"Mbak yang sabar ya, salah satu diantara keduanya tidak bisa diselamatkan. Kami tim dokter sudah berusaha. Semoga menjadi tabungan kedua orang tua di akhirat. Lekas pulih ya. Mungkin ada pihak keluarga atau suami Mbak yang bisa dihubungi?" Tiara menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dokter dan perawat saling pandang, lalu pria berjas putih itu mengangguk tipis pada perawat di sampingnya.
"Baiklah, kalau ada perlu apa-apa perawat kami bisa dipanggil saja. Saya permisi, besok saya baru akan visit lagi." Pria itu pun pergi meninggalkan Tiara yang masih terdiam. Air matanya tidak bisa menetes karena hatinya yang terlanjur sakit dan pedih.
Bari benar-benar memperlakukannya bagai pelacur yang sama sekali tidak berharga. Padahal semua masalah bermula dari lelaki itu, tetapi ia yang harus menanggung malu dan nestapa akibat dari semua itu.
"Mbak Tiara sudah sadar? Sukurlah, Mbak, saya mau beli gas karena suami mendadak ingin dibuatkan mi rebus. Pas saya
Dua hari telah berlalu, Bari sudah kembali ke Jakarta, sedangkan Angkasa dan Rumi kini tengah dalam perjalanan menuju Bali dengan pesawat. Rumi duduk di dekat jendela sambil memandang gulungan awan yang begitu indah.Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi Rumi sudah lebih bersemangat dari sebelumnya, karena suasana hati yang sedang senang. Ya, benar sekali apa yang disarankan oleh Bulan, bahwa anak dan menantunya butuh waktu berdua untuk kembali membangkitkan gairah cinta yang sempat padam dan hati yang pernah terluka perlu disembuhkan dengan segera.Rumi nampak sekali menikmati perjalanannya, walau jauh di dasar hatinya masih begitu sedih karena kehilangan bayinya."Rumi, kamu mau pesan minuman?" tawar Angkasa pada istrinya. Rumi menoleh, lalu menggeleng. Pandangannya kembali melihat awan."Apa kita masih lama?" tanyanya pada Angkasa."Tidak, setengah jam lagi mungkin sudah landing," jawab Angkasa sembari melihat jam tangannya.
"Ah, itu ... mm ...." Tiara menelan ludahnya. Wajahnya pucat bak kapas. Alasan apa yang harus ia katakan pada Rumi dan juga Angkasa."Mbak, ini susu hamil siapa?" tanya Rumi lagi sambil memandangi wajah Tiara dengan seksama."Barang dagangan. Yah, i-itu barang dagangan. Di samping sini Mbak buka warung, jadi ini susu hamil untuk jualan," jawab Tiara canggung."Mbak jualan? Bukannya kerja di toko roti?" Tiara menganga menyadari kecerobohannya. Ia mengatakan ke Bali untuk bekerja di toko roti, tetapi malah jualan. Sekarang, dia mau alasan apa lagi?"I-iya, jadi Mbak jualan sejak sore sampai malam hari saja, biar gak kesepian di rumah sendirian. Iya, seperti itulah keadaannya."Rumi menoleh pada suaminya, Angkasa mengangguk pelan, lalu dengan gerakan mata memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja."Begini saja, karena kalian berdua masih rindu dan ingin banyak ngobrol, gimana kalau saya yang mencari penginapan untuk kita di seki
Keheningan menyelimuti malam di kamar nomor 20. Tidak ada perbincangan hangat di antara dua anak manusia yang kini sudah berbaring di tempat tidur dingin dan empuk. Setelah melalui waktu lebih dari satu bulan, inilah pertama kali keduanya kembali tidur satu ranjang.Rumi tentu saja merasa sangat canggung. Rasanya sama seperti mereka pertama kali tidur dalam status suami istri. Hanya suara embusan napas yang mengiringi denting jarum jam ketika dua anak manusia sedang merapatkan bibirnya dengan mata terpejam."Saya sangat menyesal atas semua apa yang telah kamu lewati," suara Angkasa sedikit berat dengan kepala menoleh ke samping untuk menatap istrinya yang belum benar-benar tertidur. "Pasti kamu sayang kepayahan di kota orang sendirian, dalam keadaan hamil muda," lanjut Angkasa lagi. Mata Rumi penuh sesak dengan air mata.Wanita itu ikut menoleh, menatap suaminya. Gurat lelah, dewasa, dan garis keriput samar, mulai nampak di wajah suaminya. Walau sama sekal
