncul. Tubuh Bang Irfan yang setengah telanj*ng berkelebat lagi, lalu semprotan spray ke wajahnya dan terakhir temannya yang menyemprot ke wajahku. “Duh, kebobolan gak, ya?” Aku memeriksa pakaianku dan terasa longgar di bagian dada. BH-ku sudah tak ada. Lalu jeansku pun sudah aku kenakan lagi. Kini, aku hanya mengenakan rok longgar entah punya siapa. “Brengs*k!” Aku melempar bantal karena kesal. Sepertinya para bedebah itu sudah berhasil melakukannya. Lalu kini aku hanya harus bersiap-siap menikah dengan dia. Suara deritan pintu disertai suara deh
Pov Irfan “Aduh! Lain kali gue males ikut project gak jelas lo lagi, Fan!” Ermin mengaduh ketika aku baru saja selesai membubuhkan alkohol pada sudut bibirnya yang pecah. “Sorry, Bro! Ini ‘kan diluar rencana. Lo juga yang tetiba ngasih ide ngikutin Syfa. Padahal ‘kan rencana awal, gue mau baik-baikin dia dulu, mau ajak maen ke mana, kek.” “Lo bilang dia itu keras kepala dan masa bodo. Kemungkinan gede ditolak ‘kan? Makanya gue kasih ide kayak gitu. Lo nya saja cuma naklukkin cewek satu saja gak becus!” omel Ermin padaku. “Sudah, sudah, yang penting gue sudah transfer. Lo diem saja sih.” “Transfer sih transfer, tapi cowok yang nyerang gue semalam itu ngancam mau lapor polisi.” “Siapa sih dia? Lo pernah lihat mukanya?” “Enggak, gak familiar juga. Cuma awas saja kalau beneran dia laporin gue ke polisi, gue seret lo juga sebagai dalangnya. Gue kan cuma ngikut.” “Paling gertak sambel! Sudah, gak usah dipikirin!” “Ya moga saja. Lo juga pake pingsan segala. Apa-apaan, malem-malem gu
Pov Merina “Za, kalau garden party kayaknya lebih keren, deh!” Aku menatap laki-laki yang akhirnya berhasil kutaklukkan juga. Ya, walaupun dengan usaha sedikit lebih berat. Aku harus mengorbankan dulu hal yang kupunya. Hal berharga yang oleh Bang Irfan yang sudah pasti akan menikahiku pun, tak kuberikan padanya. Namun, pesona Reza membuatku kalap. Aku tak rela Syfa dapat yang lebih dariku. “Boleh, Mer ….” Reza menatap, tapi seperti tak bersemangat pada semua brosur yang aku dapatkan dari WO. “Kamu itu kenapa sih, Za? Apa-apa ngikut mulu, kasih dong pendapatnya,” tukasku sambil memberengut manja. Yang aku rasakan, Reza berbeda dengan Irfan. Jika Irfan begitu antusias menyambut hari pernikahan kami, tapi Reza seperti ogah-ogahan. “Gak apa. Aku itu males ribet. Asal kamu suka, ya sudah.” Reza membetulkan duduknya dan menurunkan kakinya yang menumpang. Lalu dia menatap ke arahku. “Ya sudah deh, bahasnya nanti lagi!” Aku pun menyimpan brosur-brosur itu. “Kenapa gak pake yang WO kemar
Malam itu, setelah dari klinik, Bang Zayd nganter aku balik. Untungnya Bang Zayd gak ngambek. Walau aku sudah nuduh dia ngapa-ngapain, dia tetap mengantarku pulang.Ya, walaupun awalnya di jalan kami jadi kayak anak kecil sedang musuhan, diem-dieman. Namun hanya sebentar, ketika aku bercerita dia pun mulai kembali cair lagi. Aku ceritakan tentang keinginan Bapak agar aku menikahi Bang Irfan. Pulangnya aku minta diantar pakai sepeda motor. Tak mau Ibu malah jadi kepikiran, kalau sepeda motorku dititip di sini. Akhirnya dia pun mau walau awalnya berdebat dulu. “Oh jadi orang tua kamu memang menginginkan agar kamu nikah sama yang namanya Irfan itu?” tanya Bang Zayd, suaranya rebutan dengan angin malam yang berhembus. Kami sama-sama tak pakaia helm. Ini sudah malam, gak ada polisi lagi yang jaga, jadi aman. Walau kata orang, helm bisa melindungi kepala, tapi ya gimana, ya? Kadang kupakai hanya buat melindungi diri dari Pak Polisi yang jaga. “Ya gitulah … bagi Bapak, nama baik keluarga