Part 27
Ia melangkah pergi dengan kepala tegak, meski hatinya hancur berkeping-keping.Begitu pintu tertutup, Lusia memandang Alvin dengan penuh amarah. “Kamu lihat? Kamu pikir kita bisa terus sembunyi?”Alvin hanya bisa mematung. Hari itu, segalanya mulai runtuh. "Aaarrggghhh! SIAL!"Indah keluar dari apartemen Lusia dengan langkah cepat dan napasnya tertahan.Sesampainya di mobil, ia langsung menekan speed dial.“Farah, aku butuh kamu, Galang dan Bang Reza sekarang juga. Kita harus jalankan semua rencana malam ini. Aku udah lihat semuanya dengan mataku sendiri.”Tak sampai satu jam kemudian, mereka bertiga bertemu di ruang coworking yang biasa mereka gunakan.Farah menyerahkan flashdisk kecil ke tangan Indah. “Ini semua data rekening Alvin, dan transaksi mencurigakan yang mengarah ke keluarganya. Reza juga udah dapat rekaman pembicaraan dua pengacara mereka waktu bahas cara nutupin kasus penggelapan dana.”Part 28Alvin melangkah mundur, seolah tamparan itu tak hanya dalam bentuk kata-kata, tapi juga menghantam jiwanya.“Pa …” Suara Alvin bergetar, hampir tak terdengar. “Aku nggak pernah bermaksud menghancurkan semuany”Pak Dimas membanting ponsel ke meja, napasnya memburu. “Niatmu? Niat baikmu itu yang menenggelamkan kita! Karena kamu egois, karena kamu sok bisa atur semuanya sendiri! Skandal pribadi kamu nyeret kita ke lubang ini!”Alvin menggenggam rambutnya frustasi. Dunia seolah runtuh menimpanya.Pak Dimas mendekat, jarinya menuding ke dada Alvin. "Kalau saja kamu jujur dari awal ... kalau saja kamu nggak bodoh karena perempuan, kita nggak akan seperti ini! Kamu pikir cuma kamu yang kehilangan? Lihatlah semua orang yang selama ini bergantung pada kita. Ratusan karyawan akan kehilangan pekerjaan. Nama baik keluarga kita tercoreng untuk selamanya!”Alvin menunduk dalam-dalam. Semua rasa bersalah, ketakutan, amarah terhadap dirinya sendiri, menyerbu sekaligus.Pak Dimas jatuh terdudu
Plaaakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alvin. Alvin memegang pipinya, napasnya memburu, wajahnya tercengang—antara sakit secara fisik dan terpukul secara emosional.Pak Dimas berdiri di depannya dengan mata merah, napas memburu.“Kamu pikir nikah sembunyi-sembunyi itu cuma soal cinta, Vin?! Kamu sadar nggak, semua ini bisa jadi alat pemusnah buat keluarga kita?!”Alvin tak sanggup menjawab. Kepalanya tertunduk, tapi matanya mulai berkaca.“Pa …” gumamnya lirih, “aku cuma … aku cuma pengen bahagia. Aku pikir aku bisa mengatur semuanya.”“Dan kamu pikir kebahagiaan itu bisa dibangun dengan kebohongan?!” Pak Dimas menunjuk wajahnya.“Sekarang kita kehilangan semuanya, Alvin,” ucap Pak Dimas tajam. “Termasuk harga dirimu sendiri.”“Dan sekarang semua data kita bocor ke luar! Kalau ini jatuh ke tangan wartawan atau kejaksaan, kita selesai!”Sementara itu, ponselnya terus berbunyi. Salah satunya dari Lusia. A
Part 27Ia melangkah pergi dengan kepala tegak, meski hatinya hancur berkeping-keping.Begitu pintu tertutup, Lusia memandang Alvin dengan penuh amarah. “Kamu lihat? Kamu pikir kita bisa terus sembunyi?”Alvin hanya bisa mematung. Hari itu, segalanya mulai runtuh. "Aaarrggghhh! SIAL!"Indah keluar dari apartemen Lusia dengan langkah cepat dan napasnya tertahan. Sesampainya di mobil, ia langsung menekan speed dial.“Farah, aku butuh kamu, Galang dan Bang Reza sekarang juga. Kita harus jalankan semua rencana malam ini. Aku udah lihat semuanya dengan mataku sendiri.”Tak sampai satu jam kemudian, mereka bertiga bertemu di ruang coworking yang biasa mereka gunakan.Farah menyerahkan flashdisk kecil ke tangan Indah. “Ini semua data rekening Alvin, dan transaksi mencurigakan yang mengarah ke keluarganya. Reza juga udah dapat rekaman pembicaraan dua pengacara mereka waktu bahas cara nutupin kasus penggelapan dana.”
Indah hanya menatapnya sambil bersandar santai di sofa. “Salah paham? Tentang apa ya? Aku cuma lihat kamu lagi makan, kan wajar.”“Ndah … tolong jangan begini. Aku cuma ketemu dia karena urusan kerjaan lama. Aku takut kamu salah paham. Aku nggak mau ini jadi masalah besar.”“Ayo, Alvin. Duduk dulu,” sahut Bu Laras tiba-tiba, tersenyum manis. “Kamu udah makan malam belum? Sekalian aja makan di sini, tadi ibu masak ayam woku kesukaan Indah.”Indah menoleh, tersenyum tipis ke ibunya. “Iya, duduk dulu dong, Mas. Kenapa tegang gitu sih?"Alvin tersenyum kikuk. "Makasih, Bu."“Ibu ke dapur sebentar ya, Ndah. Alvin, temenin Indah dulu. Jangan kaku gitu, udah kaya lagi diwawancara aja,” selorohnya sembari berlalu.Indah membetulkan letak duduknya. Ia menatap Alvin yang kini ragu mau duduk atau tetap berdiri.“Gimana Mas?” katanya ringan. “Kita bahas apa sekarang? Tentang kerjaan, atau tentang rencana masa depan kita?”"
Part 26Handphone di tangan Indah bergetar pelan. Ia mengangkatnya, masih berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski dadanya masih berdegup kencang."Halo, Bu?""Nak, Ibu hampir sampai. Tadi sempat mampir sebentar ke toko bahan. Lima menit lagi ya, kamu di depan kafe, kan?""Iya, Bu. Aku tunggu di sini." Indah menutup telepon, lalu menoleh pada Galang yang masih berdiri di sampingnya, memayungi tubuhnya dengan setia.“Aku harus pergi, Lang. Ibu sebentar lagi sampai.”Galang mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. “Kalau kamu butuh apa-apa … aku ada, Ndah. Jangan tahan semuanya sendiri, ya?”Indah tersenyum kecil, tapi senyuman itu lebih terasa seperti usaha menahan perih. “Terima kasih, Lang. Aku tahu kamu selalu ada. Tapi hari ini aku cuma ingin pulang dan istirahat.”Di saat bersamaan, sebuah mobil hitam berhenti perlahan di tepi trotoar, sopirnya membuka pintu belakang dan turun membukakan pintu untuk Indah.Indah menoleh sekali lagi ke
Ibunya menimpali, “Apa yang kamu rencanakan, Mas?”Ayah Indah menyilangkan tangan. “Mereka pikir bisa mempermainkan keluarga kita, memanfaatkan nama besar kita untuk kepentingan mereka. Kalau begitu, kita akan biarkan mereka menyiapkan semuanya, lalu kita jatuhkan saat semuanya merasa di atas awan.”"Tapi akan ada kerugian secara materil, ayah gak apa-apa?""Tidak masalah, itu namanya resiko. Dari pada kita semua tercebur dalam lumpur hidup," tukas Pak Sentosa.Indah mengangguk. “Aku dan Galang juga punya akses ke media,” kata Indah cepat. “Kita bisa siapkan rilis berita, atau bahkan hadirkan saksi. Dokter kandungan itu, penjaga apartemen, penghulu ... siapa pun yang bisa buka suara.”Ayahnya tersenyum kecil, tapi penuh tekanan. “Bagus. Tapi kita harus pastikan dulu semua datanya terkunci. Kita juga harus cek jalur-jalur keuangan mereka. Aku akan kirim orang untuk investigasi internal. Jika mereka berani bermain api, kita pastik