"Apa? Kencan satu malam? Ya ampun, Mbak, apa Mbak pikir aku percaya? Kita bukan berada di dunia novel, Mbak. Mbak Tiara jangan berbohong. Sini, lihat saya!" Rumi duduk dengan tak sabar di depan Tiara yang tengah menunduk sambil menahan air mata. Wanita itu sudah bersumpah di dalam hatinya, sampai ia mati pun Rumi dan orang lain tidak akan tahu, bahwa Bari adalah pria yang melakukan semua ini padanya."Mbak, jujur sama saya. Apa ini alasannya Mbak pergi dari Jakarta? Saya akan bicara pada Bang Angkasa dan memintanya untuk bertemu dengan lelaki itu. Di harus bertanggung jawab," kata Rumi bersungguh-sungguh."Tidak Rumi, jangan lakukan itu dan jangan katakan apapun pada Pak Angkasa atau orang lain, atau dengan keluarga besar suamimu. Biar Mbak seperti ini, mungkin ini lebih baik. Mbak yakin akan ada pelajaran berharga dari setiap kisah Mbak." Pipi Tiara sudah basah oleh air mata. Rumi tersenyum penuh haru, lalu menarik Tiara ke dalam pelukannya.Keduanya mena
Angkasa dan Rumi kembali ke penginapan sore hari. Mereka membawa oleh-oleh untuk Tiara yang sepertinya masih nyaman di dalam kamarnya."Sebaiknya kita mandi dulu, baru antarkan ini untuk Mbak Tiara. Kita habis bepergian dari luar, kasian nanti yang sedang hamil," kata Angkasa mengingatkan. Rumi mengangguk setuju.Angkasa membuka pintu kamarnya dengan menggunakan kartu, lalu mendorong daun pintu agar terbuka lebar. Rumi masuk sambil membawa dua paper bag dan satu plastik makanan untuk Tiara. Rumi meletakkannya di atas nakas."Apa mau mandi bersama?" tanya Angkasa pada istrinya. Sontak Rumi kembali merona, lalu menggeleng pelan. Angkasa pun tertawa kecil, memaklumi perasaan Rumi yang terlihat masih sangat canggung."Yakin? Pahalanya lebih besar mandi berjamaah, daripada sendirian," goda Angkasa lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar mandi."Hi hi hi ... Gak mau!" Rumi terkekeh geli, lalu pergi menjauh dari suaminya. Ang
Sudah satu Minggu berlalu dan Angkasa serta Rumi belum kembali juga dari Bali. Tentu saja hal itu membuat Bari resah dan gundah. Walau tidak dipungkiri, perkataan papanya perihal hubungannya dengan Rumi yang tidak mungkin bisa disambung kembali karena hukum agama, membuat Bari merasa tidak ikhlas. Bukankah sudah tidak menjadi istri papanya jika nanti mereka berpisah? Lagian bukan ibu kandungnya juga.Bari merasa kepalanya mau pecah jika mengingat aturan agama yang bertentangan dengan keinginannya. Ditambah lagi Rumi yang nampak pasrah dengan takdir Tuhan, semakin membuat Bari terpojok dan bingung menentukan pilihan. Jika ia tidak bisa bersama Rumi, apakah ia egois jika papanya juga tidak boleh bersama Rumi? Apa dia berani setega itu membuat papanya menderita nantinya?Bep! Bep!Ponselnya berbunyi, Bari membaca pesan yang masuk. Ternyata info di grup keluarga yang mengomentari foto perjalanan balik Rumi dan juga Angkasa yang sedang berada di bandara. Di sam
"Mbak bilang apa barusan?"Pluk!Tiara terlonjak kaget hingga martabak telur yang ada dalam genggamannya terlepas."Jatuh cinta pada pacar adik sendiri?" Bari menanyakan ulang perkataan yang Tiara gumamkan."Jangan suka suudzon. Aku lagi mikirin novel online yang judulnya seperti itu. Aneh sekali, masa jatuh cinta sama pacar adik sendiri. Gila'kan? Emangnya gak ada cowok lain?" Tiara berjalan menjauh dari Bari sambil memutar bola mata malasnya, tetapi pemuda itu menahan lengan Tiara."Saya tahu mana yang benar, mana yang bohong, Mbak," kata Bari berbisik, lalu melepaskan tangannya dari Tiara. Wanita itu tidak menyahut. Ia pergi meninggalkan Bari begitu saja dengan ekspresi sedatar mungkin.Sejak saat itu, Bari tidak banyak bicara dengan Tiara. Ia yang biasanya ramah dan murah senyum, sejak malam itu tidak pernah lagi berbincang dengan Tiara. Rumi tidak curiga sedikit pun karena memang saat Bari datang, Tiara tidak menampakk
"Aku rasa, aku tidak tuli mendengar geraman Mas Bari di telepon tadi, cepat katakan, siapa yang mau Mas Bari habisi? Ya Tuhan, aku tidak percaya ini, Mas Bari yang begitu aku hormati bahkan sampai saat ini masih aku sayangi, adalah penjahat." Rumi sangat syok dengan pendengarannya. Niat ke kantor Bari untuk meluruskan masalah mereka dan menyelesaikan semua hubungan yang masih mengganjal ternyata membawanya melihat sosok lain Bari yang begitu mengerikan."K-kamu salah d-dengar, Rumi, m-me ...."Bep! Bep!Rumi menarik napas panjang lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Matanya membulat sempurna saat melihat nama Tiara yang ada di layar ponsel."Halo, Mbak, assalamualaikum.""Maaf, saya Bu Luh Sekar tetangga dari Mbak Tiara. Mbak Tiara masuk rumah sakit, Mbak, tolong kemari segera. Semoga Mbak Tiara masih bisa tertolong.""A-apa? K-kenapa Mbak saya?""Saya tidak tahu, Mbak. Dokter sedang memeriksa keadaan Mbak Tiara, cepat